Pelukis Eksentrik Berambut Gimbal

Oleh: MH Heikal

BERAWAL dari profesi se­­bagai guide, membawa per­kelanalannya de­ngan seorang pelukis di Bali. Mem­buat dia jatuh hati untuk menekuni dan mendalami ilmu melukis. Dialah Bahar Malaka. Kini di­kenal sebagai se­orang pelukis eksentrik berambut gim­bal asal Kota Cimahi.

Nama aslinya, Bahar Gu­na­wan, na­mun lebih terkenal setelah namanya ber­ganti men­jadi Bahar Malaka. Nama ini diganti karena terinspirasi da­ri seorang tokoh. Pejuang anti ko­lonialisme asal Suma­tera Barat, Sutan Ibrahim ber­gelar Datuk Tan Malaka.

Bahar Malaka lahir dari ibu berdarah Sun­da dan ayah ke­turunan Suryalaya. Pria ke­lahiran Bandung, 6 Januari 1965 ini sempat mengeyam pen­didikan tinggi. Di Akade­mi Pariwisata (Aktripa) Ban­dung hanya, hingga semester 5.

Pada tahun 1986, Bahar memutus­kan untuk pergi ke Bali. Berkelana mengantar pa­ra turis yang menyukai lukisan untuk membeli lukisan hasil karya pelukis-pelukis di Bali. Upaya­nya ini tak lain adalah menyelam sam­­bil mi­num air. Karena sering ber­gaul dengan para pelukis, akhirnya Ba­har bertemu de­ngan pelukis-pe­lu­kis besar. Dari me­reka Bahar belajar me­lukis. Bahar benar-benar seorang pelukis otodi­dak. Bahar yang cerdas akhir­nya menjelma menjadi se­orang pelukis surealis seperti saat ini.

Bahar Malaka tidak lang­sung men­jelma menjadi se­orang pelukis se­perti saat ini. Dia melalui proses yang tak mudah. Alih profesi dari guide menjadi pelukis membuat ke­luarganya terkejut. Awalnya, peker­jaan­nya sebagai guide mendapat du­ku­ngan penuh da­ri keluarga. Men­de­ngar peng­akuannya dia ingin menjadi pe­­lukis, keluarganya menolak.

Hal ini dapat kita maklumi. Meng­ingat kehidupan seni­man masih dianggap se­belah mata oleh sebagian besar ma­sya­rakat kita. Kondisi ini tidak membuat ha­tinya luluh. Justru membuatnya sema­kin kuat. Dia berusaha membuktikan kepada keluarganya bahwa melukis bisa dijadikan sebagai sandaran hidup.

Bahar terus berkreativitas. Dia terus berusaha berkarya un­tuk men­jadi seniman besar dengan karya-karyanya yang unik. Kini hasilnya sudah puluhan lukisan berhasil dibu­atnya dan menjadi koleksi be­berapa kolektor. Mulai dari to­koh masya­ra­kat, pengusaha, pejabat dan masyara­kat umum. Beberapa dian­tara­nya di­ko­leksi oleh kolektor dari man­ca­negara seperti Malay­sia, Singa­pura, Brunai Darus­sa­lam dan Arab Saudi.

Penampilan Bahar Malaka sangat eksentrik dengan ram­but gimbalnya. Mirip dengan gaya penyanyi reggae berkulit hitam legendaris asal Ja­maika, Bob Marley. Bahar Malaka per­nah ber­mukim di Madinah, Saudi Arabia, me­ngubah gaya­nya. Ter­uta­ma rambut­nya men­jadi gimbal sejak ta­hun 1989. Bahar Malaka tidak ber­mak­sud meniru gaya ram­but idolanya Bob Marley, tapi se­perti suatu ke­be­tulan. Gaya rambut dan inisial nama men­jadi identik dengan ido­la­nya  “BM” (Bahar Malaka–Bob Marley).

Dua kemiripan ini menjadi berkah ter­sendiri buat Bahar Malaka. Menuru­nya, penya­nyi berkulit hitam itu sangat cer­das. Dengan gaya rambut gim­balnya, Bahar Malaka ingin mem­berikan pandangan.

Dekil itu tidak selalu iden­tik de­ngan jorok. Walaupun ber­penampi­lan ek­sen­trik dan be­rambut gimbal. Bahar Mala­ka berharap dapat meng­ins­­­pirasi para kaum muda untuk se­ma­ngat berkarya dengan cerdas dan penuh kejujuran.

Pada 1995, Bahar Malaka mendi­ri­kan “Sanggar Tepas”. Dalam Ba­hasa Sunda kata “te­pas” artinya pa­te­ra­san di depan rumah adat Sunda. Hal ini di­ungkapkan karena seringnya pa­ra seniman berkumpul di te­ras un­tuk sekedar berdiskusi masalah ber­kesenian.

Secara mengejutkan, pada Pera­yaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-13 Kota Cimahi pada tahun 2014 lalu. Bahar Malaka memberikan kado is­ti­mewa. Masing-masing be­rupa se­po­tong lukisan kepada Walikota Band­ung dan kepada Ketua DPRD Kota Ci­mahi.

Menurut pria yang masih senang mem­bujang ini, karya tanpa judul tersebut meng­gam­barkan tentang makna ke­hidupan. Disana terdapat air, angin, langit dan tanah. Objek air laut tampak le­bih dominan dibanding­kan dengan objek lainnya. Hal ini se­suai dengan makna dari kata Ci­mahi. Berasal dari kata “Cai Mahi” yang mengandung arti air cukup. Jadi, nama Kota Cima­hi mengandung filo­sofis seba­gai sumber kehidupan.

Dalam kesempatan sebe­lum­nya, pelukis gimbal ini me­lukis objek Mas­jid Al-Aqsha, Palestina. Lukisan yang diberi judul Peace for Palestina (2012) tersebut me­rupakan simbol pesan perda­maian. Dari bangsa In­donesia untuk rakyat Palestina. Bahar Ma­laka menyerahkan hasil karyanya tersebut ke UNICEF sebagai simbol per­damaian dari seniman Indonesia untuk dunia.

Bahar berpendapat, Mas­jid Al-Aqsha yang divisualisa­sikannya ke atas kanvas itu. Merupakan simbol adanya ha­rapan agar terwujudnya per­da­maian dunia. Masjid Al-Aq­sha te­lah memikatnya untuk dijadikan ob­jek lukisannya. Karena menjadi ikon titik te­mu dari berbagai masyara­kat re­ligi di bumi ini untuk hidup damai.

Bahar Malaka - Potret Diri
Bahar Malaka - Not a Virgin Anymore (2014)
Bahar Malaka - Love is Blind (2014)
Bahar Malaka - Peace for Palestina (2012)
Bahar Malaka - Lukisan yang  dipersembahkan untuk Pemkot Bandung dan DPRD Cimahi

Semua foto dalam Tulisan ini adalah foto dokumentasi dan koleksi foto penulis MH Heikal dari berbagai sumber

()

Baca Juga

Rekomendasi