Oleh: Hasan Sitorus
Limbah logam berat termasuk golongan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sehingga perlukan penagangan khusus sebelum dibuang ke lingkungan. Limbah yang mengandung logam berat (heavy metal) mempunyai toksisitas yang tinggi, sehingga dapat mematikan organisme. Namun dalam kadar rendah, logam berat dapat diakumulasi secara biologis dalam tubuh organisme (bioakumulatif), sehingga bisa terjadi proses biomagnifikasi.
Biomagnifikasi adalah proses pelipatgandaan kadar logam berat dalam jaringan tubuh makhluk hidup akibat logam berat terikat dan terakumulasi secara biologis. Logam berat mudah berikatan dengan unsur sulfur dari beberapa jenis asam amino (protein), sehingga dapat membentuk ikatan kovalen dan tidak dapat diekskresikan lagi dari tubuh, dan secara perlahan-lahan akan terus diakumulasi hingga akhirnya menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan tubuh.
Berdasarkan sifatnya, unsur logam berat terdiri dari 2 jenis, yakni logam berat esensial, dan logam berat tidak esensial. Logam berat esensial merupakan jenis logam berat yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah mikro seperti Seng (Zn), Tembaga (Cu), Besi (Fe), Kobalt (Co) dan Mangan (Mn), sedangkan yang tidak esensial adalah jenis logam berat yang bersifat racun seperti Air Raksa (Hg), Timbal (Pb), Kadmium (Cd) dan Khrom (Cr).
Dewasa ini logam berat non esensial banyak digunakan dalam proses industri seperti pemurnian emas, pembuatan pipa PVC, poduksi aki dan baterai, pembuatan cat, produksi pestisida, penyamakan kulit, dan lain-lain, sehingga limbah yang dihasilkan dipastikan mengandung logam berat terlarut dalam bentuk ion yang sangat berbahaya biota akuatik dan manusia.
Untuk mencegah agar limbah B3 itu seminimal mungkin tidak memasuki lingkungan alam, maka perlu dilakukan penanganan atau pengolahan limbah di pusat-pusat produksi limbah B3 baik dengan perlakuan fisika (primary treatment), perlakuan biologis (secondary treatment), maupun perlakuan kimiawi (tertiary treatment).
Perlakuan Fisika
Pengolahan limbah yang mengandung logam berat dengan perlakuan fisika dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain:
1. Penguapan (proses penguapan air limbah sehingga sisa logam berat dapat digunakan kembali.
2. Osmosis balik (pemisahan logam berat dengan membran semi permeabel).
Proses penguapan limbah melalui pemanasan hingga suhu 120 oC memungkinkan endapan logam berat sisa penguapan dapat dikumpulkan dan dimanfaatkan kembali untuk berbagai kebutuhan industri. Kelebihan metoda ini adalah bahwa perlakuannya praktis, buangan tidak ada, relatif murah, dan bisa dilakukan mulai industri kecil (home industry) hingga industri besar. Kelemahannya, membutuhkan waktu lama untuk proses penguapannya, dan bahan bakar atau energi yang banyak untuk melakukan penguapan limbah tersebut.
Metode penanganan limbah B3 dengan teknik osmosis balik (reverse osmoses) sangat cocok diterapkan pada limbah agroindustri, menggunakan membran yang hanya dapat dilewati molekul zat tertentu, sehinga ion logam terlarut dapat dipisahkan dari limbah cair yang ada. Kelebihan metode ini memiliki efisiensi yang tinggi (high removal efficiency), dan kelemahannya harganya relatif mahal dan dibutuhkan keahlian khusus untuk menanganinya.
Perlakuan Biologis
Mereduksi ataupun menghilangkan kandungan ion logam dalam limbah cair juga dapat dilakukan dengan menggunakan tumbuhan air (water hyacinth) seperti eceng gondok dan kiambang. Sistem ini dikenal dengan Fitoremediasi, di mana tumbuhan air menyerap ion logam berat dari limbah cair melalui akar dan disimpan dalam jaringan tumbuhan. Beradasarkan hasil penelitian, tumbuhan air eceng gondok mampu mengabsorbsi Timbal (Pb) sebanyak 0,176 mg, Merkuri (Hg) 0,15 mg dan Cobalt (Co) 0,568 mg dalam waktu kontak 24 jam.
Kelebihan dari fitoremediasi ini adalah praktis, waktu cepat, dapat dilakukan semua orang, biaya relatif murah dibanding perlakuan fisik dan kimiawi. Kelemahannya, harus menyediakan kolam limbah yang agak luas, selalu mengganti tumbuhan air secara regular dan membuangnya ke tempat khusus.
Perlakuan Kimia
Penanganan limbah B3 dengan perlakuan kimiawi dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:
1. Pertukaran ion (pemisahan logam berat dengan bahan resin pengikat kation).
2. Elektrolisa (pemisahan logam berat dalam air secara elektrolis sehingga logam berat mengendap atau melapisi katoda).
3. Pengendapan kimia (logam berat diendapkan sebagai hidroksida atau oksida dengan zat alkalis).
4. Ekstraksi (logam berat dipindahkan dengan pelarut dari jenis zat organik yang tidak melarut dalam air).
Dewasasa ini, perlakuan kimia untuk membersihkan ion logam berat dari limbah industri dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan sangat dipengaruhi jenis logam berat yang ada dalam limbah industri. Bila dalam limbah terkandung logam berat esensial seperti Seng (Zn), Tembaga (Cu), Besi (Fe), Kobalt (Co) dan Mangan (Mn), maka metode yang umum dipakai adalah metode elektrolisa dan ekstraksi. Sedang untuk limbah yang mengandung ion logam berat non esensial (beracun) seperti Air Raksa (Hg), Timbal (Pb), Kadmium (Cd) dan Khrom (Cr), pada umumnya menggunakan metode pertukaran ion (ion exchanges) dan pengendapan kimia (chemical coagulation).
Penggunaan teknologi pertukaran ion dan pengendapan kimia untuk menangani limbah B3 sampai saat ini masih merupakan metode yang paling efisien (high removal efficiency) di antara semua perlakuan tersier, karena teknologi itu dapat menghilangkan ion logam dalam limbah hingga 100 %.
Kedua jenis metode ini punyai kelebihan, yakni hanya membutuhkan lahan atau lokasi kecil, waktu pengolahan cepat, dan buangan (effluent) dijamin bersih dari ion logam bearat. Namun kelemahannya adalah peralatan pertukaran ion (ion exchanger) relatif mahal, dan pengendapan kimia membutuhkan bahan kimia yang banyak dan membutuhkan tenaga ahli khusus, serta kolam pengendapan kimia harus selalu dibongkar secara regular untuk membuang hasil endapan logam berat tersebut.
Sementara itu, teknologi elektrolisa dan ekstraksi belum mampu menghilangkan ion logam dalam limbah hingga 100 %. Di samping itu, metode ini hanya lebih sesuai untuk volume limbah yang sedikit. Oleh sebab itu, pemilihan teknologi atau metode penanganan limbah B3 sangat tergantung dari karakteristik limbah logam berat, dan kemampuan pembiayaan dari industri yang bersangkutan.
Dalam kondisi pemantauan lemah dari instansi terkait, ada kemungkinan penerapan teknologi atau metode penanganan limbah B3 ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya, sehingga limbah B3 bisa memasuki lingkungan alam, yang berbahaya bagi biota air dan ancaman kesehatan manusia. Oleh sebab itu, kita sangat mengharapkan agar pemantauan penanganan limbah B3 dilakukan secara lebih ketat oleh instansi terkait, dengan satu tujuan agar kita terhindar dari ancaman toksisitas logam berat sebagaimana pernah terjadi di Jepang tahun 1950-an yakni Penyakit Minamata (Minamata Disease) akibat keracunan logam berat air raksa (Mercury) pada penduduk di sekitar Teluk Mimanata Jepang.
(Penulis dosen tetap Universitas HKBP Nommensen dan pemerhati masalah lingkungan).