Meruwat Budaya Minum Teh

Oleh: J Anto

BAGI masyarakat Tionghoa, minum teh lebih dari sekadar cara menghilangkan haus. Menyeduh dan menghidangkan teh juga sebuah ritual budaya. Simbol rasa hormat kepada yang lebih tua, ekspresi rasa terimakasih terhadap mereka yang membesarkan, bahkan media permintaan maaf anak yang berbuat salah kepada orangtua.

Namun budaya minum teh yang telah berusia ribuan tahun itu kini mulai diting­galkan masyarakat. Usaha untuk meruwat budaya itu ibarat menegakkan seutas benang basah.

Tangan kiri Endar Hadi Purwanto alias Zhong Yong En (52), sigap mengangkat teko stainless dari tempat pemanas air elektronik. Air panas itu lalu ia tuang merata ke atas permukaan sebuah teko tembikar yang mampu menampung air 200 - 300 cc. Teko itu sebelumnya telah diisi seperempat teh hitam yang berasal dari Yunan, Tiong­kok Barat Daya. Setelah itu tangan kanan Endar membuka tutup teko, mengisinya sampai penuh lalu menutupnya.

Dalam hitungan 40 detik, teko yang telah berisi air teh itu ia tuangkan ke sebuah gelas kaca yang di atasnya telah ditaruh sebuah penyaring. Saat menuangkan air teh, posisi tangan Endar miring hampir 90 derajat. Mulut teko ia goyang-goyang, memastikan agar tidak ada setetes pun yang tersisa di teko.

Air teh seduhan pertama itu berwarna coklat. Ia lalu menuangkan ke 4 buah cawan yang terletak di nampan, kemudian menyi­lakan kami untuk menyeruputnya.

Tegukkan pertama membuat ujung lidah terasa pahit, sehingga membuat lidah berkecap-kecap merangsang keluarnya cairan enzim limpa. Beberapa menit setelah isi cawan pun tandas, ia kembali menu­angkan air panas ke dalam teko yang berisi teh. Setelah dipindahkan kembali ke gelas penyaring, air teh berubah menjadi coklat maron. Pada seduhan ketiga, air teh berwarna hitam seperti warna minuman bersoda terkenal.

"Kalau teh asli memang begitu, pada seduhan ketiga justru makin hitam warna­nya, berbeda dengan teh celup," katanya.

Meluruskan Mitos

Mengaku lebih suka disebut penikmat teh, Endar sudah lebih 20 tahun mengon­sumsi minuman yang diseduh dari daun tanaman yang punya nama Latin camellia sinensis itu. Ia bersyukur sampai usia ke-52, tubuhnya masih bugar. Endar fasih menceritakan zat-zat yang terkandung dalam teh, perannya dalam menjaga keseimbangan metabolisme tubuh, jenis-jenis teh dan tentu saja cara menyeduh dan menyajikan teh. Bapak tiga anak ini juga fasih meluruskan berbagai mitos keliru terhadap minuman teh.

Bersama Medan Tea Club, komunitas penikmat teh yang ia dirikan 1999, ia dikenal gigih menyosialisasikan cara menyeduh dan menyajikan teh yang benar. Tanpa memiliki dua pengetahuan itu secara memadai, minum teh bisa jadi sia-sia.

“Saat ini, yang banyak dilakukan orang bukan menyeduh teh, tapi merendam teh,” tuturnya. Ada juga anggapan, semakin lama teh direndam, semakin baik karena warna air teh jadi makin coklat. Kalau air teh tidak coklat, bukan teh namanya. Anggapan seperti itu adalah kekeliruan besar. 

Merendam teh terlalu lama, justru mendorong keluarnya getah tanin dari tulang-tulang daun teh. Getah ini jika dikonsumsi dalam jumlah besar justru menyebabkan proses penyerapan makanan terhambat dan memaksa ginjal bekerja lebih keras. Namun, zat ini jika keluar proporsional maka akan menjadi anti septik bagi tubuh manusia.

Teh tak butuh waktu lama untuk meren­dam, cukup beberapa detik saja. Gunanya  untuk menghindari keluarnya getah itu. Menyedu teh dalam waktu singkat, juga mendorong keluarnya katekin atau super oksidan yang terdapat di daun teh. Katekin jika dikonsumsi secara rutin akan memberi­kan efek proteksi terhadap metabolisme tubuh.

Tradisi Lama

Selain cara menyeduh yang benar, agar minum teh memberi manfaat bagi kese­hatan tubuh, juga harus disertai teknik meminum yang benar. Air teh sebaiknya disajikan dalam sebuah cawan kecil, bukan gelas besar. Tujuannya agar air teh tak langsung habis dalam sekali atau dua kali teguk seperti dilakukan orang selama ini.

Memakai cawan kecil, membuat orang yang nge-teh bisa puluhan kali mencecap air teh. Setiap mencecap itulah keluar enzim limpa yang akan terbawa merata ke seluruh tubuh.  Nah, sebelum diteguk, cawan juga sebaiknya diayunkan lebih dulu dekat ujung hidung. Cara mengayun dengan gerakan mengikuti bandul jam. Lalu hirup aroma teh yang masih mengepul itu, baru direguk. Harum dari daun teh, merangsang saraf jadi rileks.

Nge-teh itu bukan sekadar untuk mengatasi rasa haus, tapi juga relaksasi, karena itu butuh juga seni minumnya,” tambah Endar. Tradisi minum teh di kalangan masyarakat Tionghoa menurut pemilik kedai Ho Teh Tiam atau Kedai Teh Baik, tergolong tradisi yang cukup tua. Sampai hari ini, di Tiongkok kedai-kedai minuman hanya menyajikan dua macam minuman, teh dan arak. Lukisan atau ornamen yang menghiasi kedai biasanya berupa foto atau gambar pria dan wanita tua, tidak yang muda.

Dalam filosofi masyarakat Tionghoa, sehat dan umur panjang merupakan damba­an tiap orang. Karena itu, di kalangan penikmat teh ada sebuah ujaran, ba shi bu suan lao, jiu shi gang gang hao, yi bai bu de liao (umur delapan puluh tahun belum tua, umur embilan puluh tahun biasa, umur seratus tahun luar biasa).

Mengutip Frena Bloomfield, dalam bukunya The Book of Chinese Beliefs yang telah diterjemahkan Chinese Beliefs Menda­lami Pola-pola Berfikir Orang Cina (2010), tradisi minum teh mulai dikenal di Tiong­kok sejak zaman Kaisar Shen Nong, berkuasa ribuan tahun silam. Dikisahkan, suatu hari sang kaisar sedang duduk di kebun sembari menjerang air panas. Saat angin bertiup, berapa daun kering jatuh dari pohon dan masuk ke dalam air yang sedang mendidih itu. Sesaat kemudian muncul aroma harum dari air mendidih itu. Karena tertarik, Kaisar menghirup sedikit airnya. Kaisar langsung merasakan manfaat dari air rebusan teh itu. Kaisar lalu meng­umum­kan persetujuan minum the untuk pertama kalinya.

Dewa Teh

Di Tiongkok, awalnya teh lebih diguna­kan sebagai jamu untuk kesehatan. Orang belum meminum teh untuk mengatasi haus. Saat teh sudah bisa diseduh, penikmatya juga terbatas di kalangan kaum bangsawan. Dalam perkembangan setelah teh bisa difermen­tasi, dikeringkan, dan dipres berbentuk balok atau bundar, teh lalu mulai jadi minuman masyarakat.

Adalah Lu Yu (733-904), yang diberi gelar “Dewa Teh”, yang dianggap sebagai orang yang memberi sumbangsih luar biasa terhadap perkembangan industri teh di Tiongkok maupun di dunia. Lu Yu lahir di Jiangling (kini dikenal Tianmen, Hubei, Tiongkok) di Fuzhou pada masa Kerajaan Tang. Sepanjang hidupnya, Lu Yu senan­tiasa menikmati teh, ia menga­mati pola-pola pertumbuhan teh dan mempelajari para petani teh mengelola dan menganalisis daun teh.

Sebagai penulis kitab Intisari Teh, Lu Yu menulis dalam tiga gulungan yang berisi lebih dari tujuh  ribu perkataan, menjelas­kan pelbagai jenis tanaman teh, cara mengolahnya menjadi minuman, cara menghidangkannya, serta cara membudi­dayakan tanaman tersebut. Buku Kitab tentang teh, Cha Jing karya Lu Yu, terbit tahun 780 (Chan Ying Kit: 2016).

Sebagai penghargaan terhadap jasanya, patung Lu Yu banyak dipajang di sejumlah kedai teh di Tiongkok, tak terkecuali di kedai milik Endar. Di ruang tengah kedai itu, terpajang patung Lu Yu tengah duduk di atas pohon teh memegang kitab Cha Jing (Intisari Teh).

Menegakkan Benang Basah

Sekalipun teh adalah minuman paling popular di kalangan masyarakat Tionghoa di Tiongkok, namun seiring perjalanan waktu, tradisi minum teh mulai dilupakan sebagian orang Tionghoa, terutama yang tinggal di luar Tiongkok. Saat ini tradisi minum teh telah banyak digantikan mi­numan bersoda, coklat atau kopi. Tren seperti ini bisa diamati dengan menja­murnya gerai kuliner di sejumlah plaza atau daerah wisata kuliner.

“Berat usaha untuk melestarikan tradisi minum teh ini. Apalagi menyadarkan mereka yang masih muda-muda. Tapi apa pun ceritanya harus kita lakukan. Soalnya ini tradisi yang baik,” ujar Ketua Komunitas Medan Tea Club (MTC), Ali Sutopo (69). Menurutnya, MTC sudah tiga kali menga­dakan lomba menyeduh dan menyajikan teh. Ia berharap hal tersebut bisa dilakukan lagi agar tradisi itu tidak semakin pudar dalam memori masyarakat Tionghoa Medan.

“Perjuangannya memang seperti mene­gakkan seutas benang basah,” tambah Endar Hadi Purwanto. Berat memang, tapi harus dilakukan. Alasannya, tradisi menyeduh dan menyajikan teh bukan sekadar bagus untuk kesehatan tubuh, tapi juga mengan­dung banyak kearifan nilai yang berguna untuk pembentukkan karakter masyarakat.

Lukisan terbuat dari daun teh

Poci teh terbuat dari tanah liat

Patung pembuat teh

Patung si Dewa Teh Lu Yu

Poci tanah liat dan keramik

Analisa/khairil umri

()

Baca Juga

Rekomendasi