MAKAN serangga atau entomophagy atau entomofagi jadi tradisi di berbagai negara. Korea Selatan kini intensifkan riset untuk populerkan makanan dari serangga ke seluruh dunia.
Makan serangga bagi warga di beberapa negara bukan hal yang aneh. bahkan jadi semacam tradisi, memakan serangga tertentu jika sedang musimnya. Namun para pengusaha yang jeli di Korea Selatan hendak melakukan ekspansi bisnis makanan dari serangga ke tatanan global.
Serangga diketahui kaya akan nutrisi, protein, vitamin, lemak, serat dan mineral. Organisasi pangan dan pertanian PBB bahkan memuji serangga sebagai kaya akan lemak tak jenuh serta unsur Omega-3 yang diyakini mengurangi serangan jantung atau penyumbatan pembuluh darah pemicu stroke.
Serangga rasanya bisa lezat tetapi manusia agak jarang menyantapnya. Padalah serangga mudah diternak, pakannya jauh lebih sedikit dari sapi, kambing atau babi, tidak butuh lahan pengangonan, berkembang biak secara cepat dan hampir tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Jumlah warga dunia yang terbiasa menyantap serangga berdasar laporan FAO ditaksir berjumlah dua milyar orang. Jenis serangga yang bisa dimakan tercatat sekitar 1.900 spesies. Bagi pengusaha Korea Selatan, data dari PBB itu merupakan potensi bisnis dengan omset besar.
Kim Youn Wook pemilik restoran untuk Papillon's yang menu utamanya menyajikan makanan yang dicampur serangga menyakini tren ini akan makin kuat di masa depan. Karena itu KIm mendirikan Korean Edible Insect Laboratory (KEIL) untuk meneliti cara pengolahan serangga agar bisa merambah arena bisnis dunia.
KEIL melakukan ujicoba pembuatan ekstrak sari serangga, yang bisa dicampurkan ke dalam berbagai makanan, dari spaghetti, pasta, hingga es krim, jus buah dan kue macarons. Kim melancarkan kiat pemasaran agresif, dengan menggelar acara "cicip makanan dari serangga" di ibukota Seoul.
Para konsumen di Korea Selatan yang sudah terbiasa menyantap serangga, antara lain larva ulat sutra yang dikukus yang disebut "beondegi" menyambut antusias aksi cicip makanan ini. Seorang konsumen perempuan berusia 55 tahun mengatakan:
"Jika diolah menjadi makanan semacam itu, generasi muda pasti akan tertarik dan menyukainya." Bahkan pelajar sekolah menengah Be Su Hyeon yang langganan restoran Papillon's milik Kim memuji rasa makanan masa depan itu.
Industri
Industri serangga Korea Selatan terus meningkat pada tahun 2016 silam meraup omset sekitar 278 juta US Dolar atau naik dua kali lipat dibanding omset lima tahun sebelumnya.
Diramalkan tren makan santapan berbasis serangga di Korsel akan terus naik, dan tahun 2020 omset ditaksir akan mencapi 482 juta US Dollar. Jumlah peternak serangga juga naik dua kali lipat dari tahun 2011, menjadi seluruhnya 724 peternak tahun silam.
Kepik air, kalajengking atau kecoa yang disate atau digoreng dan disantap sambil minum bir adalah santapan istimewa di Asia. Dan juga sehat: Serangga, khususnya larva, adalah sumber protein dan energi. 100 gram rayap misalnya mengandung 610 kilokalori. Lebih banyak dari cokelat. Kandungan lainnya 38 gram protein dan 46 gram lemak.
Kaya Vitamin
Serangga mengandung banyak asam lemak tidak jenuh, banyak zat besi, lemak, mineral dan vitamin.
Organisasi pangan dunia FAO mendukung pemanfaataan serangga sebagai bahan pangan. Organisasi ini ingin mempopulerkan resep masakan serangga di seluruh dunia.
Di banyak negara serangga sudah menjadi makanan yang sering disantap. Khususnya di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Seperti ulat mopane, adalah makanan yang digemari di selatan Afrika. Ulat ini biasanya dimasak, digoreng atau dipanggang.
Laba-laba di panci masak
Di Eropa dan Amerika, binatang seperti kumbang, belatung dan belalang dianggap menjijikkan. Sulit misalnya, untuk membayangkan untuk memakan tarantula goreng yang sangat disukai di Kamboja.
Restoran mewah juga menyajikan menu serangga. Di restoran Meksiko ulat dengan guacamole (saus alpukat) sangat digemari. Di Jerman juga mulai ada restoran yang khusus menyajikan masakan belalang atau ulat tepung.
Berkesinambungan dan ramah lingkungan
Ada sekitar seribu jenis serangga di dunia yang bisa dimakan. Termasuk tawon. Jenis hewan ini adalah sumber pangan yang berkesinambungan, sehat, mengandung banyak protein dan vitamin.
Dan sebagian besar rasanya lezat. Menurut FAO, belahan dunia yang belum mengenalnya harus mencobanya terlebih dahulu.
Para peneliti menganalisa peternakan ulat tepung di Belanda berdasarkan segi ekologinya.
Hasilnya, untuk memproduksi 1 kilogram protein yang bisa dimakan, peternakan ulat tepung membutuhkan energi lebih sedikit dan lahan yang lebih sedikit dibanding misalnya peternakan sapi.
Dulu di Jerman serangga juga sering menjadi santapan.
Hingga pertengahan abad 20, sup kumbang sangat disukai. Rasanya disebut mirip dengan sup kepiting. Selain itu, kumbang yang dilapisi dengan glasir gula dijual di toko kue. (jh/dwc/ar)











