Oleh: J Anto
SEJAK awal tahun 2000, tari Tangan Seribu Kwan Im atau Chien Sou Kwan Im, mulai banyak dikenal masyarakat di Kota Medan. Tarian yang berkembang di Tiongkok dalam 20-an tahun belakangan ini mengajarkan harmoni, kekompakan dan kerjasama. Sejumlah anak muda di Medan kini mulai tertarik menekuninya, walau jumlahnya masih marginal.

Man Chu
Saini Lona
Yusnelli Lona
Di tengah kilatan lampu kamera fotografer, empat penari remaja puteri itu banyak menebar senyum dan tawa riang saat memperagakan berbagai posisi tari Tangan Seribu Kwan Im. Gerakan tubuh mereka gesit, lincah, dan luwes.
Vanda Olivia (22) duduk dengan menekuk kedua lututnya. Ujung telapak tangan kanan dan kirinya saling beradu memunggungi, membentuk salam hormat dengan jemari tangan kanan mengarah ke atas, dan jemari tangan kiri ke bawah. Itulah salam hormat Kwan Im sebagaimana sering terlihat dalam berbagai poster.
Di belakang Vanda berdiri Evelin (19), dengan tangan kiri menyilang di bawah dadanya dan tangan kanan tertekuk ke atas. Sedang di sebelah kiri dan kanan ada Alvina (17) dan Silvia (18), mereka duduk ditopang lutut kiri dan kanan dengan badan condong ke kiri dan kanan.
Mereka mengenakan busana kuning keemasan, penuh hiasan manik-manik (payet), kontras dengan kulit tubuh mereka yang putih. Di kepala terpasang mahkota berantai kalung. Ada kesan megah, cantik, dan artistik melihat tampilan para penari Dewi Tangan Seribu saat tengah berlatih di sebuah ruang berukuran 3 × 5 meter itu, Senin (31/1).
Sebuah mesin pendingin berdiri di sudut ruangan menghembuskan hawa yang menyejukkan ruangan. Di dinding menempel cermin berukuran 2 meter x 3 meter.
"Walau tak ada pentas dalam waktu dekat, kami tetap berlatih agar makin matang," ujar Vanda Olivia (21), salah seorang penari dengan senyum mengembang.
Ruang latihan itu terletak di lantai tiga dari bangunan ruko empat lantai. Sebuah papan putih kecoklatan tersaput debu tanah, berhias logo bulat biru dengan arsir garis burung angsa yang tengah terbang di atas benteng. Papan itu tergantung di luar lantai ruangan paling bawah. Ada selarik tulisan di tengah papan: Sanggar Kesenian Yayasan Sosial Angsapura (Yasora).
Sanggar Multikultural
“Sanggar Kesenian Yasora Medan sudah berdiri sejak 1996,” tutur Tan Lie Cien (59) alias Saini Lona didamping Yusnelli Lona (52) alias Li Sia di Sekretariat Yasora, Senin lalu. Saini Lona adalah Ketua Bidang Kesenian periode 2015-2018, sedangkan Li Sia adalah kepala bidang tari.
Misi kehadiran sanggar kesenian tersebut tak lebih sebagai sarana ekspresi berkesenian masyarakat Tionghoa Medan. Terutama mereka yang bergabung dengan yayasan sosial yang berdiri sejak 1984 itu. Namun harap dicatat, sanggar tari ini tak melulu mengajarkan tari tradisional Tiongkok, tapi juga tarian tradisional lain. Misalnya Tortor Batak, tari Cawan, Sigale-gale, Tandok, tari Melayu seperti Japin, Tepak Sirih, dan Tari Aceh seperti Saman, serta tari tradisional lain.
“Sanggar kami itu memang sanggar tari multikultural,” tambah Saini Lona. Pada November 1999 silam, tim kesenian dari sanggar ini pernah tampil pada ajang Expo Horticultura di Kunming, Yunan, Tiongkok. Beranggotakan 168 orang, berangkat ke Tiongkok dipimpin isteri Gubernur Sumut saat itu, Ny. Tengku Rizal Nurdin. Muhibah kesenian itu punya misi budaya cukup penting.
Saat itu, pascatragedi Mei 1998, saat warga Tionghoa Indonesia banyak mengalami kekerasan, citra Indonesia tengah terpuruk di mata dunia internasional. Tidak terkecuali di mata Tiongkok. Warga Tionghoa Indonesia, dipersepsi seolah telah "habis".
Tampilnya anak-anak muda Tionghoa Medan pada ajang di Kunming, menghapus prasangka itu. Terlebih mereka tampil membawakan tarian dari berbagai daerah yang ada di Sumut, mulai dari Tor Tor, tari Jawa, Melayu, sampai Minang. “Misi budaya itu juga berhasil memerlihatkan bahwa warga Tionghoa Indonesia masih utuh dan aman- aman saja,” tambah Saini Lona.
Tari Tangan Seribu Dewi Kwan Im itu sendiri menurutnya mulai dipelajari dan dikembangkan sanggar sejak awal 2000. Guru tarinya adalah Wong Yong Siang. “Awalnya beliau belajar secara otodidak dari video,” katanya.
Sekalipun belajar otodidak, Wong Yong Siang tak mengalami kesulitan. Maklum ia memang seorang seniman. Penampilan grup Tari Tangan Seribu Kwan Im yang dibinanya bahkan banyak mendapat apresiasi. Selanjutnya selama periode 2004 -2011 grup tersebut dilatih oleh Yin Mei.
Mereka juga pernah tampil di Malaysia, Singapura, dan Tiongkok. Pada 2014 mereka bahkan diberi kesempatan mempertunjukkan kebolehan di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Koperasi dalam sebuah acara pameran produk UMKM di Jakarta.
"Itu pengalaman paling mengesankan karena bisa tampil di depan orang nomor satu Indonesia," ujar Vanda, mahasiswa Fakultas Kedokteran USU yang kini tengah melakukan co-as itu.
Chien Sou Kwan Im, diciptakan seniman Tiongkok untuk menggambarkan keluhuran budi atau sikap welas asih Dewi Kwan Im yang suka menolong orang. Sikap suka menolong banyak orang itu digambarkan sang seniman lewat Tangan Seribu Kwan Im.
Tarian Tangan Seribu Kwan Im menurut beberapa referensi awalnya diciptakan untuk mereka yang tergolong difabel (differetn ability),atau orang dengan kemampuan berbeda, misalnya orang tunarungu atau bisu. Salah seorang penari asal Tiongkok yang namanya telah kesohor di pelosok dunia, sekalipun ia tunarunggu dan tunagrahita, adalah Tai Lihua.
Pada 2004, saat penutupan Olimpiade Penyandang Cacat Athena, tarian Tangan Seribu Kwan Im yang dibawakan kelompok penari difabel, memukau jutaan penonton di berbagai belahan dunia. Tai Lihua yang jadi bintang dalam acara itu, terharu dan merasa bangga karena lewat pertunjukkan tersebut, sebanyak 60 juta kaum difabel di Tiongkok terangkat harga diri mereka.
Menurut sejarah, katanya, tarian ini awalnya diciptakan untuk menghibur kaisar, karena itu musik yang mengiringi gerakan para penari juga bernuansa kekaisaran. Kini, tarian seribu tangan tak lagi hanya menjadi tontonan kaisar. Setiap kali peringatan hari besar, terutama Buddha, tarian ini biasanya disajikan sebagai hiburan. Malah, resepsi pernikahan di beberapa kota besar yang digelar masyarakat Tionghoa, juga seringkali menyajikan tarian ini.
Tiap grup tari punya tarif sendiri. Tapi di Medan umumnya berkisar antara Rp 750.000 sampai Rp 1.500.000 sekali tampil. Durasinya berkisar 6 menit. Besar kecilnya honor, sebenarnya tergantung jumlah penari yang diminta. Semakin sedikit, tentu semakin murah.
Tentu bukan hal mudah belajar tari Tangan Seribu Kwan Im. Tarian ini memiliki tingkat kesulitan terutama dalam membangun kekompakan di antara penari yang berjumlah 19 orang. Kekompakan dibutuhkan supaya keselarasan gerak tangan bisa muncul serentak.
Tarian ini juga membutuhkan sensitivitas dan refleks tarian yang cepat. Penari harus memiliki konsentrasi tingkat tinggi supaya bisa menari dengan benar. Salah sedikit, bisa mengganggu konsentrasi penari lain.
Rekrutmen Anggota
Sanggar Tari Yasora mengakui kaderisasi penari masih jadi persoalan. Jumlah anak muda yang mau menekuni tari Tangan Seribu Dewi Kwan Im belum tergolong menggembirakan. Padahal fasilitas yang disediakan sanggar tergolong cukup bagus.
Rekrutmen para calon penari menurut Li Sia kebanyakan dilakukan lewat rekomendasi yang diberikan anggota Yasora atau jejaring mereka. Siapa saja yang tertarik, punya kemauan akan diterima dan diikutkan dalam program latihan. Latihan dilakukan 2 kali sepekan, pukul 18.00 - 21.00 WIB.
Calon peserta tak dipungut biaya, bahkan diberi fasilitas antar jemput dan konsumsi selama latihan. "Namun soal diterima atau tidak, tergantung penilaian pelatih," ujar Li Sia. Walau gratis, menurut Li Sia ada juga syarat lain. Pertama, calon sebaiknya tidak memiliki badan terlalu gemuk.
"Kalau cantik relatif, nanti kalau terpilih dan tampil juga bisa di-make-up," ujar Li Sia dengan senyum mengembang. Jika sudah diterima jadi anggota, saat ada undangan pentas, mereka juga mendapat honor.
Namun iming-iming tersebut, ternyata belum juga menarik minat banyak anak muda menggeluti tari tradisional asal Tiongkok itu. Saat ini di sanggar baru ada 13 penari yang setiap saat bisa naik pentas jika ada gawai kesenian.
dari rekrutmen, kaalau pun ada yang terpilih, mereka umumnya sudah berusia antara 14 - 20 tahun. Jumlahnya juga tak banyak. Masalah lainnya, karena usia sudah menanjak dewasa, begitu selesai kuliah atau dapat kerja, mereka jarang lagi punya waktu menari.
Untuk mengatasi rendahnya minat anak muda berlatih tari, pihak sanggar berencana melakukan kaderisasi. Caranya dengan merekrut anak asuh Yasora yang berusia antara 11-13 tahun. Itu artinya jenjang untuk jadi penari cukup panjang, bisa 10 tahunan.
"Dengan menguasai tari Tangan Seribu Kwan Im, mereka juga memiliki keterampilan tambahan, selain bisa menambah uang jajan," ujar Li Sia. Yang untung sebenarnya tak hanya para penari, nafas tari tradisional pun bisa panjang. Kekayaan budaya terjaga dan bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.
Jadi siapa lagi yang mau belajar tari Tangan Seribu Kwan Im?
