Betta Anugrah Setiani
AIR DI BUKIT GIBEON
di depan gerbang persembahyanganmu, aku dipersilakan duduk dengan tenang. aku memang hanya boleh sampai di situ, bersebab keyakinanku berbeda denganmu yang tumbuh di tanah kelahiranmu.
sore menuju malam mengirim suara-suara cericit burung turun dari hutan.
kalau sedang banyak pendatang begini, penjaga pintu masuk tempat ibadah bukit gibeon lebih ketat rupanya. kala itu, kau tak boleh mengenakan pakaian terlalu pendek; rok dengan panjang paling minimal selutut atau baju dengan lengan paling pendek sejajar dengan sikut.
bangunan-bangunan sakral warna violet yang menurut pengertian primbon jawa bermakna kekuatan, hiasan lampu berbatang merah seling hitam di beranda dan kau yang tak pernah berhenti memohon
dan dengan aturan yang harus ditaati di sana, maka aku hanya bisa menikmati kekhidmatan anak-anak tuhanmu, dari jauh, dari luar. dari ketakjuban yang belum hilang dari ingatanku ketika kita pergi menuju anak sungainya.
tuhan kita barangkali melihat kegirangan kita dengan anak kecil yang minum mata air.
di jalan pulang, sesekali aku mengingat perbedaan yang masygul di bumi ini, betapa banyak, kini manusia mandi air mata.
Sumatera Utara, 2017

JALANAN PARA BINATANG HTAN
jalan yang seringkaulalui, memiliki banyak kejutan
yang merapikan permukaannya agar kau tak tersandung
yang menikung dan memanjang seperti kenangan
sesekali, banyak binatang melintas di depanmu
katamu, mereka nampak seperti model yang ada di kalender-kalender tahunan
tergambar badan kerbau yang gempal dan gagah, dipadu genangan air di hutan menutupi rumput-rumput yang sebenarnya tak liar.
adakalanya, mereka peduli pada jejakmu yang kadang getir bercampur khawatir
pada pagi yang sempurna, mata hari itu mumbul tepat di atas pundakmu, dan binatang-binatang keluar dari hutan. kerbau tadi, burung yang kemarin kuceritakan dan babi yang sore nanti akan dihidangkan dalam sebuah pesta pernikahan, adalah milik pak Haji yang gemar datang bersilaturahmi kevihara tetanggamu atau mengucapkan selamat natal kepada keluargamu.
Sumatera Utara, 2017
KETIKA SAMPAI DIPANGURURAN
setelah sampai di tengah pulau, semerbak tuak menempel pada kayuh dayung nelayan yang menyeberang
aku melihat mata anak-anak dalam kayuh cangkul
mereka tidak pernah meratap, tetapi menatap pada sayup bunyi azan. dalam kotak imannya, bertanya: bapak, apakah aku dan adik-adikku masih boleh membeli permen sepulang dari sawah? bapak, semoga bapak tak lupa beri ayah uang agar kami bisa jenguk nenek yang lama sudah menderita alzheimar akut. itu membuat aku takut ditinggalkan. bukan hanya ditinggalkann enek, tetapi, ditinggalkan tanahku berasal.
Sumatera Utara, 2017

Kusprihyanto Namma
TAK LEBIH DARI BUIH
mengapa tak segera paham
aku tak lebih dari buih di lautan
dipermainkan gelombang
tak menyimpan derajat kebaikan
ini waktu berat amat
bak bara di genggaman
tak dilepaskan terbakar tangan
dilepaskan akan padam
aku tak lebih dari buih di lautan
malu bertemu Dikau pujaan
TAULADAN
betapa gembira bisa mengenalmu
anak panah yang menancap di badan
tak boleh dicabut
sebelum tersempurnakan sujud
karena cinta tak ada sakit.
tak ada lara
betapa gembira bisa mengenalmu
tajam pedang yang merupakan jalan ajal
tak ditebaskan
karena lawan telanjang
rasa kasih
tetap tertanam walau kepada lawan
betapa gembira bisa mengenalmu
menyambut maut dengan senyuman
