Pesan dari Via Dolorosa

Oleh: Meyarni.

Setiap tahun umat Kristen mera­yakan Hari Raya Paskah. Sebe­lum perayaan itu, tepatnya tiga hari sebelumnya, mereka mengenang kisah penyaliban Yesus. Pada tahun ini, via dolo­rosa jatuh pada 14 April 2017. Jutaan umat Kristen di berba­gai belahan dunia, kembali diajak mengenang dan merefleksikan kisah penebusan umat manusia itu.

Dalam iman Kristen, Hari Raya Paskah adalah puncak perayaan ter­tinggi. Melalui Paskah umat Kristen tidak hanya ditebus dari dosa-dosa­nya, tetapi juga diperbarui iman­nya. Pas­kah sekaligus juga merupa­kan pernyataan iman mereka atas keper­cayaan terha­dap Yesus yang bangkit. Yesus yang setelah kebangkitannya itu naik ke surga dan duduk di sebe­lah kanan Bapanya. Hal itupun juga diucapkan dalam syahadat setiap kali kebaktian.

Sejarah menyebut Paskah meru­pa­kan kisah lepasnya bangsa Israel dari perbudakan Bangsa Mesir. Mes­ki untuk kebebasan itu mereka harus mengorbankan banyak hal. Nyawa, waktu dan juga keyakinan mere­ka akan tradisi masa lalu. Boleh dibi­lang Paskah adalah sebuah kebebasan untuk terlahir kembali sebagai manu­sia yang merdeka dan beradab. Sela­ma beribu tahun orang-orang Israel merayakan terbebasnya mere­ka dari perbudakan itu lewat berbagai acara dan perayaan. Namun kebebasan itu membawa eforia. Bangsa Israel mulai lupa dengan Allah yang me­nye­lamatkan mereka dari perbu­dakan. Sehingga Allah mengutus Yesus untuk kembali memperbarui hidup mereka. Puncaknya Yesus pun disalib. Tetapi tiga hari sesudah itu, Ia pun bangkit. Kebangkitan itulah yang kemudian diperingati sebagai Paskah. Yakni sebuah kisah misteri dimana maut telah dikalahkan.

Begitulah arti Paskah merupakan ikatan manusia dengan Sang Pen­cipta. Ikatan yang hidup dan terus menjadi misteri di dalam kehidupan itu sendiri. Tetapi yang lebih penting adalah pesan yang terkandung di dalamnya. Bagi saya pesan itu men­cakup beberapa hal penting. Pertama merupakan simbol ke­bangkitan bagi setiap manusia. Pesan ini yang paling agung meng­ingat kebangkitan dari kematian merupakan sebuah pro­ses yang tak lazim secara duniawi. Namun lewat kepercayaan dan iman, umat Kristen mengakuinya. Kebang­kitan Yesus dari kematian sekaligus juga membuktikan betapa kuasanya Ia ka­re­na mampu mengalahkan maut. Maut yang dalam bahasa du­nia boleh ditafsirkan sebagai dosa. Dengan begitu kebangkitan dari maut adalah kebangkitan dari dosa-dosa. Dalam termino­logi yang lebih umum disebut sebagai Habitus Baru atau makhluk (manusia) yang terlahir kembali. Lahir sebagai sosok putih dan bersih.

Kedua, Paskah merupakan penga­kuan iman secara terus-menerus. Dalam hal inilah Paskah menjadi ritus yang paling penting dalam pera­yaan Gereja. Paskah menjadi bukti betapa setiap umat Kristen mengakui adanya kebangkitan sete­lah kema­tian. Sebagai perayaan tertinggi sekaligus teragung, Pas­kah dalam konteks Kristen bisa dianggap seba­gai puncak ke­imanan mereka sebagai pengikut sekaligus yang melakoni ajaran Kristus.

Pesan kebangkitan

Pesan kebangkitan itulah yang harus diwartakan kepada setiap umat manusia, terutama pada masyarakat bangsa ini. Seperti kita rasakan ber­sama, perjalanan bangsa ini memer­lukan semangat Paskah yang menga­jak setiap orang bangkit. Bangkit dari kemiskinan, bangkit dari kebodohan, bangkit keterpuru­kan. Untuk bisa bangkit dibutuhkan kerja keras dan bahkan juga pengor­banan. Hal itulah yang ingin dipesankan Yesus kepada manusia. Mereka harus mengalahkan maut. Mereka harus terus diperbarui dan sadar dengan kehidupan mereka.

Sebagai warga negara, saya mera­sa sudah waktunya bangsa ini meng­a­dopsi pesan dan semangat Paskah itu dalam berbagai sendi kehidupan me­reka. Mereka harus mengalahkan nafsunya sendiri. Nafsu untuk korup­si dan bertindak tidak adil. Karena itu, ajaran gereja untuk hidup bijak­sana, adil dan beribadah sa­ngat rele­van dengan konteks kekinian bangsa ini. Tiga kata ini sangat penting untuk direnungkan. Ketiga pesan itu meng­ajak setiap individu untuk menyelami kembali pemaknaan hidup dan kehi­du­pannya dalam hidup berkomu­nitas.

Bijaksana mengandung arti mam­pu memilah baik-buruk. Barangkali gereja melihat masyarakat sepertinya sudah tak mampu lagi membedakan yang baik dan buruk. Sistem nilai telah rancu. Sebab masyarakat tak pernah diajarkan untuk mengatasi persoalan-persoalan secara bijak oleh pemerintah.

Adil menuntut tindak-tanduk seseorang terhadap lingkung­an­nya sesusai dengan porsi dan wewenang yang diberikan ke­pa­­danya. Dengan bertindak adil, diharapkan tidak akan ada lagi pelanggaran hak dan kewa­jiban yang berbuntut pada penin­dasan, agresifitas dan anarkisme.

Beribadah adalah kata kunci dari dua kata (pesan) sebelum­nya. De­ngan ibadah, keduanya pun disem­pur­nakan. Hingga tumbuhlah kehi­du­pan yang harmonis. Dalam hidup yang sementara, pada akhirnya kita hanya bisa berharap dan berdoa. Ten­tu harapan itu bertumbuh seiring dengan semakin matangnya iman.

Menurut saya kisah via dolorosa yang dijalani Yesus meru­pa­kan cerita yang sungguh-sungguh konteksual dan relevan dalam kehidupan kita se­karang ini. Bayangkan hanya dalam beberapa hari, sesaat Yesus dielu-elukan dan disambut sebagai raja oleh masyarakat, kemudian ia pun disalib oleh orang yang sama. Hanya dalam hitungan hari kepercayaan mereka luntur. Mereka memujanya, namun mereka juga yang menyalib­kan­nya. Perubahan itu terjadi hanya dalam hitungan hari.

Saya kira kita juga sering begitu. Seringkali kita menjadi ma­nusia mu­nafik dan berkepala dua. Di satu sisi kita memuja seseorang, tetapi di sisi lain kita menghujatnya. Contoh yang lebih konkrit misalnya terhadap ko­rupsi. Kita membenci ko­ruptor tetapi sadar atau tidak, setiap hari kita selalu melakukan perbuatan-perbua­tan yang korup. Apakah itu korupsi uang, waktu atau pekerjaan. Dengan kata lain, kita meneriaki orang maling padahal kita sendiri adalah seorang pencuri.

Sikap dan perilaku seperti inilah yang harus dirubah. Jika kita berha­rap bangsa ini akan maju, perubahan itu harus kita lakukan dan mulai dari diri sendiri. Tidak ada perubahan yang terjadi bila seseorang tidak ingin berubah. Sama seperti yang dilakukan Yesus yang mengorban­kan dirinya untuk perubahan. Ia merelakan dirinya disalib, dicela dan disiksa semata-mata untuk menebus dosa-dosa manusia. Rasa cintaNya kepada manusia me­nga­lahkan keta­ku­tan­Nya. Ia mengor­bankan diri­Nya untuk ditindas sebagai contoh nyata bagi setiap manusia. Persoalan apa­kah mereka percaya atau tidak adalah hal lain. Yang paling penting adalah ia telah melakukan perubahan. Perta­nyaan apakah setiap kita mau memu­lai untuk hidup yang lebih baik. Apakah kita sebagai ma­syarakat mau melakukan perubahan dari diri kita sendiri demi kehidupan bangsa yang lebih baik? Saya kira pertanyaan ini penting dijawab, khu­sus­­nya bagi se­tiap umat Kristen, sebagai refleksi kita atas Perayaan Paskah yang setiap tahunnya dirayakan di berbagai pen­juru dunia. Untuk itu saya menga­jak setiap orang untuk tidak seke­dar me­rayakan Paskah, namun yang terpen­ting adalah memaknainya sebagai nilai-nilai dalam kehidupan keseha­rian kita.***

Penulis adalah umat Katolik dan peminat masalah kemasyarakatan.

()

Baca Juga

Rekomendasi