Mawar Nirmala

Oleh: Widya Arfiyanti Puspa Sari

“DASAR perempuan aneh!” “Memang dia setengah gila!” “Dia kan cacat mental buk..”

“Iya! Kasian karena tingkah mamaknya itu, dia jadi kena karma!”

Suara ocehan ibu-ibu di warung Pak Togar memecahkan ketenangan hati seorang gadis. Setengah matanya mendelik tidak karuan. Ia menutup kupingnya. Pita telinganya menggigil. Ia tak tahan. Secepatnya ia mengeluarkan uang pecah dari kantong plastik lecek. Setengah kulit tangannya yang mengelupas bergetar mengeluarkan uang-uang logam itu. Tak banyak jumlahnya. Tapi terdengar bising saat beberapa diantaranya terpelanting ke lantai.

Ia memunguti recehan pelan-pelan walau dengan hati tak tahan. Pak Togar pun segera mengambil uang yang ada ditangan dekil itu. Segera diambilnya bukusan plastik yang berisi singkong dan minyak. Perempuan itu menyeret kakinya dengan sigap. Arah jalan kakinya sedikit menyamping. Ia melewati ibu-ibu itu dengan menudukkan wajah. Poni semaknya menutupi semburat matanya yang tajam. Ibu-ibu itu pun tak mau kalah sinis.

Langsung ia menghempas belanjaan itu ke tanah. Badan kurusnya ia pentalkan ke kulit pintu. Ia menangis dengan isak yang serak.

“Aaaaaaaaakkkhh!!!”

Ia membanting tong besar di depannya. Tong itu langsung  menggelindingi tangga tua dengan mesra. Dengan sigap Mak Tinur yang mendengar suara bising itu menuju pintu rumahnya. Suntil legam dari mulutnya ia lempar pas ke pusat mata Nirmala.

“Kau kenapa lagi?! Diam kau! Jangan kau bikin onar lagi! Kau mau di bawa ke rumah sakit jiwa? Ha?”

Nirmala semakin mempertegas suaranya. Ia mengamuk.

“Kubilang diam, diam!” Mak Tinur menarik rambut panjang Nirmala yang kusut. Tarikannya mengikuti arah tubuh Nirmala yang miring ke kiri.

Mak Tinur menghantam tubuh gadis itu di depan pintu tua yang hampir lapuk. Pintu langsung bervibra. Sumang-sumang merde­ka menyaljui rambut Nirmala.

Suaranya tak habis-habis menggerutu. Ia marah besar pada Mak Tinur. Ia lelah diperlakukan begitu. Ia menyeret kaki sekuat-kuatnya dan menolak tubuh Mak Tinur yang menghalanginya keluar rumah.

***

Singkat cerita, Nirmala memang anak Mak Tinur. Mak Tinur bukan ibu angkat apalagi ibu tiri. Namun keadaan fisik dan psikis Nirmala yang kurang baik membuat Mak Tinur amat benci dengan gadis itu. Terlebih karena Ayah Nirmala hingga kini tak diketahui siapa. Mak Tinur hanya menebak-nebak saja beberapa lelaki yang sempat mendatanginya malam itu—malam di sekitar delapan belas tahun yang lalu.

Mudanya Mak Tinur adalah gadis batak yang molek. Ia sering jadi incaran para buaya darat yang butuh mangsa. Herannya iming-iming tak seberapa para lelaki diterimanya saja asal bisa dijadikan uang untuk makan. Makanya banyak lelaki tak segan datang ke rumahnya.

Namun semenjak ia menderita kanker rahim setelah Nirmala menginjak umur dua tahun, tradisi melayaninya mulai hangus ditelan daya. Tak ada lagi seorang lelaki pun yang mau berkunjung. Apalagi wajah Mak Tinur mendadak lungos, kering. Rambutnya acak-acakan dan ia makin gila dengan takdir baru yang dibencinya.

Sering di malam hari sakit Nirmala kambuh, dan Mak Tinur adalah orang yang paling kejam untuk menghantamkan sandal jepit ke mulut Nirmala. Sebab Nirmala tak henti menjerit.

Tulang-tulangnya terasa ngilu, dan napasnya terhimpit. Sayang, Nirmala hanya punya airmata. Hingga sampai rasa sakit bekas sandal dan pisau itu makin terasa menakutkan, ia akan mencoba berhenti menjerit.

***

Jika kesedihan semakin menganga di hatinya. Ia hanya melarikan diri ke sungai. Disana ia punya beberapa jengkal tanah untuk menanam mawar merah. Entah sejak kapan ia menanamnya. Yang pasti, di ujung pohon belukar itu di kelilingi anak-anak mawar yang indah. Dimusim kemarau pun anak-anak mawar itu masih senang merekah.

Seorang lelaki muda berkemeja hitam mengamati tingkahnya. Dengan lembut ia mencium mawar-mawar itu dengan lekat. Perlahan ia membaringkan tubuhnya dirim­bunan rumput. Lalu memulai per­mainan­nya dengan sengaja menyucukkan duri-duri mawar itu ke jari tangannya.

“He!” Lelaki itu berteriak dari ujung pohon lain tempatnya mengintip. Matanya melototi jari manis yang mengucur darah.

“Kenapa kau cucuk jarimu?”

Nirmala tersentak. Ia bangkit dan merasa takut. Sekuatnya ia berlari sambil membungkus jari dengan kain rok yang dipakainya.

***

Keesokan harinya lelaki muda itu datang ke sungai. Ia penasaran dengan gadis yang menyucukkan duri ke jarinya itu. Di sisi lain ia memang sedang mengerjakan proyek pembangunan untuk merapikan keadaan sungai di kampung ini.

Akhirnya Nirmala kembali ke tempat mawar-mawar itu. Ia datang dengan dress merah jambu yang sudah menyatukan bekas-bekas darah dalam tubuhnya. Legam betul. Bekas arang dan debu pun sudah menua di benang bajunya.

“Hei!” Lelaki itu mendekat. Ia menahan getar tangan gadis itu.

“Hei, tenanglah. Aku ini bukan orang jahat. Jangan takut. Duduklah. Duduklah..” Perlahan ia memegang tangan gadis itu agar mau tenang.

“Aku Briyan.” Lelaki itu memajukan tangannya. Nirmala menggeleng.

“Kau masih takut?” Lelaki itu mengambil kayu didekat beberapa selah rumput teki.

“Nah! Kau pukul aku jika aku berbuat jahat.” Nirmala memegang kayu itu. Perlahan denyut nadinya mulai normal. Namun ia masih menundukkan kepala.

“Hei, kau kenapa? Janganlah begitu. Aku tidak seperti orang di kampungmu ini.” Mata lelaki itu mengikuti tundukan Nirmala.

“Siapa namamu?”

Nirmala diam beberapa detik. Ia membuka mulut. Suaranya lirih dan penuh getar.

“Nirr..maa..laa..”

“Nirmala? Nama yang cantik. Jangan kau kusutkan wajahmu.” Lelaki itu memetik satu bunga mawar yang merekah dan menaruhnya di senta telinga Nirmala. Entah apa yang membuat lelaki itu begitu tertarik pada Nirmala. Mungkin karena ia melihat semburat kelembutan di kedalamannya matanya yang tajam.

***

Hari ini, lelaki itu akan segera mem­bereskan proyek itu. Salah satunya dengan membersihkan sampah di sungai dan membabat bunga mawar yang mengelilingi pohon jati itu. Beberapa warga tak suka dengan tumbuhnya mawar itu. Mawar itu sering dianggap mawar pembawa sial.

Briyan masih binggung. Ia takut gadis itu akan marah akan hal ini. Beberapa jam ia mengulur waktu. Menunggu gadis itu datang dan menjelaskan semuanya. Tapi sepertinya gadis misterius itu tak datang juga ke sungai.

Akhirnya mawar itu dibabat habis. Kelopak-kelopaknya terbang dan jatuh lagi ke tanah. Nirmala baru datang. Ia menyak­sikan keadaan di sungai itu sudah ramai. Ia terkejut bukan kepalang.

Ia menggerutu lagi. Suara seraknya mem­basahi telinga warga. Wajahnya me­nguras hujan yang deras. Pipinya basah kuyup.

“Egggghhhhh!!!” Ia memukul dada Briyan. Briyan terkejut. Mapnya terlempar ke sungai. Ia segera menahan sepasang tangan yang mencambuk dadanya itu.

“Heh tenanglah Nir.. Aku bisa menjelas­kannya.”

Nirmala menghentikan pukulannya. Wajahnya semerah kelopak mawar yang baru gugur. Ia tak mau mendengar perkataan apapun dari lelaki itu.

Diraupnya semua mawar yang terkapar. Semua mawar yang dikumpulkannya ia dekap di dadanya. Setelah merasa cukup, ia pergi dan meninggalkan Briyan yang terheran.

Apalagi ulah gadis ini, batinnya ber­gumam.

***

Berhari tidurnya tak nyenyak. Seakan ia tak bisa menutupi dosa kepada mawar-mawar yang tak bersalah itu. Ia bertanya kepada orang kampung dimanakah gadis itu tinggal. Segera ia mengebutkan keretanya di depan pekarangan yang menampung rumah tua berpapan tinggi.

“Permisi..” Katanya.

Mak Tinur melihat gerak-geriknya yang mengecek rumah itu dari pekarangan.

“Cari sapa bang?” Mak Tinur menying­kirkan suntil ke separuh mulutnya.

“Aku mau mencari Nirmala. Apa ini rumahnya Buk?”

“Sudah tiga hari ini Nirmala tak pulang ke rumah! Aku tak tahu kemana dia.” Mak Tinur masuk ke rumah tanpa banyak bicara lagi.

Jantung Briyan berdetak kencang. Mengapa tiba-tiba gadis itu menghilang. Rasa bersalah semakin melebari lapangan dadanya.

Ah, hati Briyan masih tak tenang. Seakan ada yang mengganjal di hatinya. Tapi sudahlah. Ia melangkahkan kakinya dari rumah tinggi itu.

Seketika hidungnya mencium aroma bunga yang khas. Semakin ia melajukan kaki ke kiri papan-papan rumah itu, seakan bau itu mendekatinya. Bau apakah ini, batinnya berulang berucap.

Ia menundukkan badannya dan melihat di sepanjang tanah yang berjeda semeter dari papan lantai rumah itu. Dilihatnya di ujung, rambut panjang seperti mengurai di tanah. Aroma mawar semakin tajam. Ia memasukkan kepalanya untuk melihat lebih jelas. Tampak baju merah jambu legam itu membungkus tubuh. Tubuh itu seperti tubuh Nirmala.

Bunga mawar kering memenuhi atasan dadanya. Lelaki itu masuk ke kolong rumah dan langsung berteriak. Hanya Mak Tinur yang datang. Ia masuk ke kolong dan menarik tubuh Nirmala yang tersangkut.

Ia menyibakkan rambut gadis itu. Ia memanggil namanya. Tapi gadis itu tak mau membuka mata. Ditariknya tangan gadis itu. Ternyata nadinya sudah tak mengalir lagi. Mukanya sudah pucat.

Kata Mak Tinur, ia memang memarahi Nirmala karena petang itu pulang membawa sampah mawar ke dalam rumah. Ia bilang, ia hanya memukul bokong Nirmala dengan sapu lidi.

“Begitu saja kok..”, ucapnya ringan.

Briyan tak habis pikir dengan ulah Mak Tinur. Ia segera menutupkan wajah Nirmala dengan sapu tangannya.

“Malang sekali kau Nir. Baru berapa hari aku mengenalmu. Tapi seakan kutahu getir hidupmu. Maafkan aku yang memati­kan semua mawarmu. Aku berjanji akan menanamnya lagi untukmu. Oh Nir, Nir.. Ternyata sebegininya kau mencintai bu­nga ini. Pantaslah kau tak segan tertimpa durinya. Selamat tinggal Mawar yang terbuang. Oh Nirmala..” ***

FKIP UMSU, di sebuah Imaji Desember 2014

()

Baca Juga

Rekomendasi