Oleh: Albiner Siagian
MENURUT Amartya Sen, seorang peraih Nobel Ekonomi dari India, salah satu cara yang melaluinya demokrasi bisa memperkaya kehidupan rakyat adalah dia memiliki perangkat nilai penting yang karenanya rakyat dapat mengekspresikan tuntutan mereka dalam keputusan politik maupun ekonomi. Keputusan yang menyangkut hajat hidup rakyat harus memihak rakyat dan melibatkan rakyat dalam mengambil keputusan tersebut. Sampai di sini demokrasi, sebagai salah satu cara mengelola negara atau pemerintahan, sudah benar. Akan tetapi, pada kenyataannya acap kali para pemimpin memanfaatkan demokrasi sebagai sekedar alat meraih kekuasaan tanpa mengindahkan apa yang disebutkan oleh Amrtya Sen di atas, yaitu sebagai perangkat mengekspresikan tuntutan kebutuhan rakyat. Inilah salah satu paradoks demokrasi.
Salah satu kelemahan utama demokrasi adalah penyamarataan orang apa pun statusnya. Bobot suara orang yang berpikiran waras sama dengan bobot suara orang sinting. Dukungan suara orang yang amat sangat terpelajar sama dengan dukungan suara orang yang buta huruf. Yang diukur hanyalah jumlah kepalanya, bukan isinya. Hal inilah, yang memunculkan pemimpin demagogis, yang menjadikan demokrasi paradoksal.
Menuruti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi online, demagogi adalah penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat. Dengan demikian, pemimpin demagogis, biasanya pemimpin politik, adalah tokoh politik yang berupaya mendapatkan dukungan rakyat dengan membuat klaim yang salah, janji palsu, dan kebohongan. Pemimpin demagogis sangat lihai memanfaatkan stigma dikotomis, seperti 'kita' dan 'mereka' atau, yang sekarang lagi ramai dibincangkan: 'pribumi' dan 'non-pribumi'.
Konon, salah seorang tokoh demagogis abad ke-20 adalah Adolf Hitler. Pada awal tahun 1920an Partai Nazi adalah partai kecil dan nyaris kehilangan pendukungnya. Hitler dengan taktik demagogi menarik simpati Jerman dengan janji memberantas korupsi, menyediakan pekerjaan kepada setiap warga Jerman, dan menarik diri dari Versaille Treaty yang dianggap sebagai kesalahan besar Jerman. Sepuluh tahun kemudian simpatisan Partai Nazi melonjak lebih dari 30 kali lipat dan pada tahun 1932, Partai Nazi menjadi partai terbesar di Jerman. Pada awal tahun 1933, Hitler diangkat menjadi Kanselir Jerman.
Membangkitkan sentimen pribumi dan non-pribumi? Misalnya, dengan menyatakan "Saatnya ekonomi pribumi bangkit"? Adalah upaya manjur untuk meraih simpati rakyat. Ini adalah taktik memanipulasi sisi emosi rakyat banyak yang telah terdikotomi menjadi pribumi miskin dan non-pribumi kaya. Polarisasi pribumi dan non-pribumi, dalam hal ini, akan makin lebar ketika secara umum kedua kelompok itu berbeda keyakinan. Karenanya, suara angin surga yang berkata "Saatnya ekonomi pribumi bangkit" akan menjadi oase di tengah gurun pasir bagi rakyat banyak yang akal sehatnya telah terdistorsi atau emosinya terhasut. Kebencian terhadap kelompok 'mereka'? Sebaliknya solidaritas terhadap kelompok 'kita'? Dengan sendirinya akan terbangun dan meninggi. Kembali, demokrasi adalah soal banyaknya dukungan, bukan kualitasnya.
Nafsu Berkuasa vs Hasrat Melayani
Paradigma 'sukses berkuasa' dan memertahankan kekuasaan ala Machiavelli, tidak lagi cocok diterapkan saat ini. Era Machiavelli dan era sekarang sudah amat jauh berbeda. Kalau Machiavelli mengesampingkan moral, pemimpin sekarang haruslah mengedepankannya. Pemimpin yang mengesampingkan moral dan mengutamakan berkuasa adalah modus pemimpin yang 'memiliki'. Sebaliknyalah pemimpin yang 'menjadi' (Erich Fromm, 1987). Pemimpin yang menjadi adalah yang mewujudkan realitas sejati yang sesungguhnya dan mengaktualisasikan potensi.
Senada dengan Fromm, Horward Gardner? Professor Kecerdasan dari Universitas Harvard? Menyatakan bahwa pemimpin yang 'menjadi' akan menciptakan pandangan hidup, menjadi simbol moral, mengangkat orang keluar dari kepicikan, mengatasi konflik (bukan menciptakan konflik), dan menyatukan potensi semua orang untuk mencapai tujuan. Inilah tipe pemimpin yang menurut Jansen Sinamo (2012), sebagai pemimpin yang kredibel dan visioner. Perwujudannya adalah pemimpin yang melayani.
Akhir kata memanipulasi keluguan, kepolosan, ketidaktahuan, dan kepicikan rakyat dengan cara licik dan curang untuk meraih simpati, berkuasa, dan mempertahankannya (demagogi) adalah rupa dari pelecehan terhadap peradaban. Demagogi membuat demokrasi menjadi paradoksal. ***
Penulis, Guru Besar Universitas Sumatera Utara