Oleh: J Anto
ADA atau tidak ada pertunjukkan, mereka tetap rutin berlatih untuk menjaga kelenturan gerakan. Semakin banyak berlatih, juga semakin matang saat tampil.
Demikian menurut calon dokter yang tengah magang di sebuah rumah sakit di Medan, Vanda Olivia (2l). Vanda, panggilan akrabnya, mengaku sudah berlatih tari sejak kelas 1 SMA. Sekalipun berasal dari keluarga dokter – ayah dan dua saudara kandungnya dokter – namun darah seni memang mengalir dalam tubuhnya.
Almarhum kakeknya, Prof Pedro Heng, adalah seorang pianis dan komposer yang pernah membuat rekaman di Brazil. Menggeluti kesenian, menurut Vanda, kelak akan membantu mengasah kepekaan nuraninya saat melayani pasien sebagai dokter.
Bukan tanpa sebab jika ia menyukai tari Seribu Tangan Kwan Im. Ia telah memetik banyak nilai setelah mempelajari tarian tersebut. Jumlah penari yang banyak, menuntutnya agar luwes atau supel dalam membangun relasi dengan sesama penari. Bukan hanya luwes, tapi juga akrab. Juga kompak saat berlatih dan ketika tampil di pentas.
"Membangun kekompakkan gerakan tangan itu yang paling sulit, kalau ada satu saja gerakan tangan yang tak sesuai, maka penari di belakang jadi kacau," katanya. Karena itu kompak di panggung, juga harus mewujud dalam laku pergaulan sehari-hari.
Penari lain, Silvia (18), yang saat ini pelajar kelas tiga SMA, memberi contoh lain. Kecepatan gerak tangan juga harus sesuai irama musik yang mengiringi. Itu artinya, penari juga diajar untuk memiliki insting menari yang akurat.
"Termasuk derajat ketinggian tangan, juga harus sesuai dengan nada musik," tambah Evelin (19) mahasiswa jurusan manajemen perhotelan di sebuah PTS Medan. Silvia dan Evelin sepakat, setiap penari selain dituntut hafal dengan nada lagu, juga harus hafal gerakan-gerakan tangan yang menjadi inti tari Tangan Seribu Kwan Im.
Harmoni tak hanya dibutuhkan dalam gerak, tapi juga laku hidup sebagai sesama penari. Sebagai remaja, wajar jika terkadang lahir silang pendapat atau iri hati. Jika muncul hal seperti itu, mereka lalu membicarakan bersama-sama. Prinsipnya harus-sama terbuka.
"Ada juga yang harus mengalah, mau mendengar pendapat teman lain," kata Silvia. Namun sejauh ini belum pernah muncul friksi di antara sesama penari.
Budaya Instan
Pelatih tari di Sanggar Yasora, Man Chu (47) mengakui, bukan hal mudah mencari bibit muda yang sedia diproyeksikan sebagai penari Tangan Seribu Kwan Im. Lahir, besar, sekaligus hidup dalam kultur kota metropolitan membuat anak-anak muda lebih menyukai hal-hal instan. Termasuk dalam berkesenian.
"Mereka mengabaikan proses, tak mau belajar dari dasar. Latihan sebentar, langsung mau jadi pemain sinetron, begitu ibaratnya," tutur Man Chu, yang juga pemilik sanggar Medan Culture Dance Company.
Masalahnya, setiap penari tak cukup hanya belajar menghafal gerakan, tapi mereka juga dituntut mampu menjiwai tarian tersebut. Kekuatan ide atau gagasan welas asih adalah inti dari tarian Tangan Seribu Kwan Im. Karena itu, setiap penari harus mencari cara bagaimana sosok Kwan Im merasuk saat penari membawakan tarian tersebut.
Semua itu butuh proses, butuh latihan yang intens, bukan instan. Berlatih dari dasar, mempelajari sejarah dan filosofi tarian tersebut menjadikan penari mampu menghayati makna tari dari dalam jiwanya.
Bicara soal penjiwaan, menurut Vanda, hal itu bisa dilakukan dengan cara memahami arti setiap gerakan tarian yang mengandung makna tertentu. Ia lalu mencontohkan, saat tangan penari keluar secara bersamaan. Gerakan tangan itu menurutnya mengandung makna bahwa sikap welas asih itu harus bisa menjangkau seluruh kehidupan umat manusia. Dengan pemahaman itu, seorang penari tangan seribu mampu menyampaikan pesan welas asih kepada penonton.
Bagi Evelin, berlatih tarian tersebut memberinya kepercayaan diri tampil di depan umum. Awalnya ia tak terlalu tertarik dengan tari tradisional. Saat diajak temannya ke sanggar, ia hanya mau coba-coba saja. Hitung-hitung untuk tambah pengalaman. Tiba di sanggar, ketika melihat para penari senior berlatih dengan gerakan -gerakan luwes dan lentur, timbul rasa grogi bercampur sedikit minder.
Maklum saat itu ia satu-satunya calon penari yang paling junior. Gerakannya g masih kaku karena tak punya pengalaman menari. Namun sebulan kemudian, ia pun akhirnya merasa chun In menari tarian tersebut.
Kini Vanda, Silvia, Evelin, dan Alvina bersama sembilan penari lainnya menjadi tim andalan tari tangan seribu di Sanggar Tari Yasora. Grup tari ini kerap tampil dan meraih berbagai penghargaan. Saat mengikuti Festival Tari Tradisional di Tiongkok – yang diikuti grup tari dan perorangan dari berbagai negara – mereka berhasil meraih penghargaan The Best Performance dalam tari Tangan Seribu Dewi Kwan Im.
"Itu momen paling mengesankan bagi saya," ujar Silvia. Tentu akan semakin banyak lagi momen-momen mengesankan yang dipetik saat menarikan tarian itu pada ruang, waktu, dan publik yang berbeda. Barangkali itulah keuntungan lain yang bisa dipetik dari penari Tangan Seribu Kwan Im.