Oleh: Toba Sastrawan Manik.
Letak kekuatan demokrasi berada di tangan rakyatnya. Bagaimana negara dijalankan, siapa yang menjalankan termasuk apa yang harus dijalankan, pengaruh rakyat sangat besar. Disinilah titik potensial kenapa demokrasi dianggap sebagai pilihan tepat untuk mewujudkan tujuan negara. Setali tiga uang, tanggung jawab dan konsekuensi atas pengaruh tersebut akan kembali pada rakyat.
Praktik negara dalam rentan waktu yang panjang diwarnai dengan penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Seperti ditegaskan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut maka akan korupsi dengan absolut pula. Berbicara kekuasaan, negara adalah organisasi kekuasaan yang maha besar. Sangking besarnya, Thomas Hobbas menyebutnya sebagai deus mortalis.
Namun negara dianggap sebagai sistem kemasyarakatan yang paling besar dan modern dalam kaca mata antropologi. Sehingga pengalaman penindasan dan penyalahgunaan banyak praktik kenegaraan, tidak menyurutkan niat bangsa-bangsa untuk bernegara. Sekalipun tidak ada bukti dalam sejarah bahwa setiap suku, bangsa harus bernegara agar bisa eksis, namun abad modern menegaskan bahwa dunia telah dijalankan dengan bernegara.
Disinilah tawaran demokrasi menemukan titik strategis. Demokrasi menawarkan bahwa seluruh rakyat harus dilibatkan dalam seluruh kebijakan politik dalam skala tertentu. Pejabat negara harus diawasi dan sistem akuntabilitas harus transparan. Hak asasi rakyat seperti kebebasan, jaminan HAM dan lainnya harus diberikan, digaransi dan dilindungi.
Maka demokrasi menempatkan peran sentral dan posisi penting rakyat dalam kehidupan negara. Rakyat kini menjadi subjek dalam percaturan politik, ekonomi dan lingkup lainnya. Negara tidak lain adalah fasilitator, eksekutor atas suara-suara rakyat. Disinilah, rakyat menjadi kompas kehidupan bernegara.
Lalu, bagaimana rakyat seharusnya mengelola kesempatan emas tersebut?
Gerakan akar rumput
Gerakan akar rumput (grass root) selalu diimpikan dalam demokrasi. Akar rumput adalah kalangan yang berasal dari struktur bawah (bottom) negara yakni kalangan menengah ke bawah namun potensial secara politik dan dianggap otonom. Kalangan ini dianggap sebagai antitesis elit negara (top) yang dekat dengan kekuasaan serta sifat dan godaan.
Bahkan, kalangan akar rumput dianggap sebagai pengawas dan penjaga kewarasan sistem demokrasi. Kejatuhan Soeharto 1998 dianggap sebagai gerakan akar rumput karena dianggap telah menyimpang dari aturan dan norma dasar negara. Demikian pula keterpilihan Jokowi 2014 sebagai Capres dari PDI-P dianggap sebagai bagian dari gerakan akar rumput.
Namun gerakan akar rumput sejatinya tidak hanya secara momentum belaka. Lebih dari itu, rakyat harus senantiasa aktif dan kritis untuk mengawasi dan menilai kebijakan yang dijalankan negara.
Demokrasi akan jadi simbol belaka manakala gerakan akar rumput terpecah belah. Negara akan semakin bermain-main manakala rakyat bawah terkotak-kotak, berkonflik satu sama lain. Jika dalam tataran rakyat bawah tercipta segregasi maka pengawasan negara akan semakin lemah. Disinilah, demokrasi akan mengalami simplikasi dan falsifikasi belaka. Maka menjaga soliditas masyarakat bawah (grass root) syarat penting keberhasilan sistem demokrasi.
Bukan tidak mungkin ada keinginan dari berbagai pihak untuk mematikan gerakan rakyat bawah ini. Tujuannya tentu agar kontrol terhadap pemerintah semakin lemah sehingga kekuasaan semakin mudah diselewengkan. Caranya cukup sederhana yakni dengan menjadikan rakyat tersebut menjadi sumber konflik, menyuntikkan pertikaian, menciptakan propaganda untuk merusak struktur dan tatanan masyarakat bawah.
Disadari atau tidak, grass root-nya Indonesia tengah mengalami periode segregasi. Berbagai isu propaganda tengah dicoba untuk disebarkan melalui media sosial. Sumber-sumber konflik yang bersifat laten sedang dicoba untuk dihidupkan. Realitas yang terjadi hari ini adalah rakyat semakin mudah terjebak dalam garis demarkasi perbedaan, pro-kontra, saling hujat satu sama lain.
Dampak logisnya adalah penilaian terhadap roda pemerintahan dengan berdasarkan logika dan kalkulasi normatif mulai diabaikan dan tergantikan dengan penilaian subjektif bahkan emosional. Sangat jelas terlihat siapa yang mendukung pemerintah siapa yang tidak, bukan berdasarkan pertimbangan yang objektif melainkan subjektif yakni siapa dukung siapa.
Dalam hal ini nalar kritis akan semakin tumpul dan liar. Kritik terhadap pemerintah yang disuarakan semakin lemah karena pada saat yang bersamaan akan ditentang keras oleh kubu lain, demikian pula sebaliknya. Logika publik semakin terkotak-kotak bahkan bentrok satu sama lain. Contoh sederhana, Papa Minta Saham yang kini Papa Minta Kursi tidak ada yang ribut. Dimana kita? ***
Penulis Alumnus Jurusan PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan.