Selamatkan Buku Bacaan Anak-anak

Oleh: Fahrin Malau

PADA era ‘70-an, pemerintah mengeluarkan instruksi presiden (inpres) untuk membeli buku bacaan anak-anak dari berbagai penerbit. Buku bacaan itu diberi label “Milik Negara, Tidak Diperdagangkan” dialokasikan untuk perpustakaan seluruh Indonesia. Jumlahnya mencapai jutaan eksemplar dan ratusan judul.

Pembelian buku tersebut berlangsung sampai tahun ‘80-an. Terang saja, kebijakan pemerintah itu memberikan angin segar bagi para penerbit. Penerbit baru pun banyak bermunculan, ikut menerbitkan buku bacaan anak-anak.

Setelah buku inpres tidak ada lagi, penerbitan buku bacaan anak-anak pun terhenti. Dari ratusan penerbit di Indonesia, kini hanya hitungan jari saja yang masih menerbitkan buku bacaan anak-anak. Hal itu juga terjadi di Sumatera Utara. Berikut ini petikan wawancara dengan Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Suma­tera Utara, Doni Irfan Alfian

Analisa:  Setahu Anda, kapan pe­n­erbit banyak menerbitkan buku bacaan anak-anak?

Doni: Sekitar tahun ’70-an sampai ‘80-an. Banyaknya penerbit yang mencetak buku bacaan anak-anak pada waktu itu, karena adanya kebijakaan pemerintah soal ‘buku inpres’. Pembelian buku bacaan anak-anak dilakukan di seluruh Indonesia untuk mengisi seluruh perpustakaan.

Analisa: Apa buku bacaan anak-anak yang diterbitkan penerbit otomatis dibeli pemerintah waktu itu?

Doni: Setahu saya tidak. Karena diseleksi dulu. Mungkin ada juga yang tidak dibeli pemerintah, tapi saya tidak tahu seberapa banyak dan yang mana saja yang tidak dibeli.

Analisa: Berapa lama proyek pembelian buku bacaan anak-anak dilakukan pemerintah?

Doni: Persisnya saya tidak tahu. Tapi setahu saya tidak lama.

Analisa: Setelah kebijakan buku inpres itu dihentikan, bagaimana selanjutnya?

Doni: Penerbit mulai mengurangi cetakan buku bacaan anak-anak, baik jumlah eksemplar maupun judulnya. Penurunan itu terus berlanjut. Penurunan itu tidak saja pada buku bacaan anak, tapi juga buku umum dan buku pelajaran. Banyak penerbit yang tutup, puncaknya terjadi saat Indonesia mengalami krisis moneter pada akhir 1997. Pada waktu itu hanya beberapa penerbit yang bertahan, selebihnya memilih tutup.

Analisa:  Setelah krisis moneter, kapan buku bacaan anak-anak kembali bangkit?

Doni: Setahu saya, hampir tidak ada lagi pembelian buku bacaan anak-anak oleh pemerintah dalam jumlah besar. Kalaupun ada, mungkin jumlahnya sedikit. Bahkan hampir tidak ada judul buku bacaan anak-anak yang terbit setiap tahunnya. Kalaupun ada sangat sedikit.

Analisa: Bagaimana dengan buku bacaan dari luar negeri?

Doni: Itu dia. Memasuki tahun 2000 atau era milinium, beberapa buku bacaan dari luar negeri seperti Sincan, Dragon Boad, Doraemon dan beberapa buku bacaan anak-anak lainnya laris manis di dalam negeri.

Analisa: Apa buku-buku tersebut langsung diimpor dari luar negeri?

Doni: Tidak. Setahu saya penerbit membeli hak cipta. Namanya penerbit tentu berorientasi bisnis. Pada waktu itu buku bacaan anak-anak dari luar negeri banyak diminati.

Analisa: Kalau begitu pasar buku bacaan anak-anak waktu itu ada. Mengapa buku bacaan anak-anak dari dalam negeri tidak dibuat?

Doni: Seperti saya katakana tadi, penerbit tentu berorientasi pada buku yang laku di pasar. Waktu itu buku bacaan anak-anak dari luar negeri banyak diminati, maka tidak salah kalau penerbit menerbitkannya.

Analisa: Lantas siapa yang salah sehingga buku bacaan anak-anak dari dalam negeri tidak diminati?

Doni: Kalau saya melihat semua salah.

Analisa: Maksudnya?

Doni: Ya semua. Pemerintah, penerbit, penulis, ilustrator, orangtua, media televise, dan sebagainya. Semua pihak sebenarnya punya peran dalam membangkitkan kembali buku bacaan anak-anak. Terlebih-lebih media televisi yang menayangkan film kartun dari  luar negeri. Akhirnya anak-anak lebih tertarik dengan cerita dari luar negeri.

Orangtua tidak melarang anaknya memilih buku bacaan dari luar negeri. Penulis merasa pesimis dan penerbit takut buku anak-anak yang diterbitkan tidak laku jual. Begitu juga dengan pemerintah, tidak bisa melindungi dan menyelamatkan buku bacaan anak-anak dan sebagainya. Sekarang dengan adanya kartun Indonesia, seperti Adit Sopo Jarwo dan Keluarga Somat, mulai banyak diminati anak-anak. Saya berharap nantinya semakin banyak film kartun Indonesia, sehingga bisa dibuat dalam bentuk buku.

Analisa: Apa yang harus dilakukan pemerintah agar buku bacaan anak kembali muncul?

Doni: Pemerintah harus bisa mengupayakan agar buku bacaan anak-anak sampai kepada pembaca, dalam hal ini anak-anak. Caranya bisa dengan membeli buku tersebut seperti yang dilakukan Presiden Soeharto. Dulu setahu saya, pemerintah membeli buku bacaan anak untuk membendung informasi dari luar, termasuk bacaan anak-anak. Sekarang pemerintah berupaya menghidupkan kembali literasi. Agar literasi yang dicanangkan pemerintah berhasil, salah satunya dengan memperbayak buku dan mempermudah masyarakat mendapatkan buku.

Analisa: Caranya?

Doni: Terus terang saya sangat senang dengan yang dilakukan Presiden Joko Widodo membagi buku tulis kepada anak-anak setiap melakukan kunjungan. Buku tulis itu memacu agar anak-anak mau menulis. Tapi alangkah baiknya selain buku tulis, presiden juga membagikan buku bacaan anak-anak. Ini lebih berdampak luas pada dunia perbukuan di Indonesia. Anak-anak akan lebih mencintai buku karena diberikan seorang presiden. Buku itu pasti disimpan dan dibaca. Lewat cerita yang dibaca, dapat membentuk karakter anak-anak. Penerbitan bisa kembali bangkit, akan muncul penulis andal karena memiliki ruang. Begitu juga para ilustrator bisa berkreasi dan sebagainya.

Jika kebiasaan membagikan buku bacaan kepada anak-anak dilakukan seorang presiden, secara tidak langsung akan diikuti pejabat di daerah. Bila ini bisa terbentuk, setiap tahun ratusan judul buku bacaan anak-anak akan muncul. Ini harus dilakukan, bukan hanya untuk menyelamatkan buku bacaan anak-anak, tapi juga membentengi generasi muda  dari pengaruh luar.

()

Baca Juga

Rekomendasi