Oleh: Freddy Nababan
DALAM dunia usaha dan dunia industri lazim kita kenal yang namanya analisis. Analisis itu macam-macam bentuknya. Ada analisis kelaikan tempat usaha/industri, analisis kelayakan dan kebutuhan pasar, analisis perilaku konsumen, bahkan ada analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.
Seiring berjalannya waktu, kebutuhan akan analisis tersebut berkecambah dan merambah ke seluruh entitas-entitas masyarakat ataupun institusi-institusi lain dalam kehidupan seperti, antara lain, kesehatan, transportasi, pariwisata, pengembangan diri dan pendidikan. Semua analisis itu termaktub dalam satu istilah yang disebut analisis SWOT.
SWOT adalah singkatan dari strength, weakness, opportunity dan threat. “SWOT analysis is a historically popular technique through which managers create quick overview of a company’s strategic situation” ( Pearce, II & Robinson, 2011,p.140). Artinya, SWOT adalah teknik analisis populer yang biasa digunakan para manajer dalam mengambil keputusan terbaik terkait situasi terkini yang dihadapi dalam perusahaan mereka.
Dan melihat situasi dunia pendidikan kita sekarang ini, wajib bagi para pemangku kepentingan pendidikan, terutama para pengambil kebijakan strategis untuk mengaplikasikan teknik tersebut guna mendapatkan solusi terbaik mengatasi permasalahan pendidikan di Tanah Air.
Berikut adalah beberapa kompilasi permasalahan yang ada dan diharapkan nantinya tersedia solusi agar tercipta akses pendidikan yang meluas, merata dan berkeadilan di negara ini.
Strength (Kekuatan)
Dalam aplikasinya sesungguhnya analisis SWOT ini melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusannya. Para pihak tersebut dimintai pendapat dan pemikirannya mengenai satu permasalahan. Hasil dari keseluruhan masukan inilah yang nantinya menjadi referensi bagi pengambil kebijakan untuk menelurkan keputusan akhirnya.
Berbicara tentang kekuatan atau potensi keunggulan pendidikan Indonesia, maka tidak bisa dinafikan bahwa memang bangsa Indonesia memiliki jumlah pelajar yang tinggi. Berdasarkan data, jumlah pelajar Indonesia mencapai angka 58 juta. Dari 58 juta siswa itu, 8 juta siswa SLTA, 50 juta siswa SD-SLTP. Suatu angka yang terbilang besar, hampir menyamai jumlah penduduk Inggris Raya. (Antara, 30/4/2012)
Begitu juga dengan tingkat partisipasi pendidikan di Indonesia yang meningkat tajam sebagaimana rilis dari The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dalam laporannya yang bertajuk Global Education Monitoring (GEM) 2016. Tercatat, peningkatan partisipasi pendidikan dasar hingga menengah Indonesia sebesar 100 persen.
Weakness (Kelemahan)
Meskipun Indonesia memiliki pasokan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang besar untuk bisa dikelola oleh bangsa ini, jujur harus kita katakan bahwa sejatinya bangsa ini masih belum bisa mengendalikannya sepenuhnya. Hal ini karena Indonesia memiliki segudang permasalahan pendidikan yang pelik untuk diselesaikan.
Ada dua bukti nyata yang menunjukkan masih buruknya prestasi pendidikan Indonesia secara umum, yang pertama hasil PISA (Programme for International Student Assessment ) 2012 yang menempatkan Indonesia pada urutan 64 dari 65 negara yang diuji. Jika pun ada perbaikan pada PISA 2015, hal itu masih belum signifikan.
Lalu yang kedua adalah perolehan di ajang PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies) 2016. Tes yang menguji kecakapan literasi, numerasi, dan problem solving manusia dewasa produktif ini hasilnya pun kembar siam alias sama-sama terpuruk! Berada pada posisi buncit dalam setiap kategori yang diujikan, tidak mencapai level 1 sebagai level terendah sebagaimana dijabarkan oleh Victoria Fanggidae di Kompas dalam tulisannya yang berjudul Sinyal Tanda Bahaya IPM Indonesia (Kompas, 2 September 2016).
Oleh karena itu, laporan terbaru OECD (Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan) ihwal PISA pada 10 Februari 2016 lalu patut menjadi salah satu rujukan bagi bagi para pihak dalam mengambil keputusan untuk perbaikan ke depannya.
Laporan yang berjudul “Low-Performing Students: Why they fall behind and how to help them succeed,” memberikan kita gambaran jelas dan terukur tentang faktor-faktor penyebab mengapa seorang siswa/i gagal dalam pendidikannya dan bagaimana seharusnya para pemangku kepentingan pendidikan berupaya mengatasinya sejak awal.
Terdapat 4 elemen penting yang penulis anggap identik dengan permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia, yaitu: (1) status sosial ekonomi, (2) latar belakang demografi, (3) jenis pendidikan, dan (4) sumber daya manusia.
Pertama, status sosial ekonomi. Jika kita runut, menjadi jelas dan terafirmasilah bahwa kebijakan sekolah seharian (full day school ) itu belum tepat dilaksanakan sekarang ini. Status sosial ekonomi mayoritas rakyat negeri ini tidak akan mampu memenuhi ekspektasi yang diminta pemerintah.
Bagaimana mungkin anak petani, nelayan, buruh dan kaum marjinal lainnya bisa bersaing dan mengenyam pendidikan yang berkualitas dengan adil jika untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya saja mereka harus banting tulang membantu menafkahi keluarga mereka?
Kedua, latar belakang demografi. Sesuai konteks Indonesia, keterisoliran dan sulitnya akses ke dunia luar bagi pelajar di daerah terpencil juga turut menghambat capaian maksimal seorang pembelajar. Adalah fakta bahwa orang-orang yang hidup di daerah terpencil, terluar dan terdepan sangat terabaikan di mana hal ini pun berkolerasi dengan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat yang bermuara pada rendahnya akses pendidikan anak-anak mereka.
Ketiga, jenis pendidikan. Peserta didik yang berkesempatan mencicipi pendidikan usia dini lebih dari satu tahun berpeluang besar menjadi pembelajar berkemampuan tinggi dibanding para pelajar yang tidak mengenyam pendidikan dini ataupun yang kurang dari setahun mengenyamnya.
Hal ini pun harus menjadi perhatian pemerintah di tengah tingginya angka putus sekolah di tingkat dasar yang mencapai angka 997.554 sesuai data Kemendikbud sebagaimana dikutip Kompas dalam Tajuk Rencananya pada edisi 15 September 2016. Pertanyaannya, bagaimana caranya menyukseskan program pendidikan anak usia dini (PAUD) jika ribuan anak di sekolah dasar pun putus dan terancam putus sekolahnya?
Temuan penting dan menarik lainnya adalah kenyataan bahwa para pelajar di sekolah kejuruan jauh lebih rendah capaian akademiknya. Tentu ini perlu menjadi kajian mendalam terlebih pemerintah berencana untuk memperbanyak ketersediaan sekolah kejuruan di Tanah Air. Tentunya perbaikan kualitas sekolah kejuruan menjadi prioritas.
Keempat, sumber daya manusia. Perlu dipersiapkan tenaga pendidik yang profesional guna memastikan tersedianya layanan pendidikan yang bermutu. Kebijakan ini bisa dimulai dari perekrutan awal calon mahasiswa keguruan yang selektif, proses pelatihan guru yang berkesinambungan dan penataan jenjang karir yang menjanjikan.
Opportunity (Peluang)
Berbicara tentang peluang, tentu negara kita memiliki cukup banyak peluang untuk memperbaiki aspek pendidikannya. Peluang-peluang tersebut adalah menjalin kerjasama dengan berbagai negara maju, pelatihan peningkatan kompetensi dan literasi guru, penyempurnaan kurikulum yang berbasis high order thinking skills (HOTS) dengan menyertakan kekhasan Indonesia.
Kemudian, mengalokasikan anggaran pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan daerah dan nasional mengacu kepada best practices (penggunaan tepat guna) negara-negara maju, perbaikan infrastruktur dan fasilitas layanan sekolah di daerah terpencil, terluar dan terdalam, peningkatan kesejahteraan guru secara berkesinambungan dan peluang bagi peningkatan karir dan keilmuan para guru Indonesia.
Threat (Ancaman)
Ancaman terbesar yang tengah menghadang pendidikan Indonesia adalah belum tersedianya akses pendidikan berkualitas yang meluas, merata dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Belum lagi dari segi sarana dan prasarana infrastruktur fisik pendidikan yang juga masih cukup memprihatinkan. Ada ribuan sekolah yang rusak dan belum diperbaiki. Ada ribuan anak yang putus sekolah dan terancam putus sekolah.
Ancaman dari luar pun terbilang berat. Lemahnya kualitas SDM manusia Indonesia menyebabkan bangsa ini masih sebatas bangsa “pemakai” belum “penghasil”. Alhasil, negara ini menjadi pasar empuk berbagai komoditas dunia. Barang-barang asing membanjiri Indonesia. Sementara kita “kewalahan” membuat produk sendiri.
Faktor lain yang perlu menjadi perhatian bersama adalah minimnya pelibatan peran serta keluarga dan masyarakat dalam pendidikan. Hal ini harus diperbaiki ke depannya.
Sebagai sebuah analisis, tentu kajian ini memerlukan eksekusi di lapangan agar nantinya tidak terhenti di meja para pengambil keputusan. Majulah pendidikan Indonesia!***
Penulis adalah pendidik yang sedang belajar di PPs Nommensen, Medan, CULS (Ceko) dan pegiat literasi di Toba Writers Forum, Medan