Jangan Sebut Namaku

Oleh: Bintang Zalukhu

SUASANA siang ini membuatku begitu suntuk. Tak ada yang bisa menyenangkan hati kecuali kebiasaanku tumbuh kembali dan kumat lagi. Seperti biasa, aku selalu gabung dengan teman-teman. Canda tawa mengisi hatiku yang tadi galau.

“Pulang yuk? Aku lapar nih!” aku mengajak salah satu temanku yang tadi tertawa terbahak-bahak.

“Kamu saja, Lar! Aku di  sini saja!”

Sedikit kesal, aku pulang. Tiba di rumah, aku langsung melepas dahaga. Sudah terlalu siang. Aku lahap makanan di atas meja khusus kepunyaanku.

“Ganti dulu pakaianmu, Lar!” kata ibu.

Sedikit jengkel karena makananku terhambat, akhirnya aku turuti juga. Aku masuk ke kamar. Rasa lapar telah hilang. Kini aku tertidur dan terbuai mimpi-mimpi palsu.

* * *

“Lar!” Seperti ada yang memanggil namaku. Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Lajuari. Aku memperlambat jalanku agar dia dapat mengejarku.

“Ada apa?” tanyaku ketika dia telah di sampingku.

“Kamu dimarahi oleh Ibu Iyus!” Lajuari memberi informasi. Terasa asing bagi telingaku. Biasanya guru yang sering memanggilku hanya Pak Idris. Ini kok Bu Iyus?

“Emangnya aku salah apa? Sampai-sampai aku dipanggil?!” tanyaku pena­saran.

“Aku juga tak tahu. Yang jelas kamu harus segera ke sana sebelum bel berbunyi.”

Kalau sudah begini, rumit deh masalah­nya. Aku tinggalkan Lajuari, sebelumnya satu tepukan mendarat di pundaknya. Kini langkahku ke arah selatan, ke kantor Bu Iyus berada. Setelah aku masuk ke ruangan, aku dipersilakan duduk ber­hadapan dengannya.

“Ada apa Ibu memanggil saya?”

“Kamu tidak tahu tentang masalahmu di sekolah ini, Lar?” tanya Bu Iyus ke titik permasalahan.

“Benar, Bu. Saya sama sekali tidak tahu.” Aku terus terang.

Ok. Sekarang dengarkan penjelasan Ibu, Dollare."

“Saya akan mendengarkannya, Bu.”

“Baiklah.” Ibu Iyus sedikit menggeser posisi duduknya. “Dollare! Kamu akan dikeluarkan atas kehendak orangtuamu, Pak Zainaheli.” Ibu Iyus sambil membaca selembar kertas.

“Atas sebab apa saya dikeluarkan, Bu?” tanyaku menahan emosi. Sebab namaku telah diucapkan secara keseluruhan. Aku paling tak suka dengan namaku.

* * *

Aku pulang ke rumah. Seperti ada yang kukejar. Ya, tak salah lagi. Suatu hal yang membuatku kesal. Amplop besar berisi kertas-kertas yang sangat penting itu masih kupegang. Setelah sepeda motor kuparkir di bawah pohon mangga, aku bergegas masuk. Aku lihat ibu berada di pekarangan belakang.

Setelah berhadapan dengan beliau, aku langsung bertanya. “Bu, apa maksud dari surat-surat ini?”

“Ada apa, Dollare? Jangan marah-marah begitu. Baru pulang sekolah kok marah-marah?” Ibu mendekatiku.

“Ibu! Jangan memanggil namaku seperti itu lagi. Aku tak suka dengan nama itu,” kataku ketika emosiku mulai reda.

Ok! Sekarang Ibu tahu. Kamu dikeluarkan karena harus pindah sekolah,” jelas ibu ke titik persoalan.

“Hanya gara-gara sepele seperti itu! Semua anak sekolah jadi menggosipi Lar, Bu!”

“Biari!”

“Pokoknya Lar tak mau terima semua ini.” Aku masuk ke kamar. Hanya tempat inilah aku bisa memulihkan otakku. Aku tertidur agar dapat membuang semua kejadian di sekolah.

* * *

“Hi, Lar! How are you?”

Entah siapa yang memanggil namaku seperti itu. Begitu banyak orang di bandara ini yang ingin menanti sebuah benda yang pasti bisa mener­bangkan mereka.

“Hi...!” serunya sambil melam­baikan tangan ke arahku. Dia mendekat saat aku tengah mencari sumber suara itu.

“Kamu tidak kenal aku?”

“Sori, kamu siapa? Sepertinya aku tak kenal kamu!” kataku sedikit menggeser dari tempatku berdiri mematung.

“Dollare, kamu tak kenal aku? Begitu banyak manusia di bumi ini yang lalu lalang dan berserakan tapi aku tak pernah lupa wajahmu….”

“Jangan sebut namaku seperti itu. Cukup dengan Lar, tak boleh lebih. Paham?”

“Biarlah. Daripada waktu kamu sekolah di sana yaitu sekolah di kota kita berada, kamu paling benci dibilang begitu. Ternyata sekarang juga seperti ini.”

“Kalau tak salah, kamu Boy?” tanyaku memastikan. Sebab dari alis mata dan suaranya begitu mirip dengan Boy, teman sekolah lamaku.

“Benar sekali, Dollare!”

“Ja­ngan sebut namaku seperti itu, Boy!” bentakku kasar.

Tak sedikit pandangan mata ke arah kami. Tapi aku dan Boy tidak meme­dulikan mereka.

“Kamu bodoh ya? Punya nama lumayan bagus tak diguna­kan.”

“Apa urusanmu dengan namaku?”

Kini pesawat telah siap di bandara. Dengan segera pesawat telah dipenuhi oleh manusia yang ramai. Aku bergegas naik tapi Boy menarik lenganku. Aku tepiskan tangan itu sekuat tenaga. Dia tak melawan. Kini aku naik setelah mening­galkan Boy sendiri.

* * *

“Apa? Dari Boy!”

Aku terkejut saat ibu memberi tahu bahwa Boy mengirimi begitu banyak surat.

“Ibu tak mau membuka-buka isi suratmu itu. Kamu sudah dewasa, Doll.…”

“Jangan sebut nama itu, Mom!” kataku ketika ibu mengucapkan kalimat yang akan membakar telingaku.

“Baiklah. Sekarang ibu tinggal. Ibu mau bersihkan halaman depan.”

Aku menutup pintu rapat-rapat. Ibu telah keluar dari kamarku sebelum aku menutup pintu kamar. Surat bagian tumpukan pertama, aku raih. Masih bagus. Padahal telah dua tahun aku tidak di sini tapi amplop ini masih tertata bagus.

Teman aku ketika di sekolah!

Kamu jangan marah jika aku menulis namamu dengan lengkap. Aku paham dan mengerti bahwa kamu tak senang kalau namamu tertulis maupun diucapkan di depanmu. Beribu-ribu maaf. Ok? Aku hanya mau kasih masukan sedikit tentang namamu. ‘Dollare’ nama yang begitu langka. Kamu tahu tidak sifat-sifat kata? Yaitu yang kesatu, kuning bercahaya yang bisa membangunkan semua orang untuk langsung memperebutkannya. Yang kedua, seperti emas. Yang ketiga, begitu gampang diraih. Kau begitu mudah untuk mendapatkan logam yang berbentuk koin maupun karto. Kau begitu tajir!  Jadi aku mau tahu, kau bisa mencerna kalimatku di atas? Sori ya kalau aku mencampuri urusan namamu!”

Aku melipat kembali surat itu. Sudah tiga kali kubaca. Tanpa kusadari air mataku keluar begitu saja. Untung tak ada yang melihat. Aku meraih dan membaca semua amplop yang tersenyum manis di pang­kuanku. Semua isinya tentang keadaanku, perubahan yang selalu tetap tanpa peru­bahan, kehidupan, dan karakterku yang dianggap begitu egois. Yang paling inti di setiap suratnya, tentang namaku. Apalagi setiap saat selalu tercantum nama lengkap­ku. Tapi aku memaafkannya karena dari awal dia meminta maaf kepadaku. Aku membaca surat berikutnya.

“…sori ya? Kamu pasti bisa menerima semua penjelasanku ini karena kamu lelaki. Begitu juga aku. Aku kasihan banget samamu. Kenapa sih kamu sampai sekarang benci dengan namamu? Pasti ada sebab dan akibatnya 'kan? Apakah selama dua tahun lebih ini kita bisa ketemu? Banyak sekali yang ingin aku sampaikan. Tapi….”

“Boy, maafkan perbuatanku!” kataku menangis memeluk suratnya. “Aku janji kalau ada yang memanggil namaku, aku terima dengan senang hati.” Aku benahi surat-surat itu dan aku letak di tempat yang paling aman di atas lemari buku.

“Bu… aku mau makan!” kataku menuju dapur.

“Oh… bagianmu di dalam lemari makanan, Dolla…,” kata ibu langsung menutup mulutnya saat dia ingin melan­jutkan ucapannya.

“Tak apa. Lar makan dulu,” ucapku mulai lunak.

“Dollare!” ibu memanggil namaku.

“Iya! Ada apa, Bu?”

Aku yakin pasti dia membahas tentang namaku.

“Sepertinya ada yang mengganjal?”

“Soal apa, Bu? Nama? Biarlah. Aku ingin mengubah semuanya menjadi lembaran baru mengenai namaku.”

“Oh…!” ibu langsung memelukku. Aku juga memeluknya. Sudah lama aku tak seperti ini.

“Ibu kangen dengan namamu, Sa­yang….”

“Iya, Bu…!”

* 19.05.16

()

Baca Juga

Rekomendasi