Bijak Memahami Ugamo Malim

Oleh: J Anto. ANGGAPAN bahwa umat peng­hayat ajaran leluhur seperti Par­malim atau Ugamo Bangso Batak, tertutup dan terkesan misterius, dibantah keras oleh Wakil Ketua Perhimpunan Ugamo Malim Medan, Mangatar Manurung dan Sekretaris Rosniwati Simamarmata,.

“Kami terbuka terhadap warta­wan, silakan datang ke bale parsa­n­tian kami,” ujar Mangatar Manurung sembari menyebut sebuah nama jalan di Medan. Tak kenal maka tak sayang. Keduanya berharap media bisa menulis ajaran leluhur lebih mendalam agar masya­rakat men­dapat informasi yang benar dan aku­rat.  Terpenting tidak terjebak stigma menyesatkan seolah umat Parmalim penyembah hantu (sipelebegu).

Menurut Mangatar Manurung, Ugamo Malim memiliki 7 ritual religi yang telah dijalankan turun-temurun dan dipimpin Raja  Sisinga­mangaraja I – XII, yang sekaligus bertindak sebagai imam. Ketujuh ritual itu merupakan uhum (wajib dilakukan oleh umat). Ritual perta­ma, Samisara atau Marari Sabtu. Ritual ini dilakukan umat untuk mula­jadi Na Bolon (memuliakan Tuhan). Marari Sabtu diadakan seminggu sekali.

“Pada hari ketujuh umat berhenti melakukan kegiatan setelah enam hari bekerja,” tuturnya. Ibadat tersebut diikuti seluruh umat Ugamo Malim, baik orangtua maupun anak-anak. Dalam peribadatan, dibacakan doa-doa sebagai ungkapan rasa syukur atas pemeliharaan Na Bolon, permohonan untuk penghapusan dosa selama seminggu dan permo­honan  umat terhadap nabi-nabi dan Na Bolon.

Menurut Ulu Punguan Bale Par­san­tian Ginomgom ni Bale Pasogit Medan, R Simanjuntak, ada 10 doa yang dipanjatkan lewat ke-10 nabi, yang merupakan pembantu Mulajadi Na Bolon.

Usai berdoa, Ulu  Punguan mem­ba­cakan  patih turbukk (ajaran hidup yang diambil dari Habonoron), kitab suci Ugamo Malim. Ibaratnya seperti tema sebuah kotbah yang sudah ditentukan, umat lalu diberi kesem­patan untuk menafsirkan Patik Turbukk. Ulu Punguan lalu  merang­kum seluruh pendapat umat dan menyimpulkan serta memimpin doa penutup ibadat.

Setelah ritual Marari Sabtu, ada Ritual Martutu Aik (ritual untuk mengucap rasa terimakasih sebuah keluarga atas kelahiran anak mer­e­ka). Ritual tersebut sekaligus disertai pemberian nama bayi yang baru lahir. Pemilihan dan pemberian nama anak, biasanya selaras dengan peng­harapan orangtua akan  masa depan anak. Seorang yang diberi nama Pandapotan atau Monang misalnya, karena orangtua berharap si anak bisa meraup sukses dalam hidupnya kelak.

Penghapusan Dosa

Lalu ada juga ritual Sipahasada (penghapusan dosa), lanjut Manu­rung, sehari sebelum ritual, umat harus berpuasa 24 jam. Keesokannya baru ritual itu digelar untuk mensu­kuri hari lahir Simaribulubosi, yaitu Tuhan  yang berasal dari manusia yang diangkat derajatnya oleh Mula­jadi Na Bolon dan telah menebus dosa umat. Ritual itu dilakukan untuk me­meringati kelahiran Tuhan pene­bus dosa bagi penganutnya.

Ada juga ritual Pasahan Tondi (mengantar roh orang yang mening­gal) agar diterima Mulajadi Na Bolon. Kemudian ritual Mardebata (bersyukur atas berkat yang diterima) dari Mulajadi Na Bolon. Ritual ini dilakukan masing-masing keluarg.

Namun menurut Ketua Pemuda Organisasi Parma­lim Medan, Wanri Simarmata, ritual itu juga dilakukan keluarga yang menghadapi cobaan berat sampai merasa beban itu tak bisa ditanggungnya. “Jadi keluarga itu lalu memohon ampun dan me­min­ta perlindungan atas kesalahan besar yang telah dilakukan.”

Ritual ketujuh adalah Sipahalima yang wajib diikuti seluruh umat sebagai wujud ungkapan syukur atas panen dan ternak yang melimpah. Diwujudkan dengan memberi per­sem­bahan berupa padi, buah-buahan, dan ternak.

Tortor dan Gondang

“Itulah tujuh uhum Parmalim,” ujar Mangatar Manurung. Dari ketujuhnya,  hanya Mardebata, Sipahasada, Sipaha Lima yang diiringi tortor dan gondang.  Tiap gondang memiliki irama musik yang berbeda.

Mereka juga memiliki kitab suci, Poestaha Habo­noran. Berisi poda-poda atau nasihat untuk menuntun perilaku umat mencapai imannya. Poda-poda itu mengandung tuntunan umat dalam hidup berumah tangga, bergaul dengan sesama, dan berhu­bungan dengan Mulajadi Nabolon

Wanri Lumbanraja memberi con­toh poda-poda yang terjemahan ba­hasa Indonesia-nya, “Semut  beker­ja mengumpulkan makanannya se­belum musum kema­rau”. Poda itu mengajarkan agar umat senantiasa berjaga-jaga atau mengantisi padi sebelum sesuatu yang buruk (ben­cana) datang.

Ada juga poda lain seperti, “Mar­tua ma halak silehon dame, didok do ibana anak ni Debata” yang artinya, “…berbahagialah mereka yang memberi damai karena mereka disebut anak Tuhan.” Selain poda-poda yang bersumber dari Ho­bo­noron, mereka menurut Ulu Punguan R Sumanjuntak juga memiliki sejum­lah larangan yang wajib dipatuhi.

Misalnya dilarang makan daging babi, anjing, atau makanan bercam­pur darah, hewan mati yang tidak dipotong, dan makanan dari hasil curian. Intinya, Ugamo Malim membimbing umat agar berperilaku baik, tidak mengganggu sesama orang. Tujuannya agar tercapai damai di hati.

()

Baca Juga

Rekomendasi