Budayakan Membaca Buku

Oleh: Fahrin Malau

MUNGKIN banyak yang tidak mengetahui kalau hari ini, 2 April, diperingati sebagai Hari Buku Anak Sedunia. Bisa jadi tidak semua negara memperingatinya.

Saat ini tidak mudah menemukan buku bacaan anak asal Indonesia terbitan terbaru. Kalaupun ada sangat sedikit dan hanya ada di toko buku tertentu saja. Kalau tidak percaya, cek saja di toko-toko buku. Lihat di etalase buku anak, berapa banyak buku bacaan anak asal Indonesia terbitan terbaru dipajang? Selebihnya hanya terbitan beberapa tahun sebelumnya. Perhatikan juga berapa banyak anak-anak yang datang membeli buku bacaan tersebut? Sangat sedikit, bahkan ada toko buku yang sepi dari pengunjung anak-anak.

Buku bacaan anak sedang mengalami kehancuran. Bisa jadi beberapa tahun mendatang, menjadi barang langka. Anak-anak lebih mengenal buku Ninja Konoha, Doraemon, dan sederetan cerita lain dari Jepang daripada cerita asal Indonesia.

Jika melihat ke belakang, buku bacaan anak di Indonesia sempat mengalami kejayaan.  Pada 1974 pemerintah membeli buku bacaan untuk Sekolah Dasar dari penerbit swasta. Untuk menerbitkan buku bacaan anak-anak, dawasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

Munculnya proyek pembelian buku anak-anak – sebanyak 40 juta buku dihasilkan dengan biaya Rp.7,5 miliar – merangsang minat baca anak-anak sekolah. Sekaligus memicu tumbuhnya kegiatan penerbitan. Tidak hanya penerbit, sejumlah pengarang buku, seperti Suyadi, Kurnaen Wardiman, Djoko Lelono, Diah Ansori, Suyono, Dwianto Styawan, dan lainnya menghiasai buku inpres. Seniman lukis lokal pun ikut kecipratan proyek.

Intinya, adanya proyek buku inpres mampu membangkitkan dunia penerbitan, penulis, ilustrator, dan lainnya. Ini membuktikan, bangkitnya dunia penerbitan memberikan dampak luas pada per­ekonomian Indonesia.

“Bagaimana mungkin dunia penerbitan bangkit dari kelesuan pasar?” Tanya Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Sumatera Utara, Doni Irfan Alfian. Ketidakberdayaan penerbit saat kini cukup beralasan. Butuh waktu lama untuk menjual satu judul buku, termasuk buku bacaan anak-anak. Bisa menjual 5.000 eksemplar untuk satu judul dalam dua tahun sudah bagus. Kenyataannya, sekarang butuh 5 tahun bahkan lebih. Dengan kondisi ini, penerbitan tidak bisa bertahan. Jangankan untung, bisa pulang modal dengan cepat juga sulit.

Lesunya penerbitan buku bacaan anak juga diakui sejumlah toko buku. Umumnya buku bacaan anak yang dijual tidak banyak, baik judul maupun jumlahnya.  “Tidak banyak yang dijual di sini,” ungkap seorang pegawai toko buku di Jalan Sisingamangaraja Medan, Arib.

Buku bacaan anak yang dijual, didominasi penerbitan dari Pulau Jawa. Dari penerbit Sumut tidak ada sama sekali. Dia berdalih, toko buku tidak pernah menolak buku bacaan anak dari penerbit Sumut, tapi memang tidak ada buku bacaan anak dari penerbit di Sumut.

Sepinya penjualan buku bacaan anak itu, membuat toko buku tidak berani langsung membeli dari penerbit, sebelum laku terjual. Kebanyakan setelah buku terjual, baru toko buku membayar ke penerbit. Ini tidak saja berlaku untuk buku bacaan anak, tapi juga buku bacaan lainnya. Kecuali untuk buku best seller.

Pembenahan

Lesunya dunia perbukuan di Indonesia, menurut Doni akibat kemajuan teknologi informasi yang fantastis. Sehingga membuat anak-anak penasaran untuk mendapatkan suatu dunia informasi yang baru dialami. Sesuai kejiwaan mereka, lebih senang akan sesuatu yang baru. Bahkan sebagian orangtua yang menginginkan kemajuan anaknya, mengikuti perkembangan teknologi informasi.

Penyebab lainnya, lingkungan disekitar anak mendorong mereka melupakan budaya membaca buku. Begitu juga dengan penerbit buku bacaan anak, karena pasar lesu maka enggan berkreasi menerbitkan buku. Pemerintah juga beberapa tahun belakangan kurang merangsang dunia perbukuan, khususnya dalam mengembalikan kejayaan buku cerita anak seperti dulu.

Perlu reformasi total di dunia perbukuan, khususnya buku bacaan anak agar bisa kembali berjaya. Hal ini tidak bisa dilakukan sepihak, dukungan masyarakat dan pemerintah agar buku bacaan anak bisa menemui “supply and demand” seperti yang seharusnya. Caranya dengan memberdayakan kembali gerakan literasi.

Hal ini wajib dilaksanakan sesering mungkin agar budaya membaca buku bisa tertanam di masyarakat, khususnya untuk anak-anak. Seperti halnya era ‘70-an – ’80-an, pemerintah harus gencar menggalakkan kembali pengadaan buku, khususnya buku cerita anak untuk sekolah-sekolah dan perpustakaan. Pihak perpustakaan pun harus sesering mungkin mengaktifkan perpustakaan keliling sebagai strategi “jemput bola” ke kantong-kantong keramaian anak-anak.

Pemerintah juga sebisa mungkin mendukung aktivitas dan minat masyarakat mendirikan taman bacaan. Para penerbit sebisa mungkin berkreasi menerbitkan buku-buku berkualitas untuk anak-anak. Jika dianggap perlu, penerbit meng-upgrade dirinya melalui pelatihan-pelatihan agar kreativitas dan inovasi bisa tumbuh untuk menghadirkan buku-buku cerita anak yang digemari pembacanya. Orangtua sebagai benteng terakhir dapat membimbing anak dengan menceritakan betapa pentingnya budaya membaca.

()

Baca Juga

Rekomendasi