Ceng Beng, Tradisi Sembahyang untuk Leluhur

Oleh: Amirul Khair

JAM menunjukkan pukul 08.00 WIB, Minggu (26/3) pagi. Matahari meman­carkan cahayanya. Menyengat permukaan kulit membuat pori-pori mengeluarkan keringat yang membuat badan gerah. Seratusan mobil berjajar antre menyusun barisan.

Sekira seribuan warga Tionghoa berjejal memenuhi areal perkuburan di Dusun I Desa Pantaicermin kiri, Kecamatan Pantaicermin, Kabupaten Serdangbedagai (Sergai). Mereka larut dalam satu tradisi yang masyhur disebut dengan Ceng Beng.

Tradisi turun-menurun dilakukan sejak ribuan tahun silam. Ceng Beng juga dipahami sebagai tradisi sembahyang untuk leluhur agar mendapatkan kebaikan.

Dari seribuan warga Tionghoa yang melakukan Ceng Beng di areal perkuburan Desa Pantaicermin Kiri itu, terlihat di antaranya Meryanto alias Asom yang duduk menjabat sebagai anggota DPRD Sergai dari Fraksi Golkar bersama keluarga besarnya.

Ayahnya Lau Bun Ciok, abang kandung­nya Lau Kim An alias Musa, dua anaknya serta paman dan anggota keluarga lainnya tampak khidmat melakukan sembahyang bersama. Tradisi sembahyang leluhur itu ternyata menjadi tradisi pula dalam keluarga besarnya Marga Lu setiap kali momentum Ceng Beng tiba.

“Ini sudah tradisi sejak lama di keluarga besar kami Marga Lu. Kami selalu sembayang leluhur bersama dengan keluarga setiap kali Ceng Beng,” ujarnya.

Tradisi sembahyang leluhur yang dilakukan bersama keluarga besar juga bagian dari untuk saling mengingatkan pentingnya untuk melakukan ritual itu. Apalagi membawa anak-anak agar kelak mereka tidak melupakan leluhur sekaligus menanamkan nilai-nilai kebaikan terhadap diri agar mereka tidak menjadi sombong.

Tradisi Ceng Beng atau sembahyang untuk leluhur diketahui Asom yakni berziarah dan berdoa di kubur leluhur agar mendapatkan kebaikan. Perayaan dilakukan untuk mengingat dan menghormati leluhur nenek moyang.

Setiap orang berdoa di depan kuburan leluhur mereka, menyapu pusara dan bersembahyang dengan makanan, teh, arak, dupa, kertas sembahyang dan berbagai aksesoris, sebagai persembahan kepada leluhur atau nenek moyang.

Sembanyang leluhur itu tidak saja dilakukan warga Tionghoa sekitar Keca­matan Pantaicermin. Warga lainnya dari luar daerah seperti, Kota Medan, Tebing­tinggi dan lainnya melakukan tradisi serupa. Sebuah tradisi untuk kebaikan agar mendapatkan kebaikan dari wujud cinta kepada leluhur.

Wisata Religius

Menurut Meryanto, Ceng Beng atau tradisi sembahyang leluhur tidak saja menjadi sekadar ritual rutin setiap tahun. Sisi lain dari fenomena Ceng Beng tahun ke tahun, ternyata memiliki sisi unik lainnya yang dapat dijadikan sebagai wisata religius dan dapat pula menjadi kalender pariwisata tahunan khususnya di Kabupaten Serdang­bedagai.

“Saya melihat ini menjadi sebuah pemandangan wisata religius. Fenomena yang menyedot perhatian warga ini kalau kreatif bisa kita ramu menjadi salah satu kalender wisata tahunan,” ungkap Asom. Menurutnya, Fenomena Ceng Beng bila ditata dan dimanfaatkan juga berdampak positif terhadap sektor perekonomian masyarakat sekitar sekaligus bisa menjadi salah satu objek pemasukan bagi Penda­patan Asli Daerah (PAD)

“Kalau ditata, keramaian dari peziarah yang datang juga bisa membantu ekonomi masyarakat sekitar sini. Bisa juga untuk pemasukan PAD daerah kita. Makanya, saya bilang kalau sudah masuk kalender wisata tahunan, saya kira bisa meningkatkan ekonomi masyarakat di sini,” jelasnya.

Supryadi, anggota Badan Permu­syawaratan Desa (BPD) Pantaicermin Kiri menuturkan, prosesi Ceng Beng setiap tahunnya selalu ramai didatangi peziarah. Kawasan itu menjadi ramai sehingga selalu menyebabkan lintasan jalan macet karena areal parkir tidak memadai.

Bahkan katanya, areal pekuburan warga Tionghoa itu sudah mulai didatangi peziarah yang akan melakukan sembayang ritual sejak pukul 05.00 WIB subuh dan mulai padat sekira pukul 08.00 WIB. 

“Setiap tahun ramai dikunjungi peziarah yang sembahyang. Banyak juga masyarakat yang kecipratan rezeki kalau peziarahnya ramai,” jelasnya.

()

Baca Juga

Rekomendasi