Kutukan Ibu Mertua

Oleh: Nunuk Priyati.

Kita tidak akan kaya jika ibumu masih hidup.”

“Kenapa begitu? Kamu se­akan sedang mendoakan ibu mertuamu sendiri agar cepat meninggal.”

“Kamu lupa kutukannya?”

“Apa kamu benar-benar mem­per­cayainya?”

“Ya, kata-kata itu doa, Mas. Doa buruk itu kutukan. Kamu tahu sendiri Ibu sulit matinya. Dia kan punya ilmu dalam, orang-orang juga tahu dia meng­gunakan susuk.”

“Bukankah pada akhirnya, se­mua orang juga akan mati?”

Langkah kedua kaki ini ku­per­cepat, muak memikirkan ku­tukan itu lagi dan lagi dari hari ke hari. Meski terkadang, aku masih saja belum mengerti, me­mulai obrolan itu lebih dulu de­ngan Jack. Merasa bosan sendiri, kemudian aku meninggalkan Jack. Dia masih sibuk dengan kan­vas-kanvas berisi lukisan. Lukisan masih belum sempurna di dalam gudang dengan kalimat tanyanya yang menggantung tanpa jawaban.

Kujinjing sebuah keranjang tempat sayur-mayur. Bumbu-bumbu dapur habis, sedangkan apa-apa harganya makin mahal saja. Belum lagi uang saku untuk anak-anak dan biaya sekolah me­reka. Terkadang aku merasa pu­tus asa ketika membagi uang penghasilanku dan Jack dalam beberapa amplop agar bisa cukup selama satu bulan.

Ibu-ibu sudah berkerumun mengelilingi warung Mbok Dar­mi. Saat aku tiba, hingga pan­tatnya Mbok Darmi tidak terlihat karena saking ramainya. Aku telah membuat daftar keperluan untuk beberapa hari ke depan begitu saja menyelusup masuk dan mulai memilah-milah. Seketika, kebisingan memasuki lubang telingaku. Ada si May­sah, ibu-ibu muda tukang pamer kehidupan pribadinya. Dia tak per­nah kehabisan bahan obrolan. Mulutnya yang tipis begitu ceri­wis menceritakan banyak hal. Ter­masuk perihal harga perhias­an.

Sempat mataku melirik dan menemukan sebuah gelang yang cukup besar di lengan kanannya. Membuatku sedikit sulit berna­pas dan kembali teringat kutukan dari ibu mertua. Sebelum dia ma­ti, rasanya mustahil bagiku me­miliki benda-benda mewah seperti milik Maysa.

Aku membenci ibu mertua. Seluruh musibah rasanya datang karena kutukan yang dia berikan. Aku tak paham mengapa dia tega mengutuk anaknya sendiri yang tak lain ialah suamiku. Dalam mimpinya, Jack selalu saja masih bocah. Suatu hari dia memimpi­kan Jack dengan wujud dan rupa yang telah dewasa. Hal yang tak pernah dia temui dalam mimpi sebelum-sebelumnya. Wajah Jack bercahaya saat itu dan ke­palanya ditutupi dengan sorban putih. Hanya saja, baru sebentar dia melihat Jack, semuanya men­dadak menjadi gelap.

“Kamu akan berhasil ketika ibu telah mati, Jack,” ujar ibu mer­tua, menjelaskan filosofi dari mimpinya itu beberapa bulan lalu. Penjelasan yang entah ba­gaimana terdengar seperti kutu­kan di telingaku.

Awalnya, aku menganggap per­kataannya itu hanya lelucon yang sama sekali tak lucu. Hanya saja, beberapa hari kemudian Jack di-PHK dari kantor. Keada­an perekonomian kami semakin sekarat. Gajiku sebagai penjaga toko part time tak seberapa, se­makin membuatku bingung. En­tah bagaimana aku harus mem­ba­ginya ke dalam beberapa am­plop.

Sehari-hari Jack hanya me­man­faatkan hobinya sebagai pe­lukis. Setiap gambar satu kepala hanya dijual seharga lima puluh ri­bu rupiah. Di Yogyakarta ini, se­niman-seniman lukis seperti Jack menjamur di mana-mana.

* * *

Kebencianku ternyata juga mendekam dalam sanubari sua­mi. Ini terdengar sedikit miris dan memprihatinkan. Dia mulai merasa terganggu terus dicera­ma­hi ini itu. Diarahkan seperti anak kecil, seakan dia tidak tahu mana yang baik untuk dia pilih dan ambil.

Hari ini, dia menolak menda­ta­ngi rumah ibu, padahal ibu su­dah berkali-kali menelpon agar kami berkunjung di hari Minggu. Ada sekarung beras hasil mema­nem yang ingin ibu bagikan pada kami. Sebenarnya, ibu masih sangat perhatian pada Jack, anak bungsunya. Jack yang memilah-milah makanan yang hendak di­santap. Tidak semua jenis ma­kanan bisa masuk ke dalam pe­rutnya. Lidahnya sangat pemilih jika sudah berkaitan soal rasa. Bahkan, dia tidak bisa menelan be­ras dengan harga murah jika pun itu tanpa dikunyah. Sayang­nya, perhatian-perhatian ibu ter­kadang berlebihan, yang justru membuat Jack merasa risih dan tertekan.

Aku tidak mau datang sendi­rian ke rumah ibu mertua. Dia selalu saja mampu menciptakan seonggok kesedihan tersendiri di relung hati. Tak jarang air ma­taku diam-diam tumpah mem­banjiri pipi karenanya. Dia yang dengan begitu tega menga­ta-ngatai Jack dengan kalimat­nya yang pedas hampir setiap kali kami datang menjenguknya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Tiga minggu lampau, Jack diban­ding-bandingkan dengan kakak laki-lakinya yang telah sukses. Punya rumah, mobil dan baru sa­ja membeli sebidang tanah. Kami, tempat tinggal saja masih mengontrak.

“Aku ingin kamu itu sukses, Jack. Seperti kakakmu. Berhen­tilah berhutang! Ibu heran, hu­tangmu ada di mana-mana, tapi kok tak ada hasilnya?” tanya ibu. Dia memang paling suka mem­bahas persoalan hutang keluarga kami saat berada di ru­mahnya. Seakan-akan tak ada to­pik lain yang lebih menarik untuk diperbincangkan.

“Hutang buat makan gimana ada hasil, Bu.” Jack berkata de­ngan nada yang sedikit ditekan, tanda tak suka.

“Makanya rajin beribadah, berdoa, biar rezekinya gampang. Itu surat tanah yang digadaikan  besok diambil saja. Penghasilan­mu habis hanya untuk membayar bunga”

“Diambil pake apa? Uang saja tidak punya. Nanti kalau saya mati baru itu uang gadai bisa lunas.”

Saat itu, pertengkaran mereka terdengar jelas dari dapur. Aku sedang membuat kopi. Rasanya ingin lari sambil berteriak. Entah bagaimana aku tidak pernah bisa melakukannya. Hatiku terasa tersayat-sayat mendengar per­teng­karan ibu dan anak tersebut. Ibu keras kepala dan bertindak semaunya dan anak yang tidak mau mengalah. Padahal, setiap­kali hendak pergi ke rumah ini aku selalu mewanti-wanti agar dia diam saja jika nanti ibu me­nasehati perihal apa pun. Meski, nasehatnya itu seringkali terde­ngar seperti perintah dan olok-olokkan. Olokan atas ketidak­mam­puan kami dalam meraih ke­suksesan yang seperti ibu ha­rapkan.

“Kamu kok ngomongnya be­gitu? Maksud ibu, hidup itu yang sederhana saja. Tidak perlu me­wah-mewah. Makan pakai sayur-mayur cukup, yang penting bisa menabung.”

“Bagaimana dengan biaya pen­didikan anak-anak? Apa me­reka juga harus berhenti sekolah agar kami bisa melunasi hutang, Bu?”

Suara Jack terdengar keras dan setengah membentak. Dada­ku terasa sesak mendapatkan ke­nyataan ini. Entah siapa yang ke­terlaluan. Ibunya yang terlalu ikut campur urusan keluarga ka­mi atau anaknya yang tidak mau mengalah. Adu mulut terus ber­lanjut, hingga akhirnya Jack me­ngajakku pulang saja. Ibunya masih mendebatnya panjang le­bar. Pada saat-saat seperti ini, se­suatu yang bersumber dari ma­taku menetes dan terasa hangat menyentuh pipi. Apa pun yang terjadi setiap kali kami berada di rumah ibu, jika hingga berming­gu-minggu kami tidak datang? Dia akan menelpon dan meminta kami menemuinya di hari Ming­gu seperti yang sudah-sudah.

Aku tidak ingin Jack menjadi anak durhaka. Karenanya, de­ngan sangat terpaksa akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke ru­mah ibu mertua sendirian. Mes­ki, setiap hari kutukan dari­nya masih terngiang-ngiang di telingaku. Keresahan begitu saja menguasaiku. Keyakinan yang entah datangnya dari mana me­ngatakan, semua hal buruk yang menimpa keluargaku. Hutang ka­mi semakin menumpuk ber­sum­ber dari kutukannya itu.

* * *

Rambut wanita tua itu hampir memutih seluruhnya. Wajahnya masih tampak segar dan tetap ayu. Kebanyakan orang berpikir, kecantikannya itu tak memudar karena susuk yang dikenakan­nya. Susuk yang membuatnya su­lit mati. Itu berarti keluargaku akan terus berada di dalam ke­miskinan dalam waktu yang be­gitu panjang. Sepertinya, dia se­dang menyambut kedatanganku. Duduk di atas kursi kayu yang me­manjang di halaman depan tanpa aktivitas apa pun. Seutas senyum kulempar ke arahnya, tapi tak terbalas. Matanya justru menatap ke arah lain.

“Ibu, aku datang,” ujarku akhirnya memutuskan untuk me­nyapa. Kupikir, dia tidak menya­dari keberadaanku karena peng­li­hatannya yang mulai buram. Ke­marin, dia memesan obat tetes mata. Selalu begitu ketika obat tetesnya habis. Kepadakulah dia pasti akan meminta.

“Diah, apa itu kamu? Mata ibu rasanya semakin rabun saja.” Ibu mengucek matanya perlahan. Saat itu, aku diam-diam menahan senyum yang begitu ganjil dan tak kumengerti maknanya. Ada ke­bahagiaan tersendiri yang me­nyelusup dadaku ketika berbagai penyakit menyerang tubuhnya. Dengan begitu, aku berharap su­suk yang berada dalam tubuhnya akan menyerah dan membiarkan pemiliknya menjadi lemah dan mati pelan-pelan.

Ibu bangkit dari duduk. Berja­lan ke dalam rumah. Kakiku ber­gerak di belakangnya, mengiku­ti. Kuletakkan bawaan makanan yang kubeli di jalan tadi ke atas meja makan. Ada sekilo buah je­ruk dan beberapa biji apel me­rah kesukaan ibu. Menyadari apa yang kukeluarkan dari tas kresek, ibu begitu saja menghampiri. Di­ambilnya sebuah apel dan diba­wa ke ruang belakang.

Dia mengambil sebotol air putih dingin dari dalam kulkas dan menenggaknya beberapa kali. Aku menyusul ibu. Kuambil sebutir apel yang hendak aku cu­ci. Betapa aku terkejut ketika menemukan tubuh ibu yang ter­geletak di lantai. Sebuah apel me­rah menggelinding tak jauh darinya. Kupikir, dia tersandung kursi kecil berwarna hijau yang kini tengkurap dan berada tak jauh dari kaki kirinya. Terlihat betapa banyak darah yang ke luar dari pelipis kiri. Masih tak kumengerti bagaimana hal itu bi­sa terjadi. Dia merintih pelan, napasnya tersengal.

“Panggilkan ibu dokter, Di­ah,” ujarnya terdengar begitu le­mah.

Wajahnya yang kini mulai me­mucat membuatku berjalan mu­dur. Tergesa-gesa aku kem­ba­li ke ruang makan setelah menutup pintu menuju ruang belakang. Dengan tenang, aku du­duk di depan meja di mana je­ruk dan apel merah berada. Ku­ambil sebutir jeruk dan kuku­pas perlahan. Dalam kunyahan sesiung jeruk yang terasa manis di lidahku. Ada sebuah harapan yang terus kuaminkan: semoga ajal akan segera menemui ibu. Dengan begitu kesuksesan akan segera menyapa kehidupan su­amiku.

()

Baca Juga

Rekomendasi