Kekayaan Budaya pada Bangunan Gereja

Oleh: Syafitri Tambunan

MULTIKULTURAL di negeri ini menjadikan Indonesia kaya dalam berbagai hal, salah satunya bidang arsitektural. Akulturasi ataupun inkulturasi budaya pada bangunan bukan hal baru di Indonesia, salah satunya bangunan gereja.

Di beberapa daerah, kehadiran bangunan-bangunan gereja bernuansa akulturasi menjadi daya tarik, tidak hanya bagi jemaatnya, juga untuk dinikmati pengun­jung. Keindahan ornamen atau desain-desain khas nu­santara di beberapa gereja itu dibuat sedemikian rupa tanpa menghilangkan kekhidmatan untuk beri­badah.

Budayawan sekaligus arsitek YB Mangunwijaya, mungkin sosok kreator akulturasi dalam bidang arsi­tektural yang tidak bisa dilupakan. Salah satu bangunan kerohaniannya, yakni Sendangsono, tempat ziarah Goa Maria yang terletak di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Salah satu desain fenomenalnya ini merupakan kompleks ziarah seluas satu hektare yang dibangun bertahap sejak 1974 hanya dengan mengandalkan sumbangan umat. YB Mangunwijaya, memberikan sen­tuhan arsitektur pada tempat ziarah di kaki Bukit Menoreh ini.

Konsep pembangunan kompleks Sendangsono ini sarat nuansa Jawa dan berprinsip ramah lingkungan. Konon, Romo Mangun mengerjakan proyek Sendang­sono tanpa gambar rencana. Keberhasilan proyek ini mengandalkan komunikasi antara arsitek dengan pekerja dan respons langsung terhadap perkembangan tahap-tahap pembangunan.

Gaya pembangunan Sendangsono menggunakan model rumah Jawa. Dalam tradisi Jawa, bangunan rumah terdiri dari pelataran, rumah depan, tengah, dan belakang. Masing-masing bagian mempunyai nilai dan fungsinya sendiri-sendiri. Mirip dengan arsitektur gaya Jawa, arsitektur Sendangsono dibagi menjadi ti­ga bagian, yaitu jalan masuk, pelataran, dan daerah sakral.

Penggunaan atap joglo pada Kapel Tri Tunggal Mahakudus juga memperkuat kesan arsitektur Jawa. Kapel ini berbentuk joglo dengan tiga lapis atap yang melambangkan Trinitas. Karya monumental Romo Mangun ini pernah mendapatkan penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia(IAI) yakni IAI AWARD 1991 sebagai kategori Bangunan Khusus Usaha Pena­taan Lingkungan.

Gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran, terletak di 17 km di bagian selatan Kota Yogyakarta juga merupakan bangunan berdesain akulturasi/inkulturasi. Gereja yang dibangun April 1924 ini memiliki kekhasan arsitektural, khususnya pada ornamen-ornamen khas Jawa. Perpaduan budaya Jawa dan Eropa memang menja­dikan gereja ini magnet bagi pengunjungnya. Meski begitu, tidak menghilangkan kekhidmatan jemaat saat berada di dalamnya.

Kompleks Gereja Ganjuran ini juga dikenal sebagai tempat ziarah yang bernuansa Jawa. Nuansa budaya Jawa yang digunakan Schmutzer, keluarga pemrakarsa gereja ini, merupakan bentuk proses inkulturasi. Seba­gai seorang yang beriman Katolik, keluarga Schmutzer ingin menghidupi imannya dalam konteks budaya mereka tinggal.

Sebagai bagian dari pengalaman iman, Schmutzer membangun rumah sakit, menyokong orang miskin, mendidik orang yang belum terpelajar, dan mereka mengangkat martabat penduduk dengan mendukung penduduk Ganjuran untuk tetap melaksanakan adat-istiadat walaupun perlahan-lahan diberi nilai-nilai Kristiani.

Berikutnya, kawasan Gereja Puh Sarang, sebuah Gereja Katolik Roma di Desa Pohsarang, Kediri, juga berakulturasi Jawa. Bangunan ini didirikan atas inisiatif pribadi dari Romo Jan Wolters CM dengan bantuan arsitek terkenal Henri Maclaine Pont pada 1936. Kedua tokoh itu memberikan sentuhan Jawa pada rancangan arsitektur Gereja Puhsarang.

Wolters merupakan seorang yang mencintai dan meng­hormati tata nilai budaya Jawa. Sedangkan Maclaine Pont, seorang yang tertarik dengan percan­dian di Jawa, sekaligus resah dengan derasnya kema­juan yang mengikis budaya Jawa kala itu.

Salah satu perpaduan unsur budaya ada di bagian atap salah satu bangunan inti di kompleks Gereja Puh Sarang ini. Atapnya memakai bentangan baja tanpa rangka kayu seperti lazimnya bangunan Jawa yang lain, dipadu dengan bentuk genting yang khas pula.

Keunikannya juga ada di interior gereja dengan hiasan relief di batu bata bak candi-candi di zaman Majapahit. Di luar arsitektural, bahasa pengantar di gereja ini juga bahasa Jawa dan ayat-ayat Alkitab dilafalkan dengan macapat (tembang Jawa) bersama iringan gamelan.

Sumatara Utara, juga memiliki sejumlah bangunan ro­hani dengan akulturasi yang beragam, dua di anta­ranya Gereja Katolik St. Michael, Pangururan, Pulau Samosir dan Gereja Santo Fransiskus Asisi di Berastagi Karo. Kedua gereja ini menggunakan desain khas budaya setempat. Dari konsep bangunan, interior, hingga ornamennya juga kental dengan akulturasi Batak dan Karo.

Gereja Katolik St. Michael merupakan gereja terbesar di Pulau Samosir, yang merupakan area ber­pen­duduk mayoritas Batak. Karena itu, tidak seperti bangunan gereja di kota-kota besar yang bergaya Ero­pa, gereja ini berarsitektur mirip rumah adat khas Batak, rumah Bolon.

Bangunan vernakular ini dengan tiang-tiang mem­bentuk panggung di bagian bawah. Sementara pada bagian atap, tampak depan berbentuk segitiga. Sedang­kan tampak sampingnya bentuk atap meleng­kung seperempat lingkaran. Bangunan ini juga didominasi ornamen khas Batak dengan berbagai filosofisnya.

Gereja yang dibangun menghadap ke Danau Toba, persis ke arah pemandangan menakjubkan yang ter­ham­par di depannya. Ini membuat siapa pun akan merasa betah berlama-lama menghabiskan waktu di pelataran gereja, seusai beribadah dan menikmati panorama indah di sekelilingnya.

Bangunan lainnya, Gereja Santo Fransiskus Asisi di Berastagi yang berkonsep kultur lokal atau sering disebut gereja inkulturatif. Bangunannya mengga­bungkan budaya/tradisi khas Sumatera Utara dengan Kristen. Kalau diperhatikan, arsitektur gereja ini terinspirasi bangunan rumah adat Karo yang kokoh, unik, sekaligus artistik.

Konon, alasan pemilihan arsitektur tersebut untuk turut melestarikan nilai luhur Karo (salah satunya arsitektur khas Karo) yang sudah mulai dilupakan, terbukti makin sedikit rumah hunian dengan gaya Karo. Bangunan 34 meter x 24 meter ini dapat menampung ribuan jemaat. Gereja ini juga mempunyai pendopo dengan model geriten, yaitu rumah kecil tanpa dinding untuk berbagai keperluan religi dan sebagai ruang untuk aneka keperluan kaum muda.

Akulturasi sebagai suatu proses sosial, timbul jika suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat-laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan setempat.

Sementara, inkulturasi merupakan penyesuaian dan adaptasi masyarakat, kelompok umat, kebiasaan, bahasa, dan perilaku yang biasa terdapat pada suatu tempat. Keduanya menjadi unsur penting bagi khasanah kebudayaan di Indonesia, yang kini mulai punah.

BUDAYA JAWA: Arsitektural di Sendangsono, tempat ziarah Goa Maria, di Desa Banjaroyo, Kulon Progo, Yogyakarta, kapelnya berdesain khas mirip joglo.
SENDANGSONO: Sendangsono karya YB Mangunwijaya yang juga memiliki unsur budaya Jawa dalam arsitekturalnya, salah satunya, bentuk atap yang berdesain mirip joglo.
BAGIAN ATAP: Lambang salib menghiasi bagian dalam atap pada Gereja dan Goa Poh Sarang Kediri.

INTERIOR: Interior khas Jawa di Gereja Ganjuran yang menampilkan kekhasan budaya setempat.

BUDAYA BATAK: Gereja Katolik St. Michael, Pangururan, Pulau Samosir berarsitektur mirip rumah adat Batak, rumah Bolon, berhias ornamen khas dengan berbagai filosofinya.

BAGIAN LUAR: Tampak luar bangunan Gereja dan Goa Poh Sarang Kediri.

Foto-foto: Analisa/internet

()

Baca Juga

Rekomendasi