Oleh: Datuk Imam Marzuki
DI dalam Islam, bendera telah menduduki posisi yang sangat tinggi. Dahulu, bendera ini selalu dipasang oleh tangan yang suci dan mulia, Tangan Rasulullah saw di atas sebilah tombak dalam setiap peperangan dan ekspedisi militer. Begitu mulianya kedudukan bendera ini, Nabi saw pernah menyerahkan bendera ini kepada beberapa sahabat yang sangat pemberani, seperti Ja’far ath-Thiyaar, ‘Ali bin Abi Thalib, Mush’ab bin ‘Umair. Para sahabat ini senantiasa mempertahankan bendera dan panji-panji ini dengan penjagaan yang sangat sempurna. Mereka menjaga benderanya dengan sepenuh jiwa dan hati.
Di masa Nabi Muhammad saw, panji dan bendera memiliki kedudukan yang sangat mulia, sebab, di dalamnya bertuliskan kalimat tauhid, ‘La Ilaha illa al-Allah’. Selain itu, kelak di hari akhir, liwa’ al-hamd (panji kesyukuran) akan diserahkan kepada Rasulullah saw. Meskipun bendera-bendera ini hanyalah secarik kain yang akan berkibar bila tertiup angin, akan tetapi di hati musuhmusuhnya laksana sambaran tombak dan panah yang melesat secepat kilat. Sedangkan kecintaan pembawa bendera terhadap benderanya melebihi cintanya orang yang dimabuk asmara.
Al-Jahidh telah menerangkan sejauh mana pengaruh panji dan bendera di dalam jiwa seseorang. Di dalam bukunya ia menyatakan: “Kami menemukan bahwa pembesar-pembesar seluruh agama dan kepercayaan selalu membawa panji-panji dan bendera-bendera dalam setiap peperangan. Padahal semua panji dan bendera itu hanyalah secarik kain yang berwarna hitam, merah, kuning dan putih. Mereka juga menggunakan panji sebagai tanda untuk membuat kesepakatan. Bendera juga digunakan sebagai tempat kembali, bagi tentara yang kucar-kacir. Sungguh, mereka telah mengetahui bahwa panji dan bendera itu meskipun hanya secarik kain yang dipasang di atas lembing, Akan tetapi ia sangat menggentarkan hati, dan begitu agung dalam pandangan mata”.
Setelah dipaparkan hasits-hadits dan atsar, kita dapat menyimpulkan hal-hal berikut ini: 1. Bendera Rasulullah saw yang paling besar berwarna putih dan bertuliskan La ilaha Illa Allah Muhammad Rasulullah. Kesimpulan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang telah diketengahkan sebelumnya. 2. Panji Rasulullah saw berwarna hitam, dan di dalamnya ada warna putih. Panji ini terbuat dari kain wool dan kain-kain yang dikenal oleh bangsa Arab. Oleh karena itu panji itu terlihat didominasi warna hitam. Orang yang melihat dari dekat akan mengatakan bahw panji Rasulullah saw putih, karena ada dua warna yang sama yakni hitam dan putih. Orang yang melihat panji itu setelah perang akan mengatakan bahwa panji beliau saw agak keputih-putihan. Sebab, warna panji tersebut terlihat berwarna debu tanah, atau kuning.
Imam Ibnu Katsir berkata: “Panji Rasulullah saw berwarna hitam, berbentuk persegi empat , sedangkan bendera beliau saw berwarna putih. Para pembawa bendera-bendera dan panji-panji Nabi saw terdiri dari banyak golongan. Barangkali, golongan-golongan terpenting dari mereka adalah sebagai berikut: Pertama, pembawa bendera Nabi saw di setiap peperangan yang diikuti secara langsung oleh Rasulullah saw. Tantangan semacam itu, antara lain, terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 23. “Dan jika kamu dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat yang semisal dengannya, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
Nabi Muhammad Saw memiliki sebuah bendera, yakni bendera berwarna putih, ukurannya sehasta. Pembawa bendera dalam saat-saat seperti itu adalah ‘Ali bin Abi Thalib. Setiap orang yang diutus Nabi saw untuk melancarkan ekspedisi militer akan diserahi panji khusus. Panji ini sebagai bukti bahwa ia adalah pemimpin yang memimpin ekspedisi militer tersebut. Dengan mengkaji sejarah, kita akan menemukan bahwa ada sebagian orang yang diberi tugas membawa panji Nabi saw, membawa sendiri panji tersebut diserahkan kepada orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Ini terlihat dengan sangat jelas dalam kisahkisah peperangan dan ekspedisi militer Nabi saw yang dituturkan oleh ahli-ahli sejarah. Panji Rasulullah saw berwarna hitam, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih.
Di Madinah pada tahun 622, Nabi Muhammad saw menggunakan liwa (bendera) dan rayah (panji). Ibnu Abas menyatakan, “Rayah Rasulullah saw berwarna hitam, dan liwa-nya berwarna putih.” Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Buraidah, maupun Rasyid bin Saad (Al-Hujaili, 2002: 44-50). Charge liwa yang digunakan Nabi Muhammad saw berupa kalimat sahadat. Hal ini terekam dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, “Liwa Nabi saw tertulis laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah.” Mahmud Abbas memperkirakan bahan yang digunakan untuk menulis adalah arang hitam atau jelaga yang dicampur dengan getah pohon (Al-Hujaili, 2002: 65-67).
Umumnya, liwa dan rayah pada zaman Nabi Muhammad saw digunakan dalam peperangan. Liwa berada di dekat pemimpin tertinggi atau wakilnya, Abdul Qadim Zallum (2002: 191) menyatakan, liwa untuk menandakan komandan resimen, adapun rayah dibawa komandan batalion. Setelah Nabi Muhammad saw wafat pada tahun 632, pemerintahan Islam diteruskan sahabatnya. Periode Khulafaur Rasyidin ini tetap menjaga penggunaan panji hitam. Khalid bin Walid, yang diangkat Abu Bakar sebagai panglima perang di Damaskus, membawa rayah. Ia juga mengibarkannya ketika memerangi bani Hanifah dan nabi palsu Musailamah. Demikian juga, saat perang Jamal, Ali membawa panji berwarna hitam (Al-Hujaili, 2001: 121-123; Khalid, 2006: 351). Setelah masa Khulafaur Rasyidin, dari Bani Umawiyah yang berkuasa sejak 661 hingga Bani Usmaniyah yang runtuh tanggal 3 Maret 1924, bendera Daulah Islam mengalami berbagai perubahan. Akan tetapi, charge sahadat maupun ground putih dan hitam seringkali digunakan. Secara umum, studi tentang bendera disebut veksillologi (vexillology). Bidang ini merupakan bagian heraldri (heraldry), yaitu studi tentang lambang pasukan atau pemerintahan (coat of arms) (Slater, 2004: 28). Dalam veksillologi, warna dasar bendera disebut ground, sedangkan konfigurasi gambar atau tulisan adalah charge (Fault, 2007: 1; Roberts, 2008: 7; Smith, 1984: 348-351).
Penulis: Dosen UMSU, Mahasiswa Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang