Oleh: Iwan Guntara
Kedatangan ribuan peternak ayam ke Istana Merdeka Jakarta, menuntut pemerintah segera turun tangan mengatasi anjloknya harga ayam hidup dan telur di tingkat peternak, bnarru-baru ini, mengundang keprihatinan dan sekaligus kegembiraan.
Prihatin, karena para peternak itu mengalami kerugian yang tidak sedikit, akibat harga ayam dan telur anjlok. Harga Pokok Produksi (HPP) telur ayam sekarang Rp 17.500/kg, tapi di peternak sekarang hanya Rp 14.500/kg. Sedangkan ayam broiler juga sama, HPP sekarang Rp 17.000/kg, tapi di kandang dihargai Rp 15.000- Rp 15.500/kg.
Anehnya, telur dan daging ayam di pasaran masih mahal. Telur ayam dibanderol sekitar Rp 22.000/kg dan daging ayam di atas Rp 30.000/kg. Fluktuasi harga yang tak terkendali ini sudah terjadi sejak tahun 2013.
Pelaku usaha peternakan unggas pun mengaku dalam dua bulan terakhir mengalami kerugian sebanyak Rp2,8 triliun akibat jatuhnya harga ternak mereka. Kondisi ini diperparah dengan tingginya harga pakan ternak dan sarana produksi (Saprodi).
Harga jagung idealnya untuk peternak di bawah Rp3.000/kg, namun di pasaran mencapai Rp4.200 - Rp4.300/kg sehingga sangat memberatkan peternak rakyat. Selain mahal, barangnya juga sulit diperoleh di pasar. Padahal, harga jagung di tingkat petani rata-rata hanya Rp 2000 – Rp 2700/kg.
Gembira, karena ternyata para peternak di negeri ini sudah berhasil memproduksi ayam dan telur yang melimpah. Sebagai sumber protein yang murah dan mudah didapat masyarakat, tentu hal ini perlu dipertahankan. Guna mendukung program swasembada protein yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK.
Karena itu, sejatinya pemerintah segera turun tangan untuk melindungi para peternak dari kerugian. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan semakin banyak usaha perternakan, terutama peternakan rakyat yang “gulung tikar”. Jika hal itu sampai terjadi, maka sumber protein yang murah dan mudah didapat itu akan menjadi langka dan sulit didapat.
Sikap tanggap pemerintah, yang berjanji segera mengatasi berbagai keluhan peternak, terutama terkait adanya penurunan harga ayam hidup (broiler dan jantan layer) serta telur di bawah harga pokok produksi, patut diapresiasi. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 3035/Kpts/PK010/F/03/2017 tentang Pengurangan DOC FS Broiler, DOC FS Jantan Layer dan FS Ayam Layer tanggal 29 Maret 2017.
Intinya, melalui beleid ini, pemerintah ingin menata bisnis perunggasan di bagian hulu, dengan tujuan melakukan supply management (manajemen pasokan). Pemerintah bersama-sama dengan Tim Analisis dan Tim Asistensi perunggasan dengan mempertimbangkan kondisi pasar saat ini, maka perlu mengatur kembali pasokan bibit agar sesuai dengan naik turunnya permintaan, sehingga tidak terjadi over supply.
Depopulasi
Pemerintah pun memilih melakukan depopulasi atau pemusnahan ayam yang dianggap berlebih, untuk menyeimbangkan antara pasokan dan permintaan pasar. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 61/ 2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras terutama pasal 6 ayat 1 dan pasal 7 ayat 1, maka dibuat kebijakan afkir dini Final Stock (FS) ayam petelur komersial pada usia 70 minggu. Kebijakan ini berlaku bagi perusahaan yang memiliki populasi FS minimal 100.000 ekor.
Diperkirakan populasi ayam petelur nasional saat ini mencapai sekitar 130 juta ekor sampai 150 juta ekor. Setelah dilakukan pengkajian, maka diperlukan pengurangan produksi bibit ayam atau Day Old Chick (DOC) ayam ras sebanyak 5 juta ekor per pekan. Ditargetkan produksi DOC ditekan dari 63 juta ekor menjadi 58 juta ekor per pekan atau pemotongan sebanyak 8%.
Selain itu, juga dibentuk tim analisis, tim asistensi, dan tim pengawas dalam mendukung pelaksanaan Permentan nomor 61/2016. Analisis daging dan telur ayam ras. Bertemu stakeholder terkait dinamika perunggasan nasional. Pemantauan ke pelaku daging dan telur ayam ras.
Dengan kebijakan ini diharapkan terjadi pengurangan produksi DOC FS sebanyak 8% dari total produksi di perusahaan melalui setting telur tertunas. Selain itu juga, pengurangan produksi DOC FS Jantan Layer sebanyak 20% dari total produksi.
Memang, untuk jangka pendek, depopulisasi dinilai efektif untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan. Sehingga pasokan ayam dan telur tidak melimpah di pasar dan harga pun diharapkan kembali normal.
Namun, untuk jangka panjang depopulasi sangat tidak ekonomis. Jika tidak dikontrol dengan baik, justru dikhawatirkan dapat memicu kelangkaan pasokan ayam dan telur di pasar. Harga ayam dan telur pun berpotensi naik tak terkendali, dan dikhawatirkan tak terbeli masyarakat.
Sejatinya, tingginya produksi ayam dan telur di negeri ini, dimaknai oleh pemerintah sebagai keberhasilan peternak lokal membudidayakan ayam, baik ayam pedaging atau pun petelur. Kondisi ini harus dipertahankan untuk mendukung terwujudnya program swasembada protein di negeri ini.
Karena itu, depopulasi bukanlah satu-satunya cara untuk menghindarkan peternak dari kerugian. Penyediaan pakan yang murah dan peningkatan serapan pasar terhadap ayam dan telur, dinilai lebih efektif untuk jangka panjang.
Hal ini sangat dimungkinkan, karena ternyata harga jagung di tingkat petani jauh lebih murah, rata-rata Rp 2700/kg. Tingginya harga jagung dipasaran disebabkan membengkaknya biaya transportasi pengangkutan, yang dipicu jauhnya jarak dan buruknya infrastuktur jalan.
Dengan pakan yang murah, peternak dapat menekan biaya pengeluaran. Sehingga ayam dan telur tetap dapat dijual dengan harga yang terjangkau masyarakat, tanpa menanggung kerugian. Sedangkan untuk meningkatkan serapan pasar terhadap ayam dan telur, pemerintah sejatinya perlu menjajaki peluang ekspor dan mendorong berkembangnya industri hilir ayam dan telur.
Hilirisasi
Selain mengkampanyekan gerakan gemar makan ayam dan telur, pemerintah juga perlu mendorong pengembanggan industri hilir pengolahan daging ayam dan telur. Untuk meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap telur dan ayam, serta menyerap pasokan ayam dan telur yang melimpah.
Konsumsi ayam saat ini baru sekitar 10 kg perkapita per tahun, sedangkan konsumsi telur sekitar 6,309 kilogram perkapita per tahun. Padahal, berdasarkan data Statistik Peternakan tahun 2016, populasi ayam ras pedaging (broiler) mencapai 1,59 Miliar ekor, ayam ras petelur (layer) mencapai 162 juta ekor dan ayam bukan ras (buras) mencapai 299 juta ekor atau mengalami peningkatan sekitar 4,2% dari populasi pada tahun 2015. Produksi daging unggas menyumbang 83% dari penyediaan daging nasional, sedangkan produksi daging ayam ras menyumbang 66% dari penyediaan daging nasional.
Bertumbuhnya industri pengolahan daging unggas selain akan meningkatkan konsumsi daging ayam secara nasional, juga bisa menjadi penyangga untuk meredam gejolak harga daging broiler yang acapkali terjadi.
Belajar dari pengalaman Robert C Baker, seorang sarjana di bidang ilmu unggas dari Cornell University di Amerika Serikat yang berhasil meningkatkan konsumsi masyarakat Amerika terhadap ayam dan telur dengan nugget ayam temuannya.
Baker berhasil menciptakan produk pangan dari ayam yang tidak lagi berbentuk daging dan telur ayam. Bahkan, produk olahan daging ayam semakin berkembang di Amerika terlebih setelah di tahun 1970 pemerintah federal Amerika mengimbau rakyat AS untuk mengurangi konsumsi lemak dari menu makanan mereka dan mengurangi mengkonsumsi daging merah yang notabene adalah daging sapi. Karena daging ayam kandungan lemaknya relatif lebih sedikit dibandingkan daging sapi.
Produk olahan ayam dan telur seperti nugget dan sosis, sebenarnya sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir. Selain menghasilkan makanan berbagai bentuk dan aneka rasa, nugget juga lebih praktis dan dapat disimpan lebih lama.
Tidak hanya dapat dilakukan oleh industri besar, pengoalahan daging ayam seperti nugget juga dapat dilakukan oleh industri rumahan. Apalagi, bahan baku dan cara pembuatannya cukup sederhana. Dimulai dari daging yang digiling, diberi bumbu dan dicampur bahan pengikat. selanjutnya adonan siap dicetak dengan berbagai bentuk cetakan yang meningkatkan nilai jual.
Pengembangan industri hilir pengolahan ayam dan telur bisa dimulai pemerintah dengan memberikan berbagai insentif. Serta menghentikan impor bahan baku daging ayam atau MDM (sisa daging bertulang) dari negara-negara eropa. ***
Penulis adalah jurnalis di Kota Medan*