Oleh: Dr. Henry Sinaga , SH., SpN., M.kn
PERNYATAAN di atas sampai saat ini masih terus menjadi perdebatan hangat dan menarik. Terhadap pertanyaan itu muncul 2 (dua) golongan, yaitu golongan pertama yang membenarkan atau yang setuju bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA) adalah produk politik hukum Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terlarang di Indonesia dan golongan kedua yang tidak setuju atau yang menentang.
Golongan pertama berpendapat, bahwa salah satu faktor penyebab tidak dipergunakannya UUPA sebagai dasar dalam pembentukan/penyusunan Undang-Undang Sektoral Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam atau disingkat UU Sektoral PSDA.
Yang dimaksud dengan UU Sektoral PSDA antara lain ialah undang-undang kehutanan, undang-undang pertambangan mineral dan batubara, undang-undang minyak dan gas bumi, undang-undang sumber daya air, undang-undang perikanan, undang-undang penataan ruang, undang-undang lingkungan hidup, dan lain-lain, yang mengakibatkan pertikaian antara UUPA dengan UU Sektoral PSDA adalah karena tudingan bahwa UUPA adalah produk politik hukum PKI.
Menurut Golongan Pertama, bahwa pada kurun waktu antara tahun 1957 sampai 1962 pemerintah (eksekutif) dan DPR RI (legislatif) selaku lembaga pembentuk undang-undang di Indonesia, menetapkan banyak sekali peraturan perundang-undangan untuk memenuhi tuntutan yang diajukan oleh PKI dan organisasi massanya, salah satu di antaranya adalah UUPA.Lahirnya UUPA adalah salah satu tuntutan PKI yang sekaligus membuktikan betapa kuatnya pengaruh PKI di kalangan pemerintah dan DPR RI pada waktu itu.
Pemerintah di bawah pimpinan Presiden Soekarno, sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran PKI, dan tokoh-tokoh PKI tidak sedikit yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan Presiden Soekarno. Salah satu keberhasilan PKI adalah mendesak pemerintah untuk menerbitkan UUPA. Pengaruh PKI di legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) juga sangat signifikan karena PKI termasuk dalam peringkat 10 (sepuluh) besar perolehan kursi terbanyak di DPR RI dalam Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955.
Selanjutnya menurut golongan pertama ini, UUPA dianggap sebagai gagasan dari PKI, karena ketentuan program landreform yang diatur di dalam UUPA. Nomenklatur/terminologi/istilah dan konsepsilandreform secara historis adalah berasal dari adagium (semboyan) Komunis land to the tillers (tanah pertanian hanya untuk petani) yang pertama kali dikumandangkan oleh tokoh komunis dunia yang bernama Vladimir Ilyich Lenin, Pemimpin Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia, adagium tersebut umumnya dipergunakan oleh partai-partai atau negara-negara komunis/sosialis di dunia termasuk PKI dalam upayanya memikat hati rakyat dalam rangka merebut kekuasaan.
Oleh karena itulah di negara-negara bukan komunis/sosialis yang melakukan landreform lebih suka mempergunakan istilah agrarian reform.Pada waktu pemilihan umum yang diselenggarakan tahun 1955, Sekretariat BTI (Barisan Tani Indonesia) yang merupakan organisasi massa PKI melaporkan bahwa jumlah anggotanya 3.300.000. orang, jumlah yang mengagumkan ini disebabkan oleh kampanye program landreform yang dilakukan PKI secara gencar sebelum pemilihan umum.
Selain nomenklatur/terminologi/istilah dan konsepsi landreform, menurut golongan pertama ini pula, stigma politik PKI terhadap UUPA ini juga diperkuat dengan nomenklatur/terminologi/istilah dan konsepsi sosialisme Indonesia yang tercantum dan dipakai oleh UUPA sebagai asas dalam hukum agraria nasional Indonesia.
UUPA Dipeti-es-kan
Selanjutnya menurut golongan pertama, bahwa stigma politik yang dilekatkan pada UUPA setelah peristiwa 1965, membuat UUPA dipeti-es-kan dan juga sekaligus dimandulkan.
Segala kekurangannya bukan segera diisi dengan sejumlah peraturan dan perundangan baru yang sengaja disusun untuk itu, tetapi pemerintah Orde Baru yang baru saja mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama malah menciptakan sejumlah undang-undang baru yang mengatur soal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dari segi isinya sama sekali tidak mencerminkan semangat kerakyatan atau semangat membela kaum lemah di pedesaan. Undang-undang mengenai pengelolaan sumber daya alam tersebut juga diberlakukan dengan kekuasaan yurisdiksi yang berbeda satu sama lain, meskipun seringkali diterapkan di atas obyek yang sama.
Lebih lanjut menurut golongan pertama, bahwa sejak tahun 1966 berbagai undang-undang yang berkaitan dengan kekayaan alam mulai diundangkan, misalnya Undang-Undang Kehutanan (1967), Undang-Undang Pokok Pertambangan (1967), dan lain-lain.
Sementara di pihak lain, karena proses pembekuan dan pemandulan, UUPA dengan sendirinya menjadi terpinggirkan. Bahkan pada akhirnya, seolah-olah UUPA hanya mengatur soal hak-hak atas tanah yang jumlahnya tidak lebih dari 30% luas seluruh daratan di Indonesia. Selain itu, karena UUPA masih dipandang tabu, tidak ada undang-undang dalam periode Orde Baru yang mengacu kepada UUPA.
Semuanya berorientasi sektoral, tanpa ada pengakuan bahwa pada kenyataannya ada undang-undang yang jika dilihat dari isinya merupakan payung (umbrella act)dari dan untuk peraturan-peraturan di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam (bumi, air, udara, dan segala kekayaan yang ada di atas permukaan bumi maupun yang terkandung di dalam perut bumi), yaitu UUPA.
Berbeda dengan golongan pertama, menurut golongankedua tidak benar UUPA adalah produk politik hukum PKI karena UUPA justru dibuat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dari UUPA dijelaskan dalam Penjelasan Umum UUPA yang antara lain mengatakan bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial, sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu menurut golongan kedua UUPA juga didasarkan pada hukum adat dan bersifat religius.
Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU – Medan