Kapal [Budaya] Gorga Meluncur Sudah

Oleh: Ris Pasha. MENJELANG akhir Desember 2017, sebuah kapal yang indah dan artistisk, me­luncur sudah. Masyarakat Ka­bu­paten Samo­sir, tertutama di pesisir Da­nau, mengatakan Ka­­pal Gor­ga. Walau Bupati samosir Rapidin Simbolong mengatakan, kapal Buda­ya. Ke­napa? Karena seper­tiga dari bagian kapal itu penuh dengan Gorga.

Gorga adalah seni pahat (re­lief) orang Batak. Berbagai je­nis bentuk gor­ga tentunya. Ham­­pir setiap wila­yah di Ta­nah Batak memiliki ciri gor­ga-nya.

Penulis ingin melepaskan diri dari bentuk-bentuk gorga itu. Penulis ingin fokus siapa pembuat kapal tersebut dan ba­­gaimana perencanaannya.

Kapal ini adalah salah satu barang dalam item pengadaan dari Kabupaten Samosir. Iba­ratnya, Pemkab Samosir ingin membeli sebuah mobil dinas, be­gitulah status pem­bua­tan ka­pal ini. Biarlah pe­nulis me­nyebutnya Kapal Gorga, se­perti masyarakat ju­ga me­nye­­but demikian.

Beberapa seniman dan para ahli, ra­pat disebuah gallery Me­­dan Seni Pa­yung Teduh Jalan Sei Bingei No. 1 Me­dan. Se­mua seniman itu kelihatan se­­rius, walau dalam canda ta­wa. Sesekali terdengar suara alu­nan gitar yang dipetik oleh Sang­gam Situmo­rang. Togu Sinambela mengetuk-nge­tuk­k­an sendok ke gelas, sebagai me­­tro­­nome pengatur tempo. Ato alias Sal­­wan si anak Tora­ja, mulai menarik suara dengan nada tinggi, ditimpali oleh Ce­cep denga suara tiga.

Ato alias Salwan, memang serasi bila duet dengan Cecep, walau sese­kali Wan Saat nim­brung dengan nada lima yang terputus-putus. Nafasnya me­­mang suka tersendat. Mak­lum­­lah, ka­rena baru saja sakit, berak kapur, kata Cecep.

Sandi tak ba­nyak cakap. Dia cukup mende­ngar diskusi yang penuh canda dalam kese­riusan itu. Tiba-tiba Tuak da­lam teko sudah habis diteng­gak­knya. Akibatnya ba­nyak yang Ken­tang (Kena Tang­gung).

Kesepakatan pun terjadi. Da­lam ko­mando Sanggam Si­tumorang dan Togu Sinambe­la, semua “awak” Medan Seni Payung Teduh sepakat kerja ke­­ras menerima tantangan dari Pemkab Samosir. Serentak me­reka mengang­kat gelas dan mengadunya sem­bari sete­ngah berteriak “Lis­sooooyy”.

Keesokan harinya semua­nya mulai sibuk. Ahli-ahli ani­masi, arsitektur, teknik si­pil, ah­li patung (Togu Sinam­bela dan Bambang Sukarno) pun dihadirkan. Semua sepakat, tan­tangan kedua harus diha­da­pi dengan tenang dan penuh canda tawa dalam keserius­an. Memang itulah ciri khas anak-anak Payung Teduh. Semua­nya penuh canda dalam me­ngerjakan apa saja. Banyak orang agak heran melihat ting­kah mereka. Bercanda, tapi ker­­ja siap dan sempurna.

Crew-crew Payung Teduh (Bukan grup musik. Sebelum grup musik itu ada, Gallery Me­dan Seni Payng Teduh su­dah belasan tahun lebih dulu ada) selalu beraktifitas. Sebe­lum Kapal Gorga, Crew Pa­yung Teduh sudah menger­jakan Patung Beca Siantar yang beratnya 3,5 Ton.

Persisnya sejak Maret 2017 per­siap­an dan pengerjaan dan berbagai de­sign sudah disiap­kan. Akhirnya Sep­tember 20­17, beberapa crew Payung Te­duh harus “hijrah” semen­ta­ra ke Pulau Samosir. Mulanya mem­ba­ngun galangan dan mem­­persiapkan se­galanya. Men­­cari kayu yang terbaik dan semuanya bahan yang terbaik, kelas no. 1.

Semuanya harus pontang pan­ting. Ahli-hali kapal dimin­ta nasehatnya. Baik kapal laut, maupun kapal danau. Semua li­terasi dikumpulkan dari ber­bagai bahasa. Untuk atap kapal agar kuat, diimpor aspal dari Canada. Me­sin kapal bukan da­ri mesin mobil (truck), tapi benar-benar mesin kapal mer­k Marine. Harganya mencapai Rp. 600 juta. Untuk mesin saja.

Pengerjaan Gorga, juga bu­kan sembarangan. Empat se­niman Batak dari Pulau Samo­sir disiapkan. Para pe­ngetua diundang dengan memotong bebe­rapa ekor Ba­bi, dimintai pen­da­pat filo­sofi gorga yang pantas untuk ka­pal itu. Dalam acara makan bersa­ma itu, San­di paling agresif me­nyiapkan Tuak Tangkasan dari para­gat. Tanpa ubis rebus tentunya.

Kapal ini sedikit lebih besar dari kapal yang selalu dipakai me­nyebe­rang­kan turis dari Pa­rapat ke Tuktuk/Tomok. Ukur­an kapal tidak menjadi ukuran, menurut penulis. Sebuah truck gandeng harganya hanya Rp. 1 milyar. Mobil ke­cil bernama sedan Mercedes, Ferrary, Ca­dillac atau Roll Royce, harga­nya mencapai Rp. 7 Milyar. Har­ga bukan men­jadi ukuran ba­gi penulis. Kapal Gurga hanya seharga Rp. 2,4 milyar. Mereka yang berpikiran seper­ti itu, me­nurut penulis adalah kampu­ngan. Tak pernah pik­nik ke­mana-mana. Taunya ha­nya ber­sembunyi di bawah tem­pu­rung.

Di atas kapal ada dua buah tabung. Penulis tak tau apa na­manya -penulis me­mang tak mau tau apa namanya- ka­rena penulis ingin menuliskan ten­tang wisata dan seni. Jika ter­jadi se­suatu, tabung itu akan mengembang dan bisa me­nam­­pung 20 orang tiap tabung. Di dalam tabung itu sudah ter­sedia makan­an untuk 4x24 jam. Artinya cukup bagi mere­ka menunggu datang tim SAR menyelamatkan mereka.

Kamar mandinya, sangat lux. Dua ber­ada di lantai per­tama penumpang dan dua di lan­­tai kedua yang terbalut kaca trasparan. Ada sebuah mini Bar dengan semua kursi terbu­at dari Jati. Di­kerjakan oleh se­niman meuble di­da­tangkan dari Jepara. Indah dan mengki­lap.

Penumpang memang diba­ta­si ha­nya 50 orang saja plus 5 orang crew ka­pal terma­suk ju­ru mudi. Ruang juru mudi juga kelihatan sangat me­menuhi stan­dard kapal. Kalau penulis melihat­nya, kapal ini bukan ha­­nya memenuhi SNI, ta­pi su­dah SNI plus.

Ada ruang karaoke, bisa ju­ga nonton film dan bisa me­nyak­sikan pertunuukan tari dan teater. Sa­yang­nya, tidak ter­­sedia ruang baca puisi dan baca novel. Biasalah... Mana ada kepala daeerah di Sumut yang suka puisi, cerpen dan novel.

“Kok enggak ada ruang khusus untuk baca puisi dan baca novel,” tanya penulis ke­pada manager area, Pak Sandi.

“Bah. tak sempat memikir­kannya coooiii...,” kata Sandi seenaknya sem­bari menghi­dang­kan Tuak, tanpa Udang Lobster Danau.

Akhir Desember, Kapal Gorga ini sudah diserahkan ke­pada Pemkab dan diterima de­­ngan senang hati. Sempat ter­tunda beberapa hari. Mung­kin menunggu seorang mente­ri dulu.

“Alaah... kayak tak tau saja pun. Bia­salah, kalau boleh Pak Presiden meresmikan ke­napa rupanya?”

Penulis meno­leh arah da­tangnya suara satir itu. Ternya­ta tak ada orang. Bulu kuduk pe­nulis pun berdesir.

Cepat penulis turun dari ka­pal, sem­barui berpikir. Iya pu­lak ya. Ke­napa pu­lak aku yang harus repot. Kalau Bupati mau yang meresmikan kapal itu Men­­teri Kedanauan, kena­pa rupanya? Se­perti aku ingin men­jadi kepala dinas PU ba­gian pegunungan. Yakan... ya kan...

Selamat menikmtai kapal Gorga seluruh masyarakat Sumut bahkan mancanegara. Berbanggalah masyara­kat Samosir memiliki kapal gorga yang seindah itu dan semewah itu. Di atas kapal semua bisa di­jelaskan kepa­da penum­pang, memalui film dan se­ba­­gainya. Tentu saja filmnya di­buat dulu oleh seniman film yang sudah ter­uji membuat film. Seperti film do­kumen­ter Gedung Budaya Medan itu. Yakan.. ya kaaan, bung Yon Diktan, To kan?

Horas.

()

Baca Juga

Rekomendasi