Mikroalga, Solusi Penanggulangan Pencemaran Danau Toba

Oleh: Lianty Simangunsong

DANAU Toba merupakan danau yang terbentuk akibat letusan Gunung Toba sekitar 73.000 hingga 75.000 tahun lalu. Keindahan Danau Toba telah banyak menyita per­ha­tian wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Se­hing­ga saat ini, pemerintah bersa­ma masyarakat Sumatera Utara sedang gencar dalam pengembangan Danau Toba sebagai salah satu destinasi wisata terbaik di Indonesia bah­kan menjadi "The Monaco of Asia".

Banyak cara yang telah dilakukan pe­me­rintah seperti penataan dan pem­bangunan kawasan Danau Toba dan juga pe­resmian Bandar Uda­ra Internasional Si­langit yang bertujuan untuk memu­dahkan akses wisatawan asing jika ingin berwisata ke Danau Toba. Beberapa aktifis pegiat pelestarian Danau Toba dan Annette Hor­sch­mann juga telah melakukan ke­giatan promosi keindahan Danau Toba di Pameran Pa­riwisata Internasional (ITB) Berlin tahun 2013, seperti dimuat Kompas (9/3/2013).

Berdasarkan berita Kom­pas (12/3/2017), pihak Badan Otoritas Pariwisata Danau Toba (BOPDT), di bawah naungan Menteri Pariwisata Arie Prestyo juga berhasil mempertahankan gelar "The Best Exhibitor" pada Inter­nationale Tourismus Borse (ITB) di Messe, Berlin. Hal tersebut merupakan upaya untuk mempromosikan Da­nau Toba dan menarik perha­tian wisa­tawan asing.

Saat ini, Danau Toba ber­ada dalam kon­disi cemar se­dang, seperti yang diung­kap­kan pihak Peneliti Lembaga Ilmu Penge­tahuan Indonesia (LIPI) saat orientasi ilmiah di aula Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut, Kamis 24 Mei 2012. Salah satu pe­nyebab pencemaran yang tam­pak nyata adalah sampah, terutama pada tempat rekreasi di pinggiran Danau Toba.

Kurangnya kesadaran pe­ngunjung untuk membuang sampah pada tempatnya dan kurangnya ketersediaan tem­pat sampah menjadi penye­bab terjadinya penumpukan sampah di pinggiran Danau Toba.  Pena­ngan­an yang mung­kin dilakukan untuk hal ini adalah penyediaan tem­pat sampah organik dan non-organik pada titik-titik tertentu setiap 2 meter di se­pan­jang pesisir pantai dan juga banner persuasi untuk tetap menjaga kebersihan lingku­ngan Danau Toba.

Menurut Ir. Roland Huta­julu dalam tulisan­nya tahun 2012 yang telah dimuat Harian Sinar Indonesia Baru (4/8/2012), pencemaran Da­nau Toba diakibatkan oleh limbah sisa pakan ikan yang mengendap di dasar danau dan limbah kotoran ternak yang langsung di buang ke Danau Toba. Limbah terse­but mengakibatkan adanya he­wan parasit sejenis lintah dan kutu yang berkembang biak di Danau Toba.

Hal ini telah dibuktikan salah satu ang­gota aktivis ling­­kungan, Pejuang Danau To­ba, Holmes Hutapea de­ngan cara me­nye­lam lang­sung di Danau Toba seperti yang dilansir Harian Analisa (19 Februari 2017). Dia me­ngatakan, lintah tersebut sa­ngat banyak di dasar Danau Toba. Keha­diran hewan pa­ra­sit ini tentu akan memba­ha­­ya­kan para pengunjung yang akan berenang.

Telah banyak solusi yang ditawarkan dalam penanggu­langan pencemaran air di Da­nau Toba seperti pem­buat­an Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Ke­hu­tanan serta peniadaan (ze­ro) Keramba Jaring Apung (KJA) di kawasan Danau To­ba untuk diarahkan ke kolam darat.

Hal ini sempat menjadi persoalan, karena mayoritas masyarakat sekitar Danau Toba menolak peniadaan keramba ter­sebut. Menurut mereka, keramba meru­pakan mata pencaharian mereka. Kegiatan perikanan tersebut memiliki arti penting dalam keberlangsungan hidup me­re­ka, sehingga seperti yang kita lihat hingga saat ini, ke­beradaan keramba terse­but ma­sih banyak di Danau To­ba. Oleh kare­na itu, penulis menawarkan solusi lain de­ngan memanfaatkan biota air, yaitu mikroalga jenis Spiru­lina platensis untuk meng­atasi tercemarnya Danau To­ba.

Spirulina merupakan mik­roalga gang­gang hijau-biru yang tergolong dalam kelas cyanobacteria yang banyak ditemu­kan pada lingkungan tropis maupun subtro­pis de­ngan kondisi lingkungan yang tinggi karbon serta ting­kat keasaman yang tinggi. Spirulina dapat dibudidaya­kan dalam kolam terbuka (open pond) untuk memper­oleh produk dalam jumlah besar maupun secara tertutup (closed pond) dalam skala laboratorium.

Dalam pertumbuhannya, Spirulina mem­butuhkan nut­risi yang cukup seperti sum­ber karbon, fosfor dan nitrogen yang biasanya diperoleh dari medium sintetik/kimia yang harganya relatif mahal. Sudah banyak penelitian yang menemukan bahwa ko­toran ternak seperti babi atau sapi dapat dimanfaatkan se­bagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan Spirulina. Fa­kultas Biotek­nologi Insti­tut Teknologi Del juga se­dang ber­gelut dalam pembu­di­dayaan mikroalga ini mes­ki­pun masih dalam skala la­bo­ra­torium.

Berdasarkan penjelasan di atas, limbah kotoran ternak yang biasanya langsung di­buang ke Danau Toba, kini da­pat di­manfaatkan sebagai media pertumbuhan Spi­ru­­li­na. Biomassa Spirulina yang telah dibudidayakan di ko­lam tersebut, ke­mu­dian dipa­nen untuk dilakukan penge­ringan, sehingga dapat dija­dikan suplemen pakan ikan untuk menggantikan pakan ikan sin­tetik yang menyebab­kan rusaknya ekosis­tem Da­nau Toba.

Penelitian te­lah dilakukan seorang ma­hasiswa Institut Pertanian Bogor, Firsty Rah­matia de­ngan judul "Penggu­naan Spi­rulina platensis se­bagai Sup­lemen Bahan Baku Pakan Ikan Nila Oreochro­mis nilo­ticus" pada tahun 2010. Pa­kan ikan ber­bahan baku te­pung ikan, tepung ja­gung, de­dak halus dan ampas tahu yang disu­plementasikan dengan 3% spirulina memi­liki kadar protein sebesar 25%. Hal ini  memberikan tingkat pertumbuhan ikan yang sama dengan pemberian pakan ikan yang berprotein 28%.

Lebih dari 30% dari pro­duk­si spirulina di seluruh du­nia digunakan untuk pakan ternak. Telah banyak pro­duk­si tepung Spirulina yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber karotenoid, yaitu pig­men warna untuk pemben­tukan zat warna yang dapat meningkatkan kualitas warna ikan serta fikosianin sebagai penyimpan protein seba­gai antioksidan. Tepung Spiruli­na juga memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik un­tuk pertumbuhan dan imun ikan karena mencapai 60-70% protein, kandungan lemak sebesar 1,5-12% untuk pertumbuhan organ serta kandungan vitamin dan mineral yang tinggi terutama vitamin B12.

Dengan pemanfaatan mik­roalga ini, masyarakat tidak perlu kehilangan pekerja­an akibat peniadaan keramba. Menurut Prof. Nyoman, peneliti Spirulina dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Indonesia, hingga saat ini belum ada pembudida­yaan Spirulina skala massal di Indonesia. Bila kegiatan ini di­lakukan, maka kawasan Da­nau Toba menjadi tempat bu­didaya Spirulina pertama di Indonesia.

Penulis turut mendukung terwujudnya Da­nau Toba se­bagai "The Monaco of Asia" de­ngan memberikan ide di atas untuk dapat di­tindak­lanjuti oleh pemerintah se­tempat, DP­RD Kabupaten dan DPRD Provinsi dan Pem­­da agar mengadakan ker­ja sama de­ngan pihak Fakul­tas Bioteknologi Institut Tek­nologi Del dalam pena­ngan­an pen­ce­maran Danau Toba dengan meman­faatkan budi­daya spirulina. Bila perenca­na­an ter­sebut terwujud, maka dapat me­ning­katkan daya tarik wisatawan untuk ber­kun­jung ke Da­nau Toba dan mewujudkan Geopark Kal­­dera Toba sebagai "The Monaco of Asia".

(Penulis adalah mahasis­wa Fakultas Bioteknologi, Institut Teknologi Del)

()

Baca Juga

Rekomendasi