Panti Jompo Fo Shi An

Surga Kecil Bagi Penghuninya

Oleh: J Anto

BERTEMU orang-orang lansia penghuni Panti Jompo Fo Shi An di Pantai Labu, Deli Serdang, ibarat membaca perkisahan orang-orang kecil yang papa, terlantar namun menemukan kembali sekeping “surga kecil” yang telah lama hilang. Dikoordinasi Yayasan Buddha Pantai Labu, panti jompo tersebut hari demi hari terus berupaya merajut dan memulihkan kembali harkat kemanusiaan orang-orang tua yang tersingkir dari kerasnya kehidupan.

Postur tubuh Lie A Kang (72)  terbilang pendek dan gempal, kulitnya hitam legam. Saat  Ketua Yayasan Buddha Lubuk Pakam So Ban Tju, Wakil Ketua Juandi Halim, Wakil Sekretaris Yeni Wijaya, Ketua Dewan Pembina Amir Kusno, dan Anggota Dewan Pembina Ponimin datang mendekat ke arahnya, Lie A Kang tersenyum semringah. Giginya yang ompong pun terlihat.

Ia dijumpai tengah duduk santai di bangku panjang yang terletak di depan setiap kamar panti, Senin (11/12) siang. Bersama lelaki sebaya sesama penghuni panti, A Kang membolak-balik koran yang dipegang namun tak pernah dibacanya itu. Ia sesekali menggunakan koran itu untuk mengipas-ipas tubuhnya. Rindang pepohonan mangga  yang mengitari deretan depan kamar berbentuk huruf U tak mampu mengusir hawa panas.

Bak Surga Kecil

Panti Asuhan Fo Shi An berada di Dusun III, Desa Rugemuk, Kecamatan Pantai Labu, Deli Serdang. Berdiri sejak 2013 dan diresmikan pada 2014, panti jompo yang kini dihuni 18 orang lansia itu ibarat sekeping surga kecil bagi orang seperti A Kang dan penghuni panti lain yang punya kisah pahit  serupa:  tereksklusi dari lingkungan sosial, termasuk lingkungan terdekat mereka. Mereka sempat hidup menggelandang, terlunta-lunta digerus kerasnya persaingan untuk memenangkan hidup.

Akong Mentel, begitu panggilan canda dan akrab para pengurus panti, memang murah senyum, supel dan pandai menyanyi. Saat “ditemukan” terlunta-lunta di emperen kios Pasar Aksara, Medan, kaki A Kang penuh kudis. Badannya kotor. Maklum, waktu itu ia jarang mandi. Mandinya pun di toilet yang ada di Pasar Aksara. Hampir separuh  hidupnya habis untuk mengayuh becak. Becak sewaan, bukan milik sendiri. Kemiskinan memaksanya bekerja keras.

Pukul 04.00 dini hari saat kantuk belum usai dan dingin masih menyelimuti tubuh­nya, ia sudah mengayuh becaknya mengantar pelanggan. Itu dilakukannya sejak umur 23 tahun. Saat  sewa becak masih Rp4.000 per hari, lalu naik jadi Rp8.000, dan terakhir  Rp10.000 per hari. Ia biasa tidur di atas becak. Setelah tak kuat lagi menarik becak, ia menggelandang di emperan ruko sampai “ditemukan” seorang pengurus yayasan. A Kang dimandikan, penyakit kudisnya diobati sampai sembuh, dan paru-paru-parunya diperiksa. Sejak setahun lalu A Kang pun jadi salah seorang penghuni Panti Fo Shi An.

“Senang tinggal di sini, bisa makan tidur, gemuk badan saya, siapa nggak se­nang?” ujarnya diiringi derai tawa.

“Coba Akong nyanyi dulu untuk kami, kalau ketua yang minta, Akong nggak bisa nolak,” ujar So Ban Tju bercanda. Tanpa sungkan-sungkan bapak tiga anak itu  langsung tarik suara diiringi tepuk tangan pengurus yayasan dan penghuni panti lain.

Luo wen - Jin tian bu hui jia/jin tian bu hui jia pai huai de ren de xin mi shi zai shi zi jie tou de ni/jin tian bu hui jia wei shi me ni bu hui jia wang shi ru yan ai qing ru mi/mi shi zai jiu ri qing ai de ni jin tian bu hui jia wei shi me ni bu hui jia/de yue an dan de xing mi shi zai yan wu meng jing de ni/jin tian bu hui jia wei shi me wei shi me ni bu hui jia/xin zai na li meng zai na li bu yao wang liao jia de tian mi/mi shi de ren bu yao wang liao jia de tian mi….”

Lagu soundtrack film tahun 1969 yang dibawakan Yao Su Rong  itu memang sangat populer di kalangan masyarakat Tionghoa. Lagu itu berkisah tentang kerinduan orang yang ingin pulang ke rumah, namun tak kesampaian karena ia sudah punya “rumah baru”. Tanpa sadar sekalipun saat bernyanyi bibir A Kang senantiasa menerbitkan senyum, namun bola matanya sempat terlihat berkabut.

Tak hanya A Kang yang kini sudah memiliki “rumah baru”. Ada juga Suwandi (60), yang punya perkisahan tak kalah pahit. Suwandi “ditemukan” So Ban Cu berkat informasi adik temannya. “Ia tidur di lorong belakang rumahnya. Kakinya setengah lumpuh,” ujarnya.

Suwandi masih melajang sampai kini. Kakaknya bukan tergolong keluarga mampu, makanya saat ditawari untuk tinggal di panti, kakaknya tak menolak. Suwandi juga punya sakit ayan. Di depan So Ban Tju, Suwandi langsung menangis saat kisahnya mulai disibak. So Ban Tju lalu memilih tak melanjutkan dan meminta seorang suster mengantar Suwandi untuk beristirahat di kamarnya.

“Menangani orang yang terbiasa hidup bebas  di jalanan memiliki pendekatan berbeda-beda,” ujarnya. So Ban Tju sendiri seorang psikiater. Ia tahu kiat menghadapi orang-orang miskin yang umumnya me­miliki tingkat depresi lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki kehidupan lebih baik.

Berawal Pengobatan Gratis

Panti Jompo Fo Shi An khusus menam­pung orang-orang miskin terlantar. Mereka tak dipungut biaya sepeser pun. Ada  23 kamar di panti, namun saat ini baru diisi 18 orang. Panti dilengkapi fasilitas klinik kesehatan lengkap dengan tenaga kesehatan dan suster. Penghuni panti juga mendapat fasilitas makan tiga kali sehari. Sore hari mereka mendapat tambahan makanan seperti bubur kacang hijau. Saat sarapan dan malam jelang tidur, mereka juga diberi minum susu. Jika ada yang harus dirujuk ke rumah sakit, sudah disediakan ambulans.

Dana operasional panti digalang lewat berbagai sumbangan donatur yang tergerak meringankan derita para lansia terlantar itu. Fo Shi An, menurut Poniman artinya Budha datang untuk membawa keselamatan.

“Salah satu usaha penggalangan dana dilakukan lewat bazar,” ujar Ketua Dewan Pembina Yayasan Amir Kusno. Bazar amal diadakan saat kas mulai menipis. Awal Desember ini misalnya mereka baru usai menggelar bazar ketiga di Medan.

Ketua Panitia Bazar Endy Kartono menyebut acara amal itu diikuti 100-an stan kuliner, dimeriahkan sejumlah artis Me¬dan, dan pertunjukkan tarian.

Abo, panggilan akrab Amat Kusno, merupakan kuartet pemrakarsa Panti Fo Shi An bersama Woen Tjiu Tiong, Wui San, dan The Siu Mie. Sejak 2005, keempatnya sering membuat kegiatan pengobatan gratis, sasarannya warga tak mampu. Ada lima desa yang kerap jadi objek pengobatan gratis, Tandem, Blarang, Kuala Binjai, Buluh Cina, dan Pantai Labu. Karena sudah berkali membuat baksos, seorang warga Pantai Labu jatuh  bersimpati. Ia biasa dipanggil Pak Pungut.

“Pak Pungut menghibahkan tanahnya seluas 10 ribu meter persegi untuk pem­bangunan vihara. Lokasinya di Desa Ruge­muk,” ujar Abok. Saat itu di Rugemuk belum ada vihara. Umat Buddha, jika beribadah harus pergi ke klenteng di Pantai Labu.

Pada 2010 vihara itu diresmikan Bupati Deli Serdang. Setelah itu baru digagas pendirian panti jompo. Ide awalnya ba­ngunan semi permanen, tapi atas usul Abok ditingkatkan jadi bangunan permanen. Pada 2013 panti jompo itu mulai beroperasi, namun baru diresmikan setahun berikutnya. Selain vihara, panti jompo, klinik, ada juga rumah perabuan. Kesemuanya dikelola Yayasan Budha Pantai Labu.

Lokasi panti yang di Desa Rugemuk, memang cukup jauh dari pusat kota. Butuh waktu 1,5 jam untuk sampai ke sana dari Medan via Lubuk Pakam. Namun menurut Wakil Ketua Yayasan Juandi Halim, lokasi bukan persoalan. Bagi Juandi, rasa kema­nusiaan telah mengalahkan jarak geografi sehingga dirinya mau bergabung sebagai pengurus  yayasan.

“Saat melihat mereka bahagia, saya juga ikut bahagia. Mereka bahkan sudah kita anggap seperti orangtua sendiri,” ujarnya. Ia berharap, ke depan makin banyak pihak yang mau terlibat untuk menghadirkan “surga-surga kecil” bagi orang-orang tua yang ditelantarkan karena berbagai alasan.

()

Baca Juga

Rekomendasi