Oleh: Asruddin P.
Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan bahwa Yamaha dan Honda terbukti melakukan kartel, dalam megatur harga produk motor matic, menyeruakkan kekhawatiran kita bahwa dunia perbisnisan nasional sedang digerogoti kecurangan berkedok usaha kompetitif. Memang selama ini konsumen di Indonesia sudah mencurigai, ada yang tidak beres dengan penentuan harga dua produk kendaraan tersebut. Mengapa konsumen kita harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan kendaraan tersebut jika dibandingkan konsumen produk di negara lain seperti di Jepang, Korea Selatan, China, dll.
Idealnya harga motor tersebut dijual Rp.7-8 juta rupiah, namun oleh mereka dibanderol di pasaran dengan harga dua kali lipat. Untuk motor skutik misalnya, mestinya harga dijual Rp.10 jutaan, namun dijual Rp.15-jutaan ke atas. Bayangkan ini sudah terjadi lama, dan tidak sedikit warga yang akhirnya dirugikan. Apalagi konsumen-konsumen kita, lebih banyak permisif alias tidak kritis, sehingga mudah dikadalin oleh watak produsen yang lebih mementingkan kepentingannya.
Merusak iklim usaha
KPPU sudah memutus bersalah terhadap Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan Astra Honda Motor (AHM) dalam sidang putusan kartel (20/2) kemarin. Kedua produsen kendaraan roda dua itu disangkakan dengan pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tentang larangan membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga atas suatu barang dan jasa. Mereka dianggap bersekongkol dalam penetapa harga jual motor skuter matic 110-125 cc. Ini merupakan kejahatan ekonomi yang bisa melumpuhkan roda ekonomi masyarakat jika tidak disiasati secara cepat oleh pemerintah.
Kasus ini bermula dari kecurigaan KPPU terhadap penguasaan pasar kedua pabrikan asal Jepang tersebut di kelas motor skutik 110-125cc. Skuter matik menjadi komoditas yang paling banyak diinati konsumen. Penguasaan pangsa pasar untuk skutik oleh AHM lebih dari 67 persen dan Yamaha lebih dari 29 persen. Jika dugaan kartel terbukti, kedua perusahaan menguasai hampir 97 persen pangsa pasar sepeda motor skutik, sementara PT Suzuki Indomobil Motor (Suzuki) dan PT TVS Motor Company (TVS) hanya menguasai sedikit dari pangsa pasar atau sekiar kurang dari 2,5 persen.
Jadi kedua motor bisnis ini menguasai 97 persen pasar dalam beberapa tahun terakhir. Penyelidikan terhadap dugaan kartel ini sudahdilakukan KPPU sejak 2014 lalu. Investigator KPUU menemukan adanya prgerakan harga motor skutik Yamaha dan Honda yang saling beriringan. KPPU menemukan indikasi adanya perjanjian tak tertulis di antara kedua pabrikan itu untuk mengatur harga jual skutik. Diendus juga bahwa sempat ada jalinan komunikasi lewat surat elektronik di antara direksi kedua perusahaan, meski Yamaha dan Honda membatah adanya praktek kartel itu dalam sidang KPPU beberapa waktu lalu.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
Praktek kartel merusak iklim kompetisi usaha karena didominasi oleh kelompok bisnis tertentu yang mengincar keuntungan omzet sendiri tanpa mempedulikan kontinuitas usaha pelaku bisnis yang lain. Di era orde baru, praktek seperti ini kerap mencengkeram dunia bisnis sehingga praktek derivatif seperti: kolusi, korupsi bukan sesuatu yang asing lagi. Bahkan dalam batas penalaran tertentu praktek hitam tersebut dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk mengerek roda keuntungan yang justru dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki jaringan paralon dengan kepentingan politik. Maklum pada saat itu, politik dan bisnis merupakan duan entitas paling penting dalam jagat kekuasaan rezim Soeharto. Bisnis menjadi instrumen untuk menghidupi politik.
Padahal kalau dihitung-hitung iklim usaha yang sehat dan kompetitif sangat membantu bagi produsen dan konsumen. Bagi produsen, persaingan usaha yang diikat oleh mekanisme kompetitif yang adil akan mendorong terciptanya efisiensi produksi dan alokasi input, serta akan mendorong para pelaku usaha (produsen) untuk memperbanyak inovasi di segala lini produksi, termasuk pula infrastruktur produksi. Bagi konsumen, efisiensi pengeluaran bisa tercapai karena mereka memiliki banyak alternatif untuk mendapatkan produk yang dibutuhkannya, karena harga output ditentukan oleh proses produksi yang efisien.
Turunkan harga jual
Memang sesuatu yang tidak dikehendaki oleh produsen dalam iklim persaingan adalah ketidakpastian bisnis, namun bukan berarti segala cara dengan gampang diterabas untuk mengatasi ketidakpastian tersebut. Sebab iklim bisnis yang sehat sangat ditentukan juga oleh iklim daya saing yang memerhatikan nilai-nilai kepercayaan dan respons balik yang baik dari masyarakat sebagai input untuk memperluas aksesibilitas pasar kepada masyarakat lewat produk-produk yang bermutu dan menimbulkan aspek kepuasan.
Persis, di sini, kemampuan tersebut justeru masih langka dimiliki para pebisnis. Tidak heran jika Indeks Daya Saing Indonesia yang baru dirilis Worl Economic Forum, berada di peringkat 41, turun dibandingkan posisi tahun lalu yang menempati peringkat 37 dari 138 negara. Penurunan ini harus diakui salah satunya dipengaruhi oleh kultur dunia usaha yang tidak transparan dan tidak memiliki daya inovasi untuk mengembangkan produknya.
Kita berharap Yayasan Lembaga Kosumen Indonesia (YLKI), tidak tinggal diam melihat fenomena ini. Sebagai lembaga yang dibentuk untuk melindungi konsumen di Tanah Air, kita berharap ada langkah-langkah konkret yang diambil oleh YLKI agar konsumen kendaraan bermotor di Indonesia tidak terus merugi. Apalagi kecenderungan pengguna kendaraan bermotor di Indonesia makin hari makin bertambah seiring tuntutan kebutuhan yang makin bertambah pula.
YLKI harus berani menuntut dua produsen motor itu untuk segeramenurunkan harga jual produknya.Bahkan arahanYLKIyang meminta pengguna sepeda motor matic Yamaha dan Honda untuk melakukan gugatan Class Actionkepada dua produsen itu jika merasa belum puas dengan putusan KPPU, sangat mungkin untuk dilakukan agar keputusan KPPU tersebut tidak sekadar proforma tapi juga bergigi dalam membela konsumen dan terutama untuk menegakkan persaingan bisnis yang sehat dan adil. Kita tak mau siasat bisnis culas ini terus menghisap darah ekonomi rakyat yang hari-hari ini masih terus bergulat dengan persoalan ekonomi rumah tangganya.***
Penulis adalah peneliti.