Jalan Kaki Keliling Indonesia Melawan Stigma

Oleh: Dewanty Ajeng Wiradita

HIDUP sebagai penderita human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency syndrome (HIV/AIDS) kerap tak lepas dari stigma negatif masyarakat. Terpuruk bukan pilihan. Bangkit untuk menyebarkan kesadaran masyarakat tentang pe­nyakit ini dan menun­jukkan ke­kuatan penderita dalam melanjutkan hidup adalah penting untuk menumbuhkan optimisme. Menggabungkan kedua­nya, Cak Gareng (33) memilih jalan kaki keliling Indonesia melawan stig­ma tersebut.

“Dengan berjalan kaki dan bertemu langsung orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di berbagai daerah, saya ber­ha­rap bisa melihat per­­soalan penyebab sulitnya pemerintah menanggulangi angka pen­derita,” ujar pria bernama asli Wijianto ini dalam dialog inte­raktif “Langkah Kaki Jelajah Ne­geriku ‘Cak Gareng’” di Auditorium Fakultas Ke­se­hat­an Masyarakat Universitas Su­ma­tera Utara (USU), Me­dan. Rabu (22/2).

Total, sejauh 3.450 kilometer dari 78 kota/kabupaten di 21 provinsi di Indonesia ditempuhnya berjalan kaki, mulai dari Jakarta. Perjalanan dila­kukannya sendiri didukung Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Yayasan Pelita Ilmu. Ia menjumpai beberapa pemangku jabatan, 4.917 pelajar dari 50 sekolah dan kampus serta mencoba memo­tivasi 2.100 penderita agar tetap se­mangat hidup.

Metode berjalan kaki dipilihnya karena menjadi bagian kebiasa­annya dulu. “Saya tidak punya uang atau ja­bat­an untuk pergerakan. Ber­hubung dulunya saya pecinta alam dan biasa berjalan jauh, cara inilah yang saya pilih,” imbuhnya.

Ayah satu anak ini memulai per­jalanan pada 7 November 2015. Dia mendapati masih banyak stigma ma­syarakat dan diskriminasi yang diteri­ma ODHA. Mulai dari dipandang sebagai orang bejat (buruk), ditinggal pasangan, hingga sa­king minimnya pengetahuan masyarakat, masih ada yang berpandangan penyakit ini bisa ditularkan dari berbagai medium ter­masuk udara.

Pria asal Nganjuk yang berdomisili di Jakarta ini menceritakan yang ter­jadi pada anak-anak ODHA di Solo. Ada 12 anak yang di­ting­gal mati orang tuanya sebagai ODHA. Derita mereka tak berhenti di situ. Ketika akan diasuh dan dipindahkan ke kam­pung lain, banyak warga menolak. Akhirnya, me­reka diasuh di rumah salah satu tokoh masyarakat.

Stigmatisasi yang mereka terima berlanjut dalam menjalani hidup. Ke­tika bermain di lingkungan sekitar, para ibu langsung serentak mengang­kat jemuran mereka. Alasannya, kha­watir HIV/AIDS bisa menular melalui udara atau sentuhan dan lengket di pakaian yang dijemur. Cak Gareng bertutur miris.

Awal terjangkit

Bermula dari 2011, Wijianto sakit-sakitan. Dugaannya, terserang Tu­berkulosis (TB) paru. Setelah dilaku­kan perobatan, tak kunjung sembuh. Malah, tubuhnya berangsur panas ting­gi.

Sempat mengonsumsi obat penu­run panas namun hasilnya tak mak­simal. Pihak medis kemudian curiga ia terserang HIV/AIDS. Dilakukanlah tes darah dan ternyata positif HIV.

Tes ini disarankan pada pasien TB sebab ada kemung­kin­an ke­rentanan yang mempertemukan dua penyakit ini (komorbiditas), meski tidak semua pasien TB pasti terinfeksi HIV/AIDS. Saran ini kemudian dikuatkan Per­menkes No 74/2014 tentang Pedoman Pelak­sanaan Kon­seling dan Tes HIV.

Cak Gareng kaget bukan kepalang. Keadaan diperparah saat tim medis menyampaikan hasil tes tersebut di hada­pannya dan istri.

“Saya dan istri syokBesoknya dia langsung minta ce­rai. Saya sedang butuh dukungan malah ditinggal,” kenangnya pilu sambil me­nyatakan bahwa sejauh ini anak dan mantan istrinya diketahui negatif HIV.

Namun, dia memastikan. Yang disampaikannya bukan untuk mem­benarkan pemakaian narkoba apalagi mengampanyekan HIV/AIDS. Justru dengan kegiatan ini, dia ingin masyarakat mencegah diri dari penyalah­gunaan narkoba dan membantu penderita melanjutkan hidup.

Terlepas pentingnya motivasi dan dukungan orang-orang terdekat, hal terpenting adalah semangat ODHA harus ditumbuhkan lebih dulu dari diri sendiri. Baginya, kehadiran anaknya yang negatif HIV  merupa­kan motivasi terbesar.

Dia menyatakan menolak untuk berhenti menjalankan gerakan ini. “Belum mau berhenti. Apa yang saya alami lebih sakit dari teman-teman saya. Harus lebih banyak yang disadarkan,” ucapnya.

Tinggi

Salah satu hal yang membuat pria yang pernah ber­profesi sebagai tenaga keamanan (security) memilih Medan untuk dikunjungi adalah  tingginya jumlah ODHA di Sumut.

Berdasarkan data per 18 Mei 2016, jumlah masyarakat positif HIV 11.295 orang dan 3.761 penderita AIDS. Kal­kulasi ini mengantarkan Sumut pada peringkat 7 na­sional terbanyak kasus ODHA.

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, data tahun 2016 kebanyakan penderita berasal dari kalangan homoseks. “Sebelumnya, didominasi ibu rumah tangga yang tertular suami. Namun, baru-baru ini, didominasi pria homoseks,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan drg Usma Polita Nasution MKes.

Mendukung aksi Cak Gareng ini, Usma membenarkan, para ODHA bisa melanjutkan hidup bahkan memiliki anak dengan catatan menjaga pola hidup sehat dan sesegera mungkin mengonsumsi ARV (antiretroviral) setelah diketahui positif HIV/AIDS. ARV adalah obat yang dapat melemahkan perkembangan virus HIV.

Dinkes sendiri berupaya menggalakkan sosialisasi, salah satunya lewat program pencegahan ibu-anak. Sosi­alisasi dari penderita pun dianggap cara efektif dalam membangkitkan kepedulian.

“Kita juga berusaha memfasilitasi kegiatan semacam ini agar sampai ke mahasiswa. Mereka juga ikut paham dan menyebarkannya,” ujar Dekan FKM USU, Prof Dr Ida Yustina.

Erwin dari Medan Plus, yayasan ODHA di Medan, me­ngatakan, sejauh ini pihaknya mengupayakan pem­berdayaan ODHA dengan memaksimalkan kegiatan di rumah singgah. Mereka diberi pelatihan keterampilan agar bisa menghidupi diri ke depan.

Ditambahkan, kegiatan penanganan ODHA memang berorientasi pemberdayaan, bukan rehabilitasi. “Tidak ada istilah rehabilitasi bagi ODHA,” tuturnya.

Selain itu, juga diadakan pusat informasi masya­rakat di beberapa kelurahan di Medan. Dengan ini diharapkan penanggulangan HIV/AIDS dapat lebih terintegrasi.

()

Baca Juga

Rekomendasi