Seik, Penjaga Perkawinan Adat Tionghoa

Oleh: J Anto.

PEMANDU acara dalam acara pernikahahan adat Tionghoa, seik, tak hanya berperan sebagai penjaga tradisi, tapi kadang mereka merangkap jurudamai agar pernikahan secara adat dan resepsi berjalan normal. Namun profesi seik, belakangan mendapat banyak tantangan dengan menguatnya kecenderungan orang muda yang semakin bersikap kosmopolitan.

Hujan mengguyur Kota Medan malam itu, di sebuah kedai di kawasan inti kota, Chandra Tantowi (55) memarkirkan mobil­nya. Ia lalu turun dan bergegas masuk ke kedai. Kepada apek pemilik kedai, ia memesan sepiring kue tiaw dan teh hangat. Saat kue tiaw yang masih kepul-kepul tersaji di depannya, Chandra lalu mengambil sumpit dan mulai menyantap. Kepada apek itu, ia memuji rasa kue tiaw yang maknyus itu. Obrolan pun pelan bergulir di antara derasnya hujan. Hawa dingin malam dan suasana kedai yang tak terlalu ramai membuat obrolan makin gayeng.

Saat dalam obrolan, Can Lung, panggilan akrab Chandra, menyinggung nama seorang perempuan. Apek pemilik kedai itu tiba-tiba berujar, "Lo, itu anak gadis saya, dia memang hendak menikah tapi ada sedikit masalah."

Topik pembicaraan lalu beralih ke masalah rencana pernikahan anak pemilik kedai. Can Lung pun akhirnya buka kartu bahwa ia adalah seik atau pemandu acara adat yang akan bertugas memandu jalannya acara perkawinan anak gadis pemilik kedai tersebut.

Saat obrolaran makin cair, terungkap bahwa kedua orangtua calon mempelai perempuan telah bercerai. Keduanya juga telah memiliki pasangan masing-masing. Masalah muncul saat si apek menolak keinginan bapak tiri anak gadisnya ikut jadi wali saat kiet hun (acara penghormatan pihak calon mempelai pria ke rumah pihak perempuan).

Si apek keberatan karena ia adalah wali yang sah. Ia juga telah berhasil membesar­kan dan mendidik anak gadisnya. Sementara si ayah tiri dinilai tak memiliki jasa terhadap anak gadisnya. Apa yang dilakukan Can Lung sebagai seik dalam menghadapi kasus seperti itu?

"Saya terus ajak obrol dari hati ke hati. Saya memang sengaja menemui bapak itu setelah diberitahu anak perempuannya yang hendak menggunakan jasa saya sebagai pemandu pesta adat. Lebih baik terus terang sejak awal jika ada pihak orangtua atau wali yang belum sepenuhnya paham akan adat perkawinan, sehingga bisa dihindari hal-hal yang tak dinginkan nantinya." Ia mengaku senang dengan kejujuran pihak klien.

Menyamar Pembeli

Ia memberi contoh kasus di atas, sejatinya apek pemilik kedai tak salah. Ayah tiri calon mempelai sebenarnya tak memilik hak sebagai wali. Tapi karena keduanya bersi­keras, akhirnya Can Lung mencoba mende­kati orangtua kandung calon mempelai perempuan, dengan menyamar sebagai pembeli kue.

Saat emosi si apek mulai reda, Can Lung mulai mengajak berbincang dari hati ke hati. Ia memuji perjuangan si apek yang sudah berhasil membesarkan dan mendidik anak gadisnya sehingga berhasil.

"Lalu saya bilang, tugas bapak sebagai ayah tinggal sedikit lagi, yakni mengantar anak gadis ke jenjang pernikahan," tutur Can Lung. Ia mengingatkan si apek, jangan karena pekerjaan yang tinggal sedikit lagi itu, kelak ia menuai hal negatif yang akan jadi cacat seumur hidup di mata anak dan menantunya.

Akhirnya luluh juga hati apek itu. Kedua pasang orangtua mempelai perempuan akhirnya hadir pada acara perkawinan adat dan resepsi. Pesta pun berjalan lancar. Pada akhir resepsi, Can Lung mendatangi ayah kandung si mempelai perempuan. Dengan tersenyum sumringah, ia menepuk-nepuk bahu bapak itu sembari berujar, "Terima­kasih Pak, luar bisa kebesaran hati Bapak dan Bapak telah sukses mengantar perni­kahan anak dengan bahagia."

Seik bagi pasangan calon pengantin Tionghoa, tak hanya dituntut piawai menge­lola acara resepsi perkawinan, mereka juga harus piawai memandu acaranya. Can Lung tergolong seik senior. Ia sudah 25 tahun lebih menjalani profesi itu. Menurut bapak empat anak itu, tahapan perkawinan adat Tionghoa hampir sama seperti yang dijalani etnis lain.

Pesta Adat

Sebelum pesta perkawinan, dimulai tahap dho jhin (lamaran), wali mempelai laki-laki mengunjungi rumah keluarga calon perem­puan untuk menyampaikan niat pinangan. Jika diterima, mereka lalu membicarakan syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak laki-laki, seperti mahar atau perlengkapan adat lain untuk pesta adat. Dibahas juga bulan dan hari baik.

Kemudian tahapan sangle (mengantar pinangan). Pihak laki-laki mengantarkan pinangan seperti mahar, perlengkapan sembahyang, ayam, buah-buahan, dan lain-lain. Yang paling diperlukan saat tahapan ini adalah kue atau roti pinangan, yang akan diberikan sebagai buah tangan dan kabar baik bagi famili dan kerabat dekat.

Setelah mengantar pinangan, tahap berikutnya pai pang, menghias kamar pengantin. Pai pang dilakukan di rumah calon mempelai laki-laki. Pihak perempuan membawa koper berisi perlengkapan pakai­an, kosmetik, parfum, dsb.

Tahap selanjutnya kiet hun, kunjungan pihak laki-laki ke rumah perempuan. Pada saat itu berbagai keperluan seperti angpau, cincin perkawinan, dan bunga pengantin. Ditemani seik, mempelai laki-laki menuju rumah calon istri untuk memberi penghor­matan kepada calon mertua. Setelah itu seik menuntun pengantin perempuan dan mem­pertemukan dengan pengantin laki laki. Keduanya lemudian saling memberi hor­mat,.

Bunga kantong yang dipegang pengantin perempuan kemudian disematkan di jas pengantin laki-laki, sesudah pengantin laki-laki menyerahkan bunga yang dibawa dari rumah. Jika tidak ada acara pernikahan di vihara atau di gereja, dilakukan tukar cincin. Setelah itu, keduanya kembali melakukan penghormatan. Kemudian keduanya mem­beri hormat kepada orangtua kedua mempe­lai, Ditemani seik, mereka kemudian menuju ke rumah pihak laki-laki.

Setiba di rumah laki-laki, penghormatan yang sama dilakukan mempelai perempuan. Bagi yang beragama Budha kemudian melakukan sembahyang.

"Setelah itu diadakan phang (menyuguh­kan) teh. Mempelai perempuan dikenalkan kepada keluarga laki-laki, mulai dari yang paling tua di keluarga hingga yang termuda," ujar Can Lung. Setelah itu kedua mempelai masuk cin pang (kamar pengantin).. Pengan­tin perempuan kemudian berganti pakaian pesta.

Tahap selanjut, berbekal roti dan buah-buahan, pasangan pengantin kembali ke rumah pihak perempuan dan menyerahkan buah tangan kepada wali mempelai. Setelah itu kedua mempelai sembahyang. Pheng teh kembali dilakukan, juga pemberian angpao dari pengantin laki-laki. Setelah itu, adik laki-laki pengantin perempuan menyu­guhkan telur yang dimasak dengan huah ang co. Selesai acara tersebut, pengantin berpamitan untuk kembali ke rumah mem­pelai laki-laki. Wali mempelai perempuan membekali mereka dengan roti, minuman, buah-buahan, dan sepiring wajik.

"Saat pamitan, mempelai laki-laki mengundang wali mempelai dan keluarga untuk menghadiri resepsi perkawinan," tuturnya. Acara adat itu berlangsung dari pagi sampai sekitar pukul 14.00 WIB.

Beberapa Penyesuaian

Tak semua tahapan bisa dilalui mulus. Kadang muncul juga riak-riak perbedaan terhadap ritual adat perkawinan. Terutama pada tahapan do jhin. Semisal menyangkut daging.

"Dulu mama saya menolak saat pihak calon suami hendak membawa daging babi yang sudah dikalengkan. Mama saya bersikukuh harus dalam bentuk kaki daging utuh. Kalau dalam kaleng katanya daging itu sudah tak utuh lagi," ujar Kepala Play Grup/TK Sultan Iskandar Muda Medan Sunggal, Megawati Lie (35),.

Yang diceritakan Mega itu terkait persya­ratan yang harus dibawa saat sangle. Kaki daging babi memang salah satu syarat, tapi karena alasan kepraktisan banyak yang mengganti dengan daging kalengan. 

"Bayangkan kalau rumah pihak perem­puan di Siantar atau Tanjungbalai, dalam perjalanan dagingnya bisa rusak atau busuk, kalau kalengan ‘kan tidak," tambahnya.

Beberapa perlengkapan adat ada yang sudah tak kontekstual dengan kekinian. Semisal perlengkapan pispot, arang, dan bakiak. Itu bisa diabaikan. Termasuk tradisi memberikan sepasang ayam dari wali mempelai perempuan. Sepasang ayam dibawa pengantin saat pulang ke rumah laki-laki, setiba di rumah dilepaskan di bawah tempat tidur.

Masyarakat Tionghoa kuno memercayai ritual ini berhubungan dengan jenis kelamin bayi yang kelak akan dilahirkan. "Kalau yang keluar dulu ayam jantan, dipercaya bayi yang akan lahir laki-laki," katanya. Ayam juga tak boleh dipotong, tapi harus dipelihara agar bisa jadi hewan ternak. Tak semua melakukan ritual ini, tergantung dari fanatisme adat, terutama pihak orangtua pengantin.

"Adat itu harus simpel dan tak boleh menduakan ajaran agama yang kami anut," ujar pasangan suami isteri, Andreas Juwanda (33) dan dr. Trina Devina (30). Saat sangle misalnya, keduanya tak melakukan sem­bahyang dewa, keluarga bisa maklum karena kedua mempelai beragama Kristen.

Beberapa barang antaran juga ditiadakan, misalnya kue wajik. Bagi masyarakat Tionghoa kuno, kue wajik adalah simbol harapan agar pengantin lengket seperti kue wajik sampai akhir hayat. Tentu saja keluarga Andreas yang telah dikaruniai dua anak kembar itu, kelanggengannya bukan kue wajik, tapi karena dogmatika Kristiani.

Meski kini ada modifikasi pengurangan peralatan adatnya, Can Lung mengaku tetap terpanggil untuk menerangkan sejarah dan makna dari setiap perlengkapan dan ritual adat perkawinan yang ada. "Soal ada yang minta dikurangi atau dimodifikasi, saya mengikuti kemauan pihak calon mempelai saja."

Sebelum menjadi salah satu seik senior yang sudah digeluti sejak umur 25 tahun, Can Lung sebagai videografer pada seorang seik kondang, Aman Wijaya.  Ia dipercaya menjadi seik, saat adik ipar Aman menikah. Karena dianggap berhasil, sejak itu ia terus didorong untuk jadi seik.

Sudah sekitar 30 tahun ia menjali profesi sebagai salah seorang penjaga tradisi perkawinan adat Tionghoa. Ia menilai, pernikahan secara adat masih mendapat tempat utama di kalangan warga Tionghoa Medan, setelah Singkawang.  Perkawinan secara agama dan hukum terasa kurang lengkap tanpa disertai perkawinan secara adat.

Di Medan, dalam hitungan kasar booming perkawinan terjadi pada 7 Januari 2017. Dalam sehari, bisa ada 150 perkawinan. Ia sendiri dalam setahun bisa naik panggung untuk 40-50 hajatan perkawinan.

Beberapa Tabu

Ada beberapa tabu yang dipercaya masyarakat Tionghoa dalam momen penting perkawinan. Misalnya pada pertengahan tahun, tak ada yang mau menikah. Ini terkait anggapan "pengantin setengah tahun", jika menikah pada Juni tahun masehi, dipercaya bakalan tak langgeng. Pada Juli juga dihindari, karena saat itu dipandang saatnya hantu tengah bergentayangan.

"Adat perkawinan Tionghoa harus fleksi­bel, harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman jika ingin terus eksis," katanya. Megawati Lie setali tiga uang.

"Menurut saya, agar bisa dipertahankan, jangan terlalu dipersulit, misalnya seperti syarat  sepasang kaki babi utuh bisa juga dengan kemasan kalengan," ujar ibu muda yang telah dikarunia sepasang anak itu.

()

Baca Juga

Rekomendasi