Oleh: Syafitri Tambunan. RUMAH bambu belum menjadi tren bagi hunian di banyak daerah di Indonesia. Padahal alam tropis yang subur, memungkinkan kelanggengan budidaya bambu yang bisa menjadi ladang baru bagi masyarakat. Untuk dikelola, bukan hanya sebagai bahan baku perabotan, tetapi juga bahan utama pembangunan rumah.
Bambu bisa menginspirasi ide kreatif. Memaksimalkan penggunaan material bambu untuk membangun hunian, selain meminimalisir penebangan hutan juga mengurangi ketergantungan manusia terhadap bahan-bahan nonalam, seperti semen, plastik, kaca, dan besi.
Arsitek Peranita Sagala, menyebutkan, bangunan dengan material bambu menjadi salah satu masa depan dunia arsitektur. Saat geliat sustanaible (keberlanjutan), green architecture (arsitektur hijau), dan sejenisnya digencarkan, arsitektur bangunan bambu mampu mengatasi berbagai persoalan alam dan manusia.
"Bangunan bambu bisa sangat menarik. Apalagi bahannya, tanaman bambu, tersedia banyak di daerah tropis seperti Indonesia," sebutnya. Jika dibudidayakan dengan baik, 5 tahun sudah bisa panen. Tanaman bambu sangat bermanfaat sebagai material bangunan. Selain bahannya murah, bambu juga memiliki sumber oksigen yang tinggi serta dapat menjaga kondisi air tanah.
Segala sesuatu memang tidak ada yang sempurna. Penggunaan bambu sebagai material utama bangunan, tetap memiliki kekurangan. "Kesulitannya ada pada teknis pengawetan dan pola mendesain bangunannya.
Beberapa tokoh besar di Indonesia sudah menggunakan desain arsitektur bambu. Rumah Ustaz Abdullah Gymnastiar 'AA Gyim' misalnya, juga menggunakan konsep itu. Ada juga arsitek yang desainnya cukup menarik karena mengaplikasikan konsep berbahan bambu, salah satunya Budi Pradono.
Dalam Budi Pradono Architects (BPA), karyanya berjudul P House atau Dancing Mountain House berhasil meraih penghargaan sebagai proyek residensial terbaik seantero Asia dalam Arcasia Architecture Awards (AAA) pada 29 September 2016. Kemenangan Dancing Mountain House itu berawal dari konsep sang arsitek yang mengedepankan peran arsitektur di tengah masyarakat dan kombinasi antara modernisasi dengan unsur tradisional.
Selain BPA, ada juga hunian bambu populer di Bali milik Elora Hardy. Keseluruhan rumah menggunakan bambu lokal sudah melewati tahapan proses tahan lama. Untuk melapisi bagian dalam dinding, dia menggunakan kertas daun pisang dan lembaran aluminium untuk melapisi atap rumah. Bernama Green Village, desa dengan rumah-rumah bambu ini berhasil menarik minat pembeli di seluruh dunia dengan harga yang fantastis.
Sementara di Sumatera Utara, dengan iklim tropis didukung hutan hujannya membuat Restaurant Kapal Bambu menjadi perhiasan terbaru dari Ecolodge Bukit Lawang. Bangunan itu didesain dari material bambu yang dipanen dari alam dan berkelanjutan, serta dari tanah liat yang ditemukan dalam jumlah yang cukup di lingkungan sekitar Bukit Lawang.
Desainnya inovatif dan berfungsi sebagai sebuah karya untuk pembangunan berkelanjutan. Bangunan bambu yang unik tersebut dirancang dan dibangun oleh arsitek asal Swiss Lukas Zollinger (Zollinger Brunner Architects) bekerjasama dengan ahli bambu Jerman-Colombia Jorg Stamm.
Baik desain, bahan, dan konstruksinya berfokus pada keberlanjutan sesuai dengan visi hijau dari Ecolodge Bukit Lawang. Fasad, atap, tangga, pagar, pencahayaan, dan furnitur semua diproduksi dari bambu, kecuali bagian basement, yang dipoles lantai teraso semen. Kemudian bar counter, bingkai beton, dan dinding terbuat dari tanah liat. Setiap lantai memberikan kesan refresh, termasuk di bambu lounge lantai atas yang merupakan ruang pendidikan konservasi, relaksasi sederhana, dan hiburan.
Peranita menambahkan, jika pengawetan dan desain sang arsitek bangunannya benar-benar baik, maka hunian bambu ini bisa tahan hingga puluhan tahun. "Bisa tahan 20-30 tahun, bahkan lebih. Sebaliknya, kalau tidak bagus, maka pemiliknya bisa langsung ganti dan membangun lagi dengan desain berbeda menggunakan jasa arsitek".