Realitas Hukum dan Perkembangan Sosial

Oleh: Muhammad Syukri Albani Nasution

PROBLEM terbesar hukum sampai saat ini ialah tingkat kepa­tuhan hukum. Pilihan masyarakat dalam mematuhi hukum menjadi kondisi yang dilema, mengingat, kepatuhan terhadap hu­­kum bukan hanya disandarkan pada pakar-pakar dan ilmu­wan, kepatuhan hukum harus mengikat pada seluruh manusia dalam setiap lapisan.

Kesenjangan kepentingan menjadi pro­blem dua sisi. Peme­rintah sebagai penjalan ama­nat undang-undang dan peraturan menganggap masyarakat tidak memiliki kepatuhan yang ab­solut, sehingga kepatuhan terhadap hukum masih sering ber­main pada ruang kepentingan (utilitarian). Di sisi lain, ma­syarakat juga menganggap hukum dan kebijakan pemerintah sebagai bagian dari hukum sering tidak memihak kepentingan masyarakat. Hal inilah yang membuat kepentingan terhadap hukum menjadi sangat fungsional.

Hukum pada relnya, masih di anggap sebagai ruang batas pengetahuan kebolehan dan larangan melakukan sesuatu. Ting­kat kepatuhan bermain pada level di bawahnya. Jika kebolehan berjalan dengan kepentingan, maka kebolehan menjadi kepa­tuhan yang sangat mengikat. Sebut saja kebergantungan ma­sya­rakat miskin terhadap Bantuan Lang­sung Tunai (BLT). Meski para pakar me­nyatakan ketidak efektifan BLT sebagai "pengobat sedih" kenaikan BBM, namun ma­­syarakat miskin ternyata jauh lebih fungsional berfikir.

Sebaliknya, jika larangan bersinggungan dengan kepenting­an, maka larangan hanya akan menjadi "rambu kasuistik" yang akan dipatuhi apabila dilihat, dan hukum menjadi abai jika tidak ada yang menyaksikan. Sebut saja peraturan lalulintas tentang memakai helm bagi pengendara motor. Fungsi helm "hampir" berubah tujuan. Jika ditanya me­ngapa memakai helm, maka jawabannya kare­na ada polisi. Berlakulah hukum ke­bali­kan. Jika tak ada polisi, maka tak wajib memakai helm.

Contoh-contoh kecil tersebut menjadi dasar bahwa gerak pemahaman dan kesada­ran hukum masyarakat beralih, dari norma­tivitas menuju realitas. Dalam hal ini kita bisa memakai pendekatan realisme hukum, atau teori utilitarianisme. Bahwa hukum sebagai kepatuhan akan bergerak pada ruang kepen­tingan dan kemanfaatan. Masyarakat mo­dern, lebih memilih hukum sebagai asas individual. Hal ini berbeda dengan pemi­kiran hukum masyarakat tradisional yang cende­rung menem­patkan hukum pada gerak sosial.

Wibawa hukum yang elastis

Kehidupan ini berpacu dengan kepen­tingan. Jika kita meli­hat sejarah, hukum pada masyarakat hegemoni yang sangat agraris gerak dan fikirnya, ditempatkan sebagai ke­wibawaan. Melanggar hukum, berarti men­ce­derai kewibawaan. Yang ter­ganggu bukan hanya kehidupan pribadi, namun juga kehi­dupan sosial. Dalam kehidupan perkam­pu­ngan suku Batak Man­dailing misalnya, kepala kampung (kepala desa) akan menjadi orang yang paling bertanggung jawab secara struktural terha­dap keamanan dan keadaban masyarakat di kampungnya. Jika ada saja kedapatan penduduk kampung tersebut men­curi, maka dengan cepat-lah stigma "kam­pung pencuri" dinobatkan pada kam­pung tersebut, meskipun pencuri hanya satu orang, sele­bih­nya orang baik dan taat beragama.

Persentuhan hukum formal dengan hukum adat, atau boleh kita sebut sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaan, ditambah lagi pemahaman masyarakat tentang hukum agama, menjadi perpaduan yang sering membuat masyarakat tidak berketetap­an dalam pilihan. Terkadang kecenderungan memilih hukum berpihak pada hukum adat, bisa juga hukum agama, dan terka­dang masyarakat sangat formal, memandang hukum sebagai tujuan. Dalam hal inilah Bowen (peneliti tentang resolusi atas konflik di Aceh) menyebutkan dalam hasil peneli­tiannya, bahwa masyarakat Aceh dalam mematuhi hukum memakai pendekatan The Shopping Theory, maksudnya masyarakat Aceh, ketika memilih hukum seberti "berbe­lanja" sehingga pada masalah yang sama dengan masyarakat yang berbeda, bisa berbeda pilihan hukumnya. Walaupun masyarakat yang me­makai pendekatan ini cenderung menggunakan yurispru­diensi sebagai uji coba hukumnya.

Selain itu, yang lebih menarik, masyarakat terdahulu, (kita sebut saja masyarakat tradisional) sering berbeda menempat­kan perbuatan hukum privat maupun publik. Hal ini juga di­dasari oleh pandangan terhadap kewibawaan hukum. Masalah perkawinan dan kewarisan misalnya. Jika ada perka­winan masyarakat adat dengan tidak mema­kai upacara adat, maka masalah ini akan menjadi masalah publik. Semua warga desa akan ikut resah, ketua adat mungkin akan marah, dan orang ter­sebut berikut keluarga garis keturunannya akan ikut ber­tanggung jawab terhadap hal tersebut. Padahal, perkawinan dengan segala peraturannya adalah masalah privat yang sangat indivi­dualis sifatnya.

Lain lagi misalnya kasus penyiksaan yang terjadi disebab­kan pertarungan antara kampung A dan kampung B, maka semua warga akan berupaya melindungi warganya untuk tidak tereksekusi secara hukum, karena ini akan mengganggu wi­bawa kelompok. Padahal masalah penyiksaan adalah masalah publik. Dan banyak kasus publik yang juga mampu di selesaikan secara privat oleh masyarakat tradisional.

Kepatuhan hukum

dan mini market kepentingan

Maka, berbicara hukum, kita tidak akan pernah melepas kepentingan. Perubahan kehidupan masyarakat akan menjadi alasan yang kuat mengapa kepatuhan hukum masyarakat ber­ubah. Masyarakat tanpa sadar lebih sering menjadi mujtahid "dadakan" dalam pilihan hukumnya. Sampai pada hu­kum yang belum ada, belum tertulis dan be­lum terfikirkan. Pada ruang inilah gerak hu­kum menjadi elastis. Pergeseran makna hukum sebagai aturan formal menjadi kehi­dupan sosial membuat elastisitas hukum menguat. Meskipun negara Indonesia terikat dengan suasana positivisme, namun realita­nya secara kasuistik masyarakat lebih memilih kemanfaatan sebagai alasan hukum. Bergeraknya pemahaman masyarakat dari hukum sebagai norma menjadi hukum sebagai kehidupan memperbanyak sendi kepentingan dalam hukum.

Bisa juga peralihan suasana hukum ini disebabkann ke-apatisan masyarakat mem­percayai kekuatan hukum. Sebab hukum sudah menjadi kepentingan politik, ekonomi dan kapitalisme berbangsa. Meskipun ini bukan sebuah penyesal­an, namun lebih tepat dikatakan sebagai konsekwensi dari bang­sa berkembang yang bergerak menuju bangsa maju. Di zaman peralihan ini, gerak penca­paian, tidak lagi dimaknai berbatas dengan norma dan kewibawaan, tapi gerak penca­paian itu berbatas dengan keberhasilan eko­nomi dan politik. Sehigga mau tak mau, pera­lihan suasana normativitas sudah bergerak jauh menuju aktualitas dan prag­matis.dan ini sebuah kon­sekwensi. ***

* Penulis adalah Dosen Fak Syariah & Hukum UIN SU, Wakil Dekan III FKM UINSU

()

Baca Juga

Rekomendasi