Oleh: Julihan Darussalam. Siang itu, seorang diri Jainuddin (34), terlihat duduk sembari memperhatikan kuda peliharaannya satu persatu. Sesekali ia picingkan mata karena silau oleh sinar matahari. Di kandang, tampak empat ekor kuda sedang lahap makan rerumputan.
Bapak dua putri ini menyebutkan, dia sejak kecil sudah suka merawat kuda. Apalagi, memelihara kuda sudah temurun dilakukan sejak oleh sang kakek. Sekarang, dia punya tujuh ekor kuda: lima kuda peranakan, satu kuda lokal dan seekor lagi kuda jantan progret Australia bantuan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tengah melalui dinas terkait dan mantan anggota DPRK yang juga Ketua Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) setempat.
Jainuddin yang akrab dipanggil Udin Boy saat ditemui di Kampung Asir-Asir Atas, Dusun Geldok, Lut Tawar, Jumat (17/2) menceritakan, mengembangkan kuda tidaklah sulit, namun juga tidak bisa dikatakan mudah.
Kesehatan kuda sangat penting dijaga agar terhindar dari penyakit yang sering menyerang kuda, seperti cacingan, masuk angin, flu/pilek dan ngorok. Kandang kuda (Uwer, Gayo), harus selalu bersih. Penanganan penyakit juga dibantu dinas terkait melalui mantri yang siap dipanggil.
Demikian juga dengan pakan yang harus disediakan cukup setiap hari. Pakan yang baik, menurutnya, selain rumput juga ditambah jagung, sagu, dedak dan ampas tahu. Untuk memperoleh pakan yang baik, kadang dia harus ke kabupaten tetangga, Bener Meriah atau ke kampung Angkup, Silih Nara walau waktunya tidak setiap hari.
Variasi makanan ini membuat kuda lebih sehat dan tangkas sehingga siap untuk berlomba. Jangan heran, penangkaran kuda biasanya untuk mencari bibit-bibit kuda baik yang dipersiapkan untuk kompetisi, baik jantan maupun betina.
Pada umur 2-5 tahun, kuda lokal sudah siap untuk ikut lomba. Ketahanan fisiknya lebih bagus jika dibandingkan dengan kuda peranakan.
Namun, mencari bibit kuda lokal di Aceh Tengah cukup sulit. Harus mengeluarkan uang Rp1 juta untuk sewa atau titip benih. Batas usia kuda peranakan maupun lokal bisa mencapai 21 tahun. Setelah itu tidak lagi produktif.
Nasib kuda lokal
Suami Linda Rahmayani (30) ini melanjutkan pengalamannya memelihara kuda. Saat ini, memelihara kuda lokal kurang menguntungkan. Di Dataran Tinggi Gayo sudah banyak orang yang meninggalkan kuda lokal dan beralih ke kuda peranakan yang nilai jualnya lebih menguntungkan.
Kuda lokal hanya digunakan untuk mencari keturunan dari hasil perkawinan dengan kuda peranakan sehingga menghasilkan bibit unggul.
Kuda lokal saat ini sulit dicari. Kalaupun ada, paling-paling hanya di Kecamatan Bintang, yang jaraknya cukup jauh dari Takengon, ibukota Aceh Tengah. Kuda lokal dijual sekilai Rp10-15 jutaan. Saat ulang tahun kota Takengon dan peringatan Hari Kemerdekaan RI, kuda lokal ikut dalam pacu kuda. kelas F. Satu putaran untuk kuda muda dan dua putaran untuk kuda dewasa.
“Namun, ya itu, hadiahnya sedikit, sekitar Rp6-7 jutaan,” sebut Udin Boy.
Ini berbeda dengan kuda peranakan yang memiliki postur lebih besar. Harganya bisa mencapai Rp60 juta hingga ratusan juta. Bahkan, jika pernah menang pacuan kuda, harganya bisa mencapai Rp150-300 juta. Dalam pacuan kuda, hadiah untuk kelompok kuda ini bisa mencapai Rp8-10 jutaan, belum termasuk uang pembinaan dan bonus.
Lelaki berkulit hitam ini menyebutkan, kuda lokal saat ini sudah langka di Gayo. Bahkan, dikhawatirkan punah karena tidak ada lagi yang mengembangkannya. Dulu, kuda lokal Gayo banyak dipergunakan masyarakat untuk mengangkut barang dan membajak sawah.
Pemerintah daerah juga dinilainya kurang memperhatikannya. Padahal kalau pemerintah mau kuda lokal juga bisa kembali dikembangkan dan diberdayakan untuk menarik pedati atau delman seperti di Pulau Jawa.
“Kita punya wisata alam Danau Lut Tawar. Sekeliling danau kita hadirkan delman yang ditarik kuda lokal. “Kan menarik dan tidak menyebabkan polusi. Masyarakat sekarang yang diandalkan kuda besi (sepeda motor dan mobil), kearifan lokal ditinggalkan,” ungkapnya.
Menurutnya, kalau hanya mengandalkan masyarakat untuk berbuat tanpa difasilitasi pemerintah, tentu akan sulit. Soalnya, warga yang mau memelihara kuda jumlahnya hanya hitungan jari, sementara pehobi biasanya kalangan menengah ke atas dan terbatas pribadi-pribadi saja.
Tak lama, Udin Boy menggiring kudanya ke tempat yang lebih banyak rumput dan teduh. Ditanya mengapa memandangi kudanya terus, katanya karena dalam beberapa hari ini dua ekor kudanya akan beranak.
Tinggal 800 ekor
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Aceh Tengah, drh Rahmandi, menyebutkan, saat ini populasi kuda lokal di kabupaten ini hanya sekitar 800 ekor. Jumlah ini tersebar di Kecamatan Bintang, Pegasing, Silih Nara dan Bebesen.
Diakuinya, bila tidak dikembangbiakkan, dipastikan 10 tahun mendatang kuda lokal akan punah. Kuda lokal Gayo sendiri berbeda dengan kuda lokal Sumbawa maupun daerah lain.
Ancaman lain penyebab punahnya kuda lokal adalah dijual oleh masyarakat ke luar daerah untuk dikonsumsi dagingnya. Jika dijual harganya bisa mencapai Rp7-8 jutaan, padahal sebelumnya hanya Rp3 jutaan. Rahmandi tidak tahu mengapa harga jual daging kuda begitu tinggi.
Terkait pelestarian kuda Gayo, lanjutnya, pemda telah mengusulkan untuk dijadikan plasma nutfah. Bibit unggul yang berharga bagi ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk ini, pada 2004, pernah terbit surat keputusan (SK) dari kementerian terkait untuk melindungi kuda Gayo sekaligus untuk pengembangbiakkannya.
Selain itu, dalam setiap pameran (expo) di tingkat Provinsi Aceh, sudah diperjuangkan agar khusus kuda lokal diperlombakan dalam kelas tersendiri. Demikian pula dalam ajang pacuan kuda tradisional Gayo, hadiah untuk kuda lokal agar disamakan dengan kuda peranakan agar kuda lokal tetap diminati masyarakat.
“Kita menargetkan ada tempat penangkaran bagi kuda lokal agar tidak punah. Ya, memang sampai saat ini hal tersebut belum terwujud. Namun, kita akan terus upayakan. Sayang, bila sampai punah. Ini salah satu kebanggaan masyarakat Gayo,” ungkapnya.