Oleh: Sita Herman
RIANTO Lee namanya, lebih tua lima tahun dariku dan berdomisili di ibukota. Ia adalah salah satu nama pria yang bertengger di daftar pertemananku di medsos. Juga nama yang pernah mengisi kekosongan hatiku.
Aku mengenalnya di dunia maya sekitar tujuh tahun lalu. Saat itu aku belum tahu dia adalah Rianto Lee, karena kala itu menggunakan nama palsu.
Menurut pengakuannya, saat awal-awal memiliki akun fb, ia menambah pertemanan dengan beberapa orang termasuk aku. Setelah ia mengganti nama akunnya dengan nama asli, barulah aku mulai mengenalnya.
Saat itu hubungan kami hanya sebatas teman dunia maya biasa. Kadang aku me-like posting-annya, demikian juga dengan dirinya. Kadang aku mengomentari posting-annya. Namun tak pernah sekali pun kami bertegur sapa di inbox.
Awal keakraban kami bermula tahun lalu, saat aku diajak bergabung oleh ketua sebuah grup di fb, tempat ia menjadi salah satu adminnya.
Aku sering berkomentar yang lucu-lucu di grup tersebut. Kadang ia juga suka menertawakan kekonyolanku saat aku mem-posting humor di grup. Dari sanalah kami mulai sering berinteraksi walau hanya melalui komentar dan canda di grup.
Suatu hari bertepatan di hari ulang tahunnya, aku bermaksud mengirimkan ucapan selamat ulang tahun di dinding akunnya. Namun dinding akunnya telah disembunyikannya dari publik, sehingga mau tak mau aku mengirimkan ucapan itu via inbox. Dari inbox tersebut, bergulirlah percakapan sebatas basa-basi seputar teman-teman fb yang lain, karena kebetulan kami memiliki beberapa teman yang sama.
Entah bagaimana, akhirnya kami jadi sering mengirim kabar. Percakapan demi percakapan terus bergulir sampai dengan membahas tentang hal-hal pribadi. Aku merasakan benih-benih cinta mulai tumbuh seiring berjalannya waktu dan semakin sering kami inbox-an.
Walau hanya mengenalnya via dunia maya dan kadang-kadang mendengar suaranya dari telepon, entah mengapa hati ini selalu berdegup kencang dan timbul rasa nyaman bila aku mengobrol dengannya.
Kadang kami mengobrol sampai lewat tengah malam. Bila ia menanyakan, “Apakah kamu sudah mengantuk?” Aku pasti akan menjawab, “Belum.” Padahal sebenarnya aku sudah mengantuk. Sengaja aku menjawab seperti itu agar bisa lanjut mengobrol dengannya.
Bagiku ia pria yang sopan, baik, dan tentu saja ganteng. Hehe..., ia enak diajak ngobrol dan nyambung. Kadang-kadang ia juga memberikan solusi atas masalahku. Namun sayang, pria pujaan hatiku itu telah menikah dan memiliki seorang putri yang beranjak remaja.
“Ren, sebaiknya kamu kurangi interaksi dengannya. Yang kamu rasakan sekarang ini hanyalah cinta semu. Kamu takkan pernah bisa mendapatkan dirinya. Ingat Ren, dia itu suami orang. Jika suatu saat istrinya menangkap basah dia sedang BBM-an denganmu, di tengah malam dan mereka bertengkar, bukankah kamu pemicunya? Kamu sendiri yang bilang, kalau tidak BBM dia, dia juga tidak BBM kamu 'kan? Jadi untuk apa kamu begitu bodoh asyik memikirkannya? Kamu hanya buang-buang waktu dan melakukan hal yang sia-sia,” ceramah Betty, sahabatku, saat kuceritakan padanya tentang pangeran berkuda putihku itu.
Betty menyambung lagi, ”Makin sering kamu berhubungan dengannya, maka rasa sukamu padanya pasti bisa makin mendalam. Yang ada, kamu akhirnya makin sakit, sebab kamu makin mencintainya namun tak mampu memilikinya. Kamu mau menjadi orang seperti itu? Kamu cantik, pintar, kurang apa lagi? Masa hanya gara-gara cowok dunia maya yang bahkan belum pernah kamu jumpai di dunia nyata, kamu sampai asyik galau dan baper seperti ini?”
Sebenarnya diam-diam aku membenarkan juga yang dikatakan Betty. Namun entah logika mengalahkan perasaan, atau perasaan mengalahkan logika, aku pun sudah tak mampu membedakannya lagi. Yang pasti aku tetap saja masih sering berhubungan dengannya.
Seiring waktu bergulir, aku mulai merasakan kebenaran yang dikatakan Betty. Aku jadi sering melamun. Pekerjaanku kadang juga terbengkalai. Aku seperti orang bodoh yang acapkali mencek ponsel, apakah inbox-ku sudah dibalasnya. Sering-sering mengintip akun fb hanya sekadar ingin tahu apakah ia mem-posting status atau mengganti foto profil.
“Benar, untuk apa lagi aku berharap pada cinta yang tak pernah dapat kumiliki? Untuk apa aku bertindak bodoh seperti ini, sementara dia saja tenang-tenang di sana? Yup, benar kata Betty, Rianto hanya kukenal di dunia maya. Ia juga telah berkeluarga. Bahkan sifat aslinya juga tak kuketahui,” bisik batinku.
Namun walau aku sudah sadar dengan yang telah terjadi, tetap saja aku belum mampu menahan diri untuk tak lagi menghubungi Rianto.
Sambil tiduran menatap dinding kamar, terngiang lagi nasihat dari Betty, “Aku ini sahabatmu, Ren. Kalau kamu salah, pasti kutegur. Kalau kamu bukan sahabatku, untuk apa aku peduli? Kamu mau rebut suami orang kek, mau kejar dia sampai Jakarta kek, emang kupikir! Lebih cepat kamu lepaskan dia, lebih bagus. Supaya kamu nggak uring-uringan terus seperti ini!”
“Tapi bagaimana caranya aku lepaskan dia, Bet? Aku sudah telanjur nyaman bila ngobrol dengannya,” aku memelas.
“Itulah, dari awal kamu sudah salah, Ren. Di mana-mana itu yang namanya chat atau curhat dengan lawan jenis, ujung-ujungnya pasti bisa timbul rasa suka. Karena sekarang sudah telanjur, kamu cukup bayangkan saja bila kamu ada di posisi istrinya, bagaimana perasaanmu saat mengetahui suami sedang BBM-an dengan cewek lain di tengah malam buta? Kamu memang tak kenal istrinya tapi kalian sama-sama wanita. Mestinya kamu bisa memahami perasaan sesama wanita. Apa itu memang tujuanmu untuk menyakiti hati istrinya? Lagipula apa yang kamu dapat dari cinta semu dunia maya? Mending kamu fokus di dunia nyata. Cari cowok di dunia nyata. Ini? Galau gara-gara suami orang lain!”
Mendengar ucapan Betty, ingatanku melayang saat aku meminta Rianto mengirimkan foto istri dan putrinya kepadaku. Awalnya ia beralasan di ponselnya tak tersimpan foto yang kumaksudkan. Namun ia berjanji akan mengirimkannya.
Ternyata janjinya ditepati. Ia mengirimkan tiga lembar foto beberapa hari sesudahnya. Selembar adalah foto putrinya. Selembar lagi fotonya berdua dengan istrinya dan sisanya foto istrinya seorang diri.
Kuamati wajah istrinya, imut dan manis. Demikian juga dengan putrinya yang saat tersenyum akan terlihat lesung pipi. Wajah istrinya yang polos, manis, dan alami tanpa polesan kosmetik serta foto putrinya yang memamerkan lesung pipinya membuatku diam-diam merasa bersalah atas yang telah kulakukan selama ini.
Apalagi saat melihat foto Rianto berdua dengan istrinya, ia melingkarkan lengannya ke bahu istrinya. Mereka terlihat begitu serasi. Betapa jahatnya aku yang hanya memikirkan keegoisanku semata tanpa menghiraukan kebahagiaan orang lain. Aku hampir saja merusak kebahagiaan keluarga kecil itu dan juga hampir saja merusak rumah tangga orang lain.
Tekadku sudah bulat untuk menjauh darinya. Walau seribu nasihat kuterima namun sia-sia saja bila keinginan untuk menjauh bukan muncul dari hatiku sendiri.
Sudah dua minggu aku berhasil menahan keinginanku untuk menghubunginya. Aku berusaha menyibukkan diri dengan hal-hal yang lebih bermanfaat dan berusaha sedikit demi sedikit mengurangi aktivitasku di dunia maya. Aku yakin suatu saat nanti aku pasti mampu melepaskannya.
Rianto Lee. Nama itu masih tetap tercantum di daftar pertemananku. Aku tak sanggup menghapus pertemanan dengannya. Namun aku sudah berhenti mengikuti semua pemberitahuan dari akunnya. Jadi aku takkan lagi bisa mengetahui bila ia mengganti foto profil atau mem-posting status, kecuali aku mengetikkan namanya. Tapi aku sudah bertekad untuk belajar menguatkan hati untuk tak lagi mencari tahu tentang dirinya.
Aku juga sudah berhenti mengikuti grup, tempat ia menjadi admin tanpa harus meninggalkan grup. Akun BBM-ku juga telah kuatur agar aku tak bisa lagi melihat kegiatannya di BBM.
Rianto, maafkan aku bila tak lagi terdengar sapa dan kabarku. Bukan aku melupakanmu. Namun aku hanya sedang berusaha menata hati untuk dapat menerima kenyataan bahwa aku bukanlah siapa-siapa bagimu.
Aku sadar cinta tak harus memiliki. Kulakukan ini juga demi kebaikan bersama. Terima kasih atas pertemanan kita selama ini. Terima kasih atas segala nasihat dan kebaikanmu. Terima kasih atas segalanya....
Semoga dirimu selalu diberkahi keharmonisan dan kebahagiaan bersama-sama dengan keluarga kecilmu. Di dalam diamku, aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.
* 12.01.17