Kenangan Para Ibu

Oleh: Azmi TS. KETIKA musisi Iwan Fals membuat syair tentang seo­rang yang sangat dika­sihi dan dihormatinya, itu sungguh meng­ha­rukan. Apalagi lagu ini dilantun­kan saat bulan Desem­ber. Tepatnya tanggal 22 setiap tahun, pastilah teringat akan ibu kita. “Kebaya merah kau ke­nakan. Ang­gun walau tam­pak kusam. Kerudung pu­tih ter­gerai. Ujungnya koyak tak ku­rangi cintaku. Ibuku, darah­ku, tanah airku”.

Perempuan yang diimajina­sikan Iwan Fals, merupakan sosok yang sudah ke­nyang me­la­koni hidup. Pengalaman su­ka maupun duka sudah lama me­lekat pada tubuhnya yang su­dah mulai renta.

Banyak kenangan bagai­ma­na ketulus­an dan keikhlas­an sang ibu mengandung sang janin sembilan bulan lebih, hingga lahir. Kehadiran anak yang telah dinanti­kan itupun akan melanjutkan silsilah da­lam kekerabatan selanjutnyal.

Dengan sabar siibu bersike­ras mera­wat, mengasihi, hing­ga rela berkorban semuanya de­mi kehidupan anak-anak­nya. Ibuku, darahku, tanah air­ku, kata Iwan Fals. Itu menyi­ratkan betapa se­ha­rusnya anak tetap hormat, menghar­gai semua perjuangannya.

Betapa sedihnya kalau ibu tidak lagi diperdulikan oleh anak-anak dan cucu­nya, ketika tubuh renta itu tak kuat lagi ber­­kuasa. Memang sejatinya seorang ibu tak pernah menun­tut balas atas jasa lahir dan ba­tin itu.

Bukan pula menapikkan. Berapapun nilai material tak akan mampu anak bisa mem­balas budi pada ibunya. Ibu adalah wakil Tuhan di bumi dan Surga di bawah te­­lapak ka­ki ibu, bukan slogan tanpa makna.

Patuh kepada nasehat ke­dua orang tua akan membawa berkah hidup di dunia, ter­lebih akhirat nantinya. Maka jangan sam­pai anak dilabeli sumpah, siibu tentu akan menjauhkan kita menikmati surga­wi.

Ibu dalam beberapa kesem­pa­t­an juga tak luput dari per­hatian para maestro seni­lukis un­tuk diabadikannya ke atas kan­vas. Ada Pablo Picasso, Leo­nardo da Vin­­ci dan Elisa­beth Vigee Lebrun melu­kis­kan para kehahangatan pelukan sang ibu pada anaknya. Ada ibu yang se­dang me­nyusui anak serta menggendong ba­­li­ta­nya, terangkum pada karya lu­kisan Ba­suki Abdullah, Ha­risman dan Dolo­rosa Sinaga (pematung).

Sebetulnya karya lukisan ten­tang ibu dan anaknya ba­nyak sekali. Sekadar me­nge­­nang bulan Desember hanya me­re­kalah ditampilkan. Ken­da­ti meneroka lu­kisan ibu dan anaknya karya Pablo Pi­casso, dengan Leonardo da Vinci sesung­guh­nya unik. Bagaima­na mereka berhasil me­nyiasati peristiwa tentang kasih meng­a­sihi anak dengan ibunya.

Gaya realisme lebih mere­ka utamakan untuk melukis­kan sosok sentral pada lukisan itu yakni anak dan ibu. Hal yang sama menyangkut realis­me kehidupan juga dipilih Ba­suki Abdullah dan Haris­man. Lukisannya sangat indah dan mudah dicerna. Beda dengan ca­ra Dolo­ro­sa Sinaga berupa po­tongan tubuh ibu dan anak­nya dalam bentuk patung.

Karya patung Dolorosa Si­naga itu ke­cenderungan figu­ra­tif lebih nyata. Karya patung seperti itu dahulu banyak di­buat oleh Auguste Rodin. Ter­lepas dari kisah syair Iwan Fals, lukisan maestro dan juga patung di atas tentu semuanya hanyalah rekaan imajinasi seniman. Kita juga seharusnya bisa mengingat atau me(kena­ng)an kembali bagaiamana per­juangan siibu dahulu.

Ingat, tidak mungkin anak lahir ke­dunia ini tanpa adanya kedua orang kita. Di bulan De­sember ini adalah waktu yang wajar untuk itu semua. Bukan hanya bulan ini saja memang yang menjadi kewajiban ber­ka­sih sayang, tapi mampu mem­praktekkan setiap hari­nya. Hari ibu adalah ikhwal me­ngenang, menghayati diri apa yang telah diperbuat untuk keba­ha­gian anak-anaknya.

Sebaliknya bagaimana anak sudah mem­bahagia dan me­nyenangkan hati kedua orang tua di saat masih hidup. Ja­ngan samapai ada penyesal­an sewaktu hidup tak pernah menyejahterakan beliau, ka­re­na anaknya sudah sukses. Teri­ngat penggalan syair lagu dang­dut;” Kalau sudah tia­daaaa.., baru terasaa...”, karya Rho­ma Irama. Demikian pula pepatah me­nga­ta­kan: “Kasih ibu sepanjang zaman. Kasih ayah sepanjang jalan”.

Pada intinya kasih sayang ibu itu tak ada batasannya, se­dangkan kasih ayah ada ujungnya. Bagi yang masih hi­dup kedua orang tuanya syu­kurilah, bagi yang su­dah pergi meninggalkan dunia fana juga bersyukur. Mempraktekkan ber­ka­sih sayang itu tak ada pa­ri­purnanya, meng­ingat kena­ng­an masa lalu bersama sang ibu mungkin cara yang bijak.

()

Baca Juga

Rekomendasi