Demonstrasi dalam Demokrasi Pancasila

Oleh: Kuncara Yuniadi

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni demos (rak­yat), dan kratos (kekua­saan), jadi demokrasi bermakna ke­kua­saan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedau­latan tertinggi ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang berdaulat.

Dalam negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demok­rasi, rakyat yang berdaulat mengeluarkan pendapat dengan lisan (freedom of expression), tulisan, dan sebagainya dijamin dengan undang-undang.

Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, "Ke­mer­dekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Selanjutnya, Pasal 28 E Ayat 3, Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menge­luarkan pendapat.” Sementara, Pasal 19 Ketetapan MPR No. XVV/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, ”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Pasal 2 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me­­nyampaikan Pendapat di Muka Umum menegaskan, ”Se­tiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas me­nyam­paikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab demo­krasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara".

Salah satu sarana dalam penyampaian pendapat dalam demokrasi tersebut adalah dengan cara mengadakan unjuk rasa atau demonstrasi. Demonstrasi di Indonesia tentu dalam koridor hukum yang berlandaskan landasan idiil Pancasila dan konstitusional UUD 1945.

Demonstrasi yang berlandaskan Pancasila pada dasarnya adalah penyampaian aspirasi yang dilandasi nilai-nilai yang terjabar dalam sila-sila Pancasila.

Sebagai ilustrasi, demonstrasi dikatakan merupakan pen­jabaran dari sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) apabila demonstrasi yang dilakukan dalam kerangka me­nyuarakan kebenaran dengan tulus ikhlas tanpa pamrih apa pun dan hanya berharap ridho Allah semata. Tidak ditung­gangi oleh kepentingan politik apa pun demi keuntungan perse­orang­an, sekelompok atau golongan.

Demonstrasi disebut merupakan penja­baran dari sila kedua Pancasila (Kemanu­siaan Yang Adil dan Beradab) apabila de­mons­­trasi yang ditunjukkan menjunjung tinggi rasa kemanu­siaan, tepo salira, tidak menista dan mencaci maki, menghargai perbedaan pendapat orang lain, etis, beradab bukan biadab, sopan, dan menjaga keter­tiban.

Dengan tetap senantiasa menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan keindo­nesiaan, tidak tercerai-berai, menjauhkan dari setiap upaya yang bersifat negatif-des­truktif seperti adu domba, fitnah, provo­kasi maka wajah keindonesiaan yang mes­­ki ber­bhineka tetapi tetap Tunggal Ika maka suatu parade demons­­trasi dapat dikatakan meme­nuhi  sila ketiga Pancasila menuju Persatuan Indonesia.

Sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan akan tereja­wantah dalam demonstrasi yang berlan­das­kan mu­syawarah untuk mufakat dan nego­siatif demi kepentingan ber­sama semua pihak, bukan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, membina kekompakan, bijak dan damai.

Sedangkan, demonstrasi yang dijiwai oleh sila kelima Pan­casila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia apabila demonstrasi yang dilakukan menjunjung tinggi hu­kum, dan praduga tak bersalah (presumption of innocence), ke­se­taraan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Demonstrasi dalam wadah demokrasi Pancasila saling menjiwai dan dijiwai satu sama lain oleh masing-masing sila­nya.  Sila pertama menjiwai sila kedua, ketiga, keempat dan kelima Pancasila. Sila kedua menjiwai sila pertama dan dijiwai sila ketiga, keempat, dan kelima. Demikian seterusnya. Inilah nilai-nilai yang merupakan kristalisasi dari demokrasi Pan­casila yang diajarkan oleh para leluhur dan para pendiri negara (founding  father) Indonesia.

Patut disadari bahwa maksud rakyat melakukan demons­trasi antara lain adalah sebagai sarana untuk menyalurkan as­pi­rasi karena dirasakan selama ini tersumbat oleh mekanisme yang ada. Demonstrasi juga dimaknai sebagai sarana kritik dan kontrol kepada pemerintah yang dianggap menyim­pang oleh rakyat agar berbuat lebih baik dan sesuai dengan harapan rak­yat. Dengan demonstrasi rakyat ingin menyalurkan unek-uneknya dan mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebi­jakan demi kepentingan rakyat serta melakukan penegakan hukum kepada siapa pun tanpa pandang bulu (equality before the law).

Kontestasi demokrasi pada 4 November lalu dianggap elok dan damai. Banyak pihak menilai dan mengapresiasi ke­majuan demo­krasi dari segi hak-hak politik masyarakat serta praktik demokrasi telah terkoordinasi dan berkembang dengan baik. Tentu keadaan ini harus dapat dipertahankan sesuai dengan tujuan kita bernegara.

Di sisi lain, masih adanya provokator dan pelaku kerusuhan dapat mencoreng wajah kontestasi demokrasi itu sendiri. Apa­lagi masih adanya keterlibatan kelompok politik di luar pusat kekuasaan dan kehilangan legitimasinya sehingga me­nim­bul­kan keti­dak­puasan dan berupaya mengonso­li­dasikan ke­kua­saan­nya kembali (Robinson & Hadiz, 2004 dalam Asri­nal­di Asril, 2016).

Walaupun begitu, mestinya ketidak­puasan kelompok itu jangan sampai mengor­bankan kepentingan yang lebih besar, yaitu persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Bagaimana­pun, melakukan demonstrasi sudah diatur dalam konstitusi yang menjadi dasar kehidupan bernegara. Hanya dengan cara itu konsolidasi demokrasi akan berjalan dengan baik.

Ke depan, dinamika politik di negara ini akan semakin dina­mis tidak sekadar persai­ngam di antara para elite politik, tetapi juga akan melibatkan massa yang banyak dalam bentuk mo­bi­lisasi massa. Apalagi beberapa agenda besar ke depan yang patut diwaspadai adalah pilkada, pemilu presiden dan pe­milu legislatif yang dilaksanakan secara serentak. Tensi po­li­tik akan mulai meninggi ketika pilkada dan pemilu-pemilu tersebut dimulai.

Semua konstituen dan elite politik akan berhitung siapa yang menang dan siapa yang kalah. Di sinilah sama-sama kita lihat siapa elite politik yang berjiwa  besar dan siapa yang tidak. Dari sini kita juga bisa melihat siapa yang bersikap ne­ga­rawan dengan menerima hasil pilkada dan pemilu lainnya meskipun kalah dan tidak mengerahkan massa  untuk melakukan demonstrasi.

Dalam skala besar, Indonesia yang stra­tegis secara geo­gra­fis dan demografis men­jadi sasaran perebutan kelompok-kelompok yang berkepentingan. Tarik-menarik kepen­tingan me­nyeret anak bangsa  pada polari­sasi. Polarisasi dapat melunturkan nasiona­lis­me. Saat nasionalisme meluntur, anak nege­ri terpencar dalam kelompok konser­vatif, liberal, hingga kalangan permisif. Di sini mulai terjadi perubahan karakter. Anak bangsa yang toleran mendadak bertindak into­leran. Kesantunan tertutup aksi kekera­san. Kera­mahan berganti rupa menjadi keserakahan. Mengajak kebaikan menjadi menge­jek kebaikan. Tak pelak, konflik me­rebak di mana-mana. Konflik tanpa tujuan dan banyak kepentingan.

Ketika di zaman kemerdekaan, mi­salnya, konflik terjadi karena pah­lawan (adalah sosok yang ikut ber­perang) mengusir penjajah. Tapi di jaman sekarang, para demonstran yang mempersonifikasikan sebagai pah­lawan sejati mestinya bisa diwu­jud­kan dengan menjaga Negara Ke­sa­tuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman radikalisme dan tero­risme.

Seluruh bangsa Indonesia harus bisa mengambil teladan dari para pahlawan untuk menjaga kemer­de­kaan RI yang telah diperjuangkan da­hulu. Apalagi dengan adanya ancaman radikalisme dan terorisme yang nyata-nyata ingin memecah belah NKRI. Ada banyak teladan yang bisa diambil bangsa Indonesia, khususnya generasi muda dalam melindungi NKRI dari berbagai macam gangguan antara lain keju­juran, in­teg­ritas, tanpa pamrih, dan toleran. Ambil contoh misalnya si­kap kepahlawanan KH Abdurrah­man Wahid (Gus Dur). Gus Dur ada­lah salah satu figur yang patut dicon­toh dalam menghargai persatuan dan keberagaman di Indonesia. Sebagai seorang nasionalis, Gus Dur sangat mantap sebagai seorang muslim. Tapi dia juga memiliki toleransi yang luar biasa dalam melihat ber­ba­gai per­soalan kebangsaan yang ada.

Saat ini, Indonesia tengah meng­hadapi gangguan dari ke­lom­pok ra­di­kalisme dan terorisme yang dila­tar­belakangi ideo­logi dan agama. Karena itu, generasi muda harus me­ng­ambil contoh baik dari pahlawan dengan memperkuat pema­ham­an ideologi Pancasila dan memahami agama secara baik. Itu bisa dilaku­kan dengan bertanya pada guru atau tokoh yang memi­liki pemahaman ideologi dan agama yang baik dan be­nar. Nilai-nilai kepahlawanan itu harus selalu ditumbuhkan, agar se­mangat anak muda Indonesia untuk menjadi teladan dan berbuat positif bagi bangsa Indonesia terus berge­lora. Kalau itu terjadi, kita optimis paham radikalisme dan terorisme tidak akan bisa masuk dan merusak sendi-sendi kehidupan di Indonesia.

Masyarakat yang melakukan demonstrasi memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya, namun masyarakat juga memiliki kewajiban untuk tetap menjaga ketertiban, ke­ber­­sihan dan keamanan sekitar­nya, tidak merusak fasilitas publik, tidak menghambat akses fasilitas umum dan kepentingan masyarakat lainnya.

Aparat keamanan dan aparatur negara pun juga harus tetap meng­hormati dan melindungi hak pende­mo, karena kewajiban aparatlah untuk mengamankan dan menertib­kan jalannya de­mons­trasi. Tindakan persuasif dan manusiawi dari aparat keamanan adalah lebih diutamakan daripada represif atau penegakan hukum sehingga dapat meredam dan tidak menyu­lut kemarahan yang dapat berakhir dengan kekerasan pen­de­mo.

Demonstrasi bagai pisau bermata dua, apabila dilakukan sesuai de­ngan ketentuan yang berlaku akan mem­berikan man­faat dan maslahat kepada semua pihak karena meru­pakan ba­gian dari amar ma’rufnahyi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran), namun sebaliknya demonstrasi akan menja­di buruk jika melenceng dari tujuan dan melanggar nor­ma hukum, aga­ma, etika, dan norma lainnya yang pada akhir­nya merugikan semua pihak.

Semoga demonstrasi yang dilaku­kan akan tetap dan terus menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.***

Penulis adalah alumnus UGM, pemerhati Kamtibmas

()

Baca Juga

Rekomendasi