Film:

Mendorong Benci pada Korupsi

Oleh: Hidayat Banjar

Korupsi masih saja me­warnai negeri ini. Mengutip konsep segitiga kejahatan dari kri­minolog Donald Ray Cressey, koruptor bertindak karena dia pu­nya motivasi, kesempatan dan ra­sionalisasi. Hukuman yang ri­ngan diasumsikan sebagai pe­nguat motivasi berkorupsi ria. Ada kesempatan, dira­sionalisa­si­kan antara lama di penjara de­ngan jumlah uang yang didapat, maka berkorupsilah mereka.

Seiring dengan riuhnya per­sidangan korupsi KTP Elektro­nik (KTP-ep) keriuhan upaya pe­lemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun seakan tak kunjung surut. Sebagai kompo­nen bangsa, kita tak pantas me­ngabaikan bahaya laten korupsi. Melalui film mari kita dorong ke­bencian kepada korupsi yang telah membuat wajah Indonesia carut-marut.

Menurut Aradila Caesar If­maini Idris, Peneliti Hukum In­donesia Corruption Watch (Kom­­pas, Sabtu, 18 Maret 2017, halaman 6). Pengadilan tipikor setengah hati menjutuhkan hu­kum kepada terdakwa. Dalam penelitian Tren Vonis Pengadi­lan Tipikor Tahun 2016 Indone­sia Corruption Watch (ICW) men­catat 448 terdakwa kasus korupsi. Divonis ringan (pidana penjara satu tahun hingga empat tahun) oleh pengadilan tipikor. Kondisi ini tidak mengalami per­ubahan selama lebih dari empat tahun.

Menurut Aradila pengadilan tipikor tidak berpihak terhadap gerakan perang melawan korupsi yang terstruktur di Indonesia. Sudahkan film mengambil peran itu? Sejatinya, film -baik pro­duksi luar maupun dalam negeri- sejak lama berperan dalam gerakan perang melawan korupsi ini.

Ilustrasi

Salah satu film tentang ko­rup­si yang menyejarah itu adalah The Untouchable (1987). M Su­bhan SD dalam Kolom Politik (Kompas, Sabtu, 18 Maret 2017, halaman 2). Menjadikan film ini sebagai ilustrasi tulisannya yang meng­gam­barkan kondisi mega­ko­rupsi di Indonesia. Pemberan­tasan korupsi memerlukan kebe­ranian. Untuk itu Subhan mengi­sahkan tentang Eliot Ness (1903-1957) yang tak punya rasa takut. Nyalinya sekuat baja. Tiada gen­tar sama sekali menghadapi Al Capone (1899-19470) gembong mafia paling ditakuti di Chicago, Amerika Serkat, sepanjang deka­de 1920 hingga paruh awal 1030-an.

Di bawah ancaman dan teror, Ness bersama timnya justru me­ngirim Al Capone meringkuk ke jeruji penjara selama 11 tahun. Termasuk penjara Alcatraz. Ness bersama 10 koleganya ada­lah penegak hukum anti-suap yang bersih. Tak tersentuh teka­nan kekuasaan dan uang sogo­kan.

Film berikutnya adalah Trash asal Brazil yang disutradarai oleh Stephen Daldy. Diangkat dari no­vel tulisan Andy Mulliga dan dibintangi oleh aktris muda ber­bakat di Hollywood, Ropney Ma­ra.

Berawal ketika Raphael (Rick­son Tevez) menemukan se­buah dompet di pusat pembua­ngan sampah. Isinya benda ber­harga yang bisa menjadi bukti untuk menjatuhkan seorang po­litikus berpengaruh di kotanya.

Raphael dibantu temannya Gardo (Eduardo Luis) dan Rato (Gabriel Weinstein). Mereka me­ngungkap konspirasi licik po­litikus bernama Antonio Santos (Stepan Nercessian) yang juga menjadi calon wali kota. Mereka dikejar oleh polisi korup berna­ma Frederico (Selton Mello) yang dibayar oleh Santos untuk menemukan bukti tersebut.

Dari petualangan menghada­pi ke­matian, Rapahel, Gardo dan Rat berusaha berlari dari petugas yang mengejar mereka. Pada akhirnya mereka mengungkap­kan korupsi yang dilakukan San­tos dan beberapa bawahannya, termasuk Frederico.

Di Indonesia

Film gerakan antikorupsi pernah ditampilkan dalam ke­giatan internal ICW beberapa waktu lalu. Ini merupakan gam­baran yang kurang lebih sama dengan kondisi korupsi di Indo­ne­sia. Di Brazil -tak jauh beda dengan Indonesia- pelaku korup­sinya bukan hanya politikus te­tapi juga aparat penegak hukum (polisi).

Di Indonesia, tak sedikit film diproduksi dengan tema korupsi. Lamaran (2015) mengisahkan tentang Karir Tiar Sarigar, pe­ngacara muda ambisius asal Ba­tak. Namanya tiba-tiba melejit ber­kat keberaniannya membela Basuki untuk kasus korupsi yang melibatkan Arif Rupawan, bos mafia. Gara-gara liputan media, Tiar menjadi terkenal dan mem­buatnya menjadi sasaran anca­man pembunuhan dari Arif yang takut Tiar akan membongkar ke­terlibatannya. Muncul untuk me­lindungi Tiar, dua super agent Ari dan Sasha.

Film-film tentang korupsi la­innya: Sebelum Pagi Terulang Kem­bali (2014), The Raid 2: Be­randal (2014), Sang Martir (20­12), Kita Versus Korupsi (2012), Lewat Djam Malam (1954), Daerah Hilang (1956). Masih banyak film mengisahkan ten­tang perilaku korupsi di Indone­sia yang dilakukan oleh pejabat besar maupun sekelas lurah.

Film korupsi yang lebih anyar adalah Pacarku Anak Koruptor, diputar di bioskop-bioskop selu­ruh Indonesia sejak 4 Mei 2016 lalu. Film ini mengambil kisah percintaan antara Sayanda (Jes­sica Mila) aktivis anti korupsi, dan Gerhana (Sabda Ahessa). Merupakan anak koruptor Ma­rukh Bangetan (Ray Sahetapy). Film ini mendekonstruksi pan­dangan terhadap sosok keluarga koruptor yang selama ini diang­gap sama buruknya dengan ayah atau ibunya yang korup.

Anak koruptor juga bisa he­bat, berani melawan orangtuanya yang korup. Marukh digambar­kan sebagai sosok koruptor yang ingin melemahkan KPK melalui revisi Undang-Undang KPK di DPR. Marukh beraksi lewat kom­pradornya di DPR, menga­tur lewat aliran dana-dana suap. Tujuannya agar KPK tak punya daya melawan koruptor.

Realitas

Dengan latar belakang itu, film ini dalam kadar tertentu merepresentasikan “realitas” pe­lemahan KPK yang tengah ter­jadi di Indonesia. Lantas, bagai­mana pengaruhnya terhadap pe­rang melawan korupsi?

Penggunaan film, baik fiksi maupun nonfiksi, semacam film dokumenter untuk menyampai­kan pesan politik, bukan sesuatu yang baru. Peter Dahlgren dalam Media and Political Engagement (2009) menggunakan istilah ke­wargaan kultural. Istilah untuk men­jelaskan tautan antara film yang menawarkan estetika visual sebagai produk budaya populer dan konten politik.

Dahlgren punya optimisme, budaya populer yang mudah me­narik perhatian massa. Bisa ber­fungsi sebagai pemersiap sese­orang untuk berpartisipasi di ra­nah publik. Semisal berpartisi­pasi dalam diskusi atau bahkan terlibat dalam aktivisme dengan topik yang diusung oleh produk budaya populer itu. Beberapa literatur mengenai studi pemirsa media visual menyebut dampak itu bisa ditimbulkan dari adegan-adegan memunculkan perasaan tertentu.

Tomkins (1998), seperti diku­tip Anna Gibbs dalam Affect Theory and Audience (2011). Membagi perasaan itu ke dalam be­berapa kategori, antara lain pe­rasaan positif semacam ke­gem­biraan, atau perasaan negatif semacam rasa takut, kemarahan, malu, dan jijik.

Perasaan negatif yang ditim­bulkan dari menyaksikan film itu, dinilai oleh beberapa peneliti, punya potensi mendorong pe­mirsa berbuat sesuatu. Ma­sya­rakat harus sudah menyadari bu­ruk­nya laku korup. Lantas me­ra­sa malu dan benci pada ko­rupsi, maka tugas KPK mence­gah korupsi akan menjadi lebih ringan.

Masyarakat harus sudah sadar korupsi merupakan hal buruk, tak terpuji, dan memalukan. Maka koruptor setidaknya kehi­langan justifikasi. Hingga korup­si merupakan hal yang tidak lumrah terjadi di masyarakat. Semoga saja.

Penulis; Pencinta Film

()

Baca Juga

Rekomendasi