Oleh: Muhammad Idris Nasution.
Orang Islam, terutama para pembaca sirah Nabi saw., pasti sangat akrab dengan nama Abu Lahab.Dia adalah salah satu paman Nabi saw. sebagai salah seorang tokoh antagonis pada awal sejarah Islam. Abu Lahab sebenarnya bernama Abdul Uzza, tetapi karena nyala dan sinar di kedua pipinya diapun lebih terkenal dengan nama Abu Lahab (Abu=bapak, Lahab=nyala). Tulisan inibukan untuk membahas laku Abu Lahab, tetapi tentang perilaku istrinya, Ummu Jamil. Alquran, pada surah Al-Lahab atau Al-Masad, menyebutnya imra`atuh, ‘wanita Abu Lahab’.
Wanita Abu Lahab ini oleh Alquran disebut sebagai hammalah al-hathab, ‘pemikul kayu bakar’.Ada beberapa alasan kenapa Ummu Jamil disebut sebagai pemikul kayu bakar. Al-Biqa’i membeberkan sebabnya adalah karena dia tukang hasut; menebar berita-berita palsu dan fitnah agar orang-orang membenci dan memusuhi Nabi saw.Dalam lisan Arab, orang berperilaku seperti ini disebut sebagai pemikul kayu api, karena dia seperti sedang membakar hubungan baik antar sesama sehingga mereka bertengkar, bermusuhan, dan membenci. Dalam kajian akhlak diistilahkan dengan namimah.
Namimah berarti menyampaikan satu pembicaraan dari satu kaum kepada kaum lainnyadengan tujuan merusak hubungan mereka. (Ath-Thabathaba’i, Al-Mizan, 9/388) Misalnya si A mengatakan kepada si B bahwa si C telah mengatai si B ini dan itu sehingga si B membenci si C. Inilah rumusan dasarnya, adapun sekarang bentuknya dapat beragam.
Pembicaraan yang disampaikan itutidak harus fitnah dan cerita palsu. Pembicaraan memang benar adanya sekalipun tetap disebut sebagai namimah jika tujuannya adalah untuk merusak hubungan dan menumbuhkan kebencian.Imam An-Nawawi meriwayatkan ada seorang lelaki menyampaikan perilaku seseorang kepada Umar bin Abdul Aziz. Beliau berkata: Sekarang terserah kamu, kami dapat menelitinya; jika engkau berdusta berarti engkau termasuk dalam ayat “Jika datang kepadamu seorang fasik.” (QS Al-Hujurat: 6), dan jika engkau benar berarti engkau berarti engkau termasuk dalam ayat “Orang-orang yang suka mencela, yang berkeliling menebar namimah.” (QS Al-Qalam: 11). Ash-Shahib bin Ubad berkata: Namimah itu buruk meskipun benar. (Al-Adzkar, h. 310)
Islam mengecam keras perilaku namimah. Dalam Alquran, sifat ini disebut sebagai salah satu sifat keji. (QS Al-Qalam: 11) Nabi saw sendiri mengancam orang yang memperbuatnya tidak akan masuk surga (La yadkhul al-jannah nammam)(HR Bukhari dan Muslim) Dalam hadis yang dikutip oleh Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya, Al-Ghibah wa An-Namimah, pada hadis No. 118disebutkan bahwa orang ini merupakan orang paling dibenci Allah (wa inna abghadhakum ila Allah azza wa jalla: al-masysya`un bi an-namimah...), dan pada hadis No. 120 disebut sebagai orang terburuk. Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar (h. 299) mengutip bahwa ketika Nabi saw melewati dua kuburun, beliau menginformasikan bahwa kedua penghuninya sedang diazab; salah satunya diazab karena perilaku namimah. (HR Bukhari dan Muslim)
Di saat sekarang ini, apakah karena tidak tahu atau karena abai terhadap tuntunan agama, perilaku ini jamak dilakukan orang seiring semakin maraknya media sosial. Berkat teknologi, untuk menyebar informasi, orang-orang tidak lagi berjalan kaki dari pintu ke pintu, dari tangga ke tangga, sebagaimana dibahasakan Alquran; masysya’ (makna letterleknya adalah ‘yang banyak berjalan kaki’). Dari bilik kamarnya, seseorang dengan mudah menyebar berita dan informasi dengan sekadar menekan tombol share. Maka wanita-wanita Abu Lahab, dalam arti orang-orang yang berperangai dengan perangai istri Abu Lahab, pun bermunculan bak jamur di musim hujan, sengaja atau tanpa sadar.Mereka menebar aib, bahkan membuat-buat berita-berita palsu dan cerita-cerita fiktif untuk menjatuhkan martabat seseorang atau sebuah lembaga sehingga orang atau lembaga tersebut dibenci khalayak. Atau berita-berita itu sengaja disebar untuk menimbulkan keresahan, perselisihan atau pertengkaran.
Kita perlu mawas diri agar tidak tergoda menjadi wanita Abu Lahab atau sekadar membantu agenda mereka. Karena itu perlu berhati-hati dengan berbagai informasi yang diterima, dan pilih-pilah informasi yang hendak disebar dan disampaikan. Jangan asal sekadar terima danshare. Meskipun kabar tersebut benar, tetapi mesti ditimbang bagaimana kemaslahatannya. Menurut Imam An-Nawawi apabila nilai maslahat menyampaikan dan tidak menyampaikannya seimabng, maka harus menahan diri untuk tidak menyampaikannya, karena itu seringkali menjerumuskan. Dalam Alquran juga dikatakan, pembicaraan itu mesti sadid(QS Al-Ahzab: 70, QS An-Nisa: 9). Artinya pembicaraan itu mesti benar dan mengandung maslahat yang sesuai dengan syariat. (Ath-Thabathaba’i,Al-Mizan, 16/355)
Imam An-Nawawi, mengutip Imam Al-Ghazali, dalam kitab Al-Adzkar (h. 309) menyebutkan ada enam kewajiban bagi seseorang dalam menghadapi pengadu domba ini. Pertama, tidak membenarkannya, karena pengadu domba adalah orang fasik. Informasinya tidak diterima.
Kedua, melarangnya, menasihatinya dan mencela perbuatannya.
Ketiga,membencinya karena Allah, sebab orang bersifat seperti itu adalah orang yang dibenci di sisi Allah. Benci karena dibenci Allah adalah wajib.
Keempat, tidak berprasangka buruk dengan orang yang diceritakan karena Allah berfirman: “Jauhilah banyak prasangka.” (QS Al-Hujurat: 12)
Kelima, jangan sampai cerita itu menyebabkan kita mencari-cari kebenarannya dan pembenarannya, karena Allah melarang ber-tajassus (QS Al-Hujurat: 12)
Keenam, tidak meneruskan cerita namimahnya itu.
Demikianlah catatan ini, semoga kita semua terhindar dari bahaya namimah dan mampu menghindarkan diri dari jeratan namimah. Wallahu a’lam.
Penulis adalah Imam Masjid Nurul Huda Asrama Brimob Medan, Alumni UIN Sumatera Utara.