Gender dalam Puisi “Doenia Hampir Terbaik”

Oleh: Sartika Sari. Puisi “Doenia Hampir Terbalik” terbit di surat kabar Pewarta Deli pada tahun 1929. Selain puisi tersebut, terdapat pula puisi “Iboe jang Tertjinta” di surat kabar yang sama.

Surat kabar Pewarta Deli terbilang aktif mempublikasikan karya sastra khususnya puisi. Surat kabar ini didirikan sejak 1908 oleh suatu perseroan terbatas bernama Naamlooze Vennootschap Boekhandel & Drukkkerij “Sjarikat Tapanoeli”. Surat kabar Pewarta Deli adalah surat kabar nasional pertama yang terbit di Medan.

Surat kabar ini banyak menampilkan pemikiran-pemikiran perempuan Sumatera Utara. Misalnya mengenai pendidikan, percintaan dan keterlibatan perempuan dalam gerakan perjuangan. Termasuk bagaimana perempuan Sumatera Bagian Utara menghadapi cemooh dari perempuan Belanda.

Persoalan-persoalan seperti itu seringkali luput dari narasi besar sejarah pergerakan nasional. Padahal berpengaruh dalam kehidupan perempuan. Seperti yang ditegaskan Wollstonecraft (2014) dan Beauvoir (2003).

Pendidikan dan pengakuan masyarakat adalah hal penting dalam kehidupan perempuan. Meskipun pada masa itu keduanya tidak melabeli tindakan mereka sebagai perjuangan gender. Penegasan untuk memperoleh kedudukan yang setara dengan laki-laki tetap mengintroduksi ide kesetaraan gender. Sebagaimana yang dikatakan Gatens (1991: 140) bahwa gender merupakan konsep yang digunakan untuk menyelidiki subordinasi tertentu. Contohnya, manipulasi konstruksi kembar tentang identitas manusia “perempuan” dan “laki-laki” di dalam semua hubungan ekonomi, politik dan sosial. Karena itu, dalam analisis ini saya menggunakan istilah gender untuk menyebut berbagai upaya dalam perjuangan pemerolehan hak-hak dasar perempuan.

“Doenia Hampir Terbalik” 1929

Puisi Doenia Hampir Terbalik terdiri dari tiga belas bait. Puisi ini berbentuk kuatrin. Tiap baitnya memiliki empat larik dengan rima mirip syair atau abab. Gagasan kesetaraan gender dalam puisi ini ditampilkan melalui enjambemen yang bersifat menyindir. Subjek lirik (Ismini) dan penyair (Ismini) saling berefleksi.

Puisi Doenia Hampir Terbalik termasuk puisi diafan sebagaimana yang dijelaskan Waluyo (1991) disusun dari larik-larik yang lugas. Secara khusus, gagasan utama yang diusung puisi ini adalah gugatan terhadap konstruksi perempuan dan laki-laki. Terutama yang dinilai masih menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan.

Tapi bagi kaoem perempoean

Tjara sana tidak baik semoeanja

Djika ramboet kita potongkan

Banjaklah orang mengritieknja

Perempoean jang tinggal tegak

Dikatakan malas bergerak

Tapi kalau kita ikoet bergerak

Sebentar sadja mendapat gertak

Djika demikian doenia poenja oentoeng

Baiklah ismini poelang kekampoeng

Tinggal di sana menanam djagoeng

Pikiran ismini ta’ lagi bingoeng

Puisi “Doenia Hampir Terbalik”, 1929.

Mulai hal kecil sekalipun, perubahan yang dilakukan perempuan menjadi topik penting dalam perbincangan publik. Bait di atas menunjukkan, meski hanya persoalan rambut, perempuan harus menerima kritikan dari masyarakat. Sebab dinilai tidak sesuai dengan konstruksi perempuan, khususnya perempuan di wilayah Sumatera Bagian Utara.

Walaupun yang memiliki tubuh adalah perempuan, namun sebagaimana yang diungkapkan Gatens dalam analisis Prabasmoro (2006), dimaksud tubuh perempuan itu adalah “tubuh imajiner”. Maksudnya, tubuh yang dimasuki elemen budaya, sosial, lokasi, ras dan etnisitas.

Dengan demikian,  opresi terhadap perempuan tidak bekerja hanya pada tingkat sosial kultural tetapi pada tingkatan tubuh. Misalnya, berbentuk larangan, kritik dan hardik yang ditunjukkan puisi di atas.

Persoalan penampilan perempuan dan laki-laki juga ditampilkan melalui perbedaan ruang di kota dan di desa. Melalui subjek lirik, penampilan perempuan di kota dan di desa diungkapkan sebagai sebuah fenomena. Menyebabkan subjek lirik berada dalam kebingungan dan merasa tidak diuntungkan. Misalnya yang tersurat dalam larik berikut.

Boleh saksikan toean pembatja

Perempoean dipotong ramboetnja

Laki-laki memakai selendang,

Kaoem iboe djalan melenggang

Gara-gara djaman jang madjoe

Perempoean pakai sepatoe

Separoeh telandjang dipakai bajoe,

Apakah ini dinamakan madjoe

Di tengah djalan perempoean merokok

Mengherankan ismini jang goblok

Apalagi baroe dari goenoeng

Keadaan kota mendjadikan bingoeng

Ismini bodoh tinggal ternganga

Melihat keadaan di dalam kota

Apakah doenia soedah toea

Bangsa kita djadi Belanda

Djika laki-laki memakai tjelana

Dan menaiki fiets

Perempoean tiada mau ketinggalan

Ia poen hendak bermotor fiets

Djika laki-laki pakai badjoe

Badjoe djas tjara sana

Pakaian sana jang ditiroe

Semoea itoe ta’ada salahnja

Puisi “Doenia Hampir Terbalik”, 1929

Penampilan perempuan dengan gaya rambut pendek, memakai sepatu, merokok, memakai celana dan mengendarai fiets (sepeda), dianggap sudah seperti laki-laki. Penampilan tersebut sekaligus sangat menyerupai perempuan Belanda. Laki-laki boleh mengikuti penampilan Belanda, tetapi perempuan tidak. Subjek lirik mengungkapkan persoalan ini dengan nada menyindir.

Dalam bait kedua, saya kutip menampilkan potret polarisasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks perdebatan ruang gerak dan tindakan. Tapi kalau kita ikoet bergerak/ sebentar sadja mendapat gertak menjadi penanda bahwa perempuan berada dalam situasi yang ambigu.

Konstruksi yang mengekang diri perempuan seringkali menjadi penghalang pergerakan perempuan. Pada sisi lain ketika perempuan melakukan gerakan justru dinilai sebagai tindakan yang tidak pantas karena tidak sesuai kodrat. Perempuan yang senantiasa ditempatkan pada ruang domestik dinilai tidak memiliki kapasitas untuk bergerak di ruang publik. Konstruksi tersebut mengombang-ambingkan kedudukan perempuan.

Djika demikian doenia poenja oentoeng

Baiklah ismini poelang ke kampoeng

Tinggal di sana menanam djagoeng

Pikiran ismini ta’ lagi bingoeng   

Karena dikota banjak jang adjaib

Atau doenia hendak terbalik

Kekampoeng ismini hendak balik

Menanam padi lebih baik

Puisi “Doenia Hampir Terbalik”, 1929.

Pada bait terakhir, subjek lirik menegaskan untuk kembali ke desa. Keputusan itu karena subjek lirik menganggap tinggal di desa lebih menguntungkan dirinya. Kembali ke desa dan menanam jagung atau padi lebih memberi keuntungan dan ketentraman. Daripada dia harus berhadapan dengan kebingungan yang diciptakan masyarakat perkotaan bagi perempuan.

Keputusan Ismini sebagai subjek lirik dalam puisi, menjadi keputusan penting dalam pertimbangan kedudukannya sebagai perempuan. Sejalan dengan slogan yang berkembang di kalangan feminis bahwa the personal is political.

Apa yang dikatakan Sara Ahmed dalam paparan Prabasmoro (2004) bahwa feminisme bersifat located dan situatedsangat relevan. Dengan demikian, menjadi feminis berbeda-beda pemaknaannya. Termasuk tindakan yang dipilih Ismini untuk kembali ke kampungnya.

Keputusan itu tidak semata-mata berarti sebuah kemunduran karena apa yang dilakukan Ismini dan apa yang Ismini rasakan, yang ditunjukkan pada puisi  justru memberinya kesenangan dan kebebasan dari nilai-nilai yang berkembang dan mengendalikan tubuhnya.

Penulis; penyuka puisi tinggal di Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi