Perupa yang Mematung

Oleh: Azmi TS. Perupa adalah orang yang menemukan sesuatu ser­ta harus bisa me­nangkap jeri­tan hati. Upaya ber­dialog de­ngan obyeknya bertujuan un­­tuk menajamkan kepekaan ter­ha­dap rasa. Kalau perupa su­dah sampai bisa berdialog de­ngan objek, maka la­hirlah ide kreatifnya. Perupa selalu di­­tun­tut untuk mengeluarkan atau me­nemukan kreasi ter­baru, bukan me­neruskan zona nyaman.

Jadiseorang perupa sebe­nar­nya bu­kanlah pekerjaan, ta­pi panggilan hati (jiwa), secara hakiki dia bukan pen­cipta tapi pe­nemu. Perupa selalu ber­ge­rak melalui dorongan yang da­tang dari jiwanya, lantas me­nyaring mana yang perlu di­ung­kapkan.

Banyak cara dan upaya pe­rupa un­tuk melatih kepekaan rasa. Hanya di­ri­lah yang tahu serta mengontrol­nya. Ada pe­ru­pa dengan sekali pan­dang ter­­hadap obyek yang berha­da­­pan de­ngannya terus bisa di­eks­pre­sikannya.

Biasanya perupa seperti ini sudah cukup berpengalaman dan melalui proses yang ter­kadang juga menga­lami kega­galan. Terkadang ada pula pe­­rupa yang membuat sketsa ter­lebih da­hulu hingga berbulan-bulan baru jadi lukisan sesung­guhnya. Faktor lain­nya tentu tak bisa diabaikan mi­salnya me­nyangkut suasana hati (se­nang, sedih, gembira dan ter­tekan) in­ternal maupun ekster­nal. Banyak juga perupa yang melukis sebentar lan­tas dilan­jutkan hari berikutnya, hing­ga selesai (tanpa batas waktu).

Bisa cepat dan bisa pula la­ma da­lam istilah seni ter­gantung keingi­nan (mood) atau ada ukuran yang harus siap tepat waktu. Kebiasaan pe­rupa juga bermacam-ma­cam tetapi khu­sus perupa ini agak beda pula pen­da­patnya.

Sesaat terkenang kepada salah satu perupa senior Su­mut, S. Han­dono Hadi (65). Kesempatan yang lang­ka bisa bertukar pikiran dengan se­­niman senior seputar kiprah dan langkanya pematung di Medan.

Begitu pula tentang  ba­nyak­nya ka­rya seni patung tak terawat bahkan ada pula seba­hagian nya dahulu ada seka­rang lenyap atau dihancurkan. Misalnya patung mirip kobar­an api milik museum Juang 1945, kini tak tahu rimbanya. Ini pula yang meng­kha­wa­tir­kan S. Handono Hadi, kebe­tu­l­a­n tugu itu didesainnya bersa­ma Heru Wiriyono. Begitu pu­la karya seni patung menghiasi kota ini se­perti Monumen Sisi­ngamangaraja XII, sudah tak es­tetis lagi karena ter­lin­dung po­hon. Patung Sisinga­ma­nga­­ra­ja XII sedang menunggang kuda ini adalah hasil garapan S. Han­dono Hadi juga bersama Utoyo Hadi abangnya.

Begitu susah payah meng­him­pun dana dan waktu yang pan­jang serta birokrasi habis ter­kuras, tapi S. Han­dono Hadi merasa prihatin me­li­hat­nya. Pa­dahal banyak juga para pe­lan­cong atau turis datang untuk berfoto di sana.

Perhatian pemerintahan kota le­wat  kelurahan setempat juga abai dan terkesan tak per­duli. Sejak di­resmikan baru se­kali direvonasi le­wat pem­ber­sihan cat yang sudah le­kang terkena panas dan hujan. Se­telahnya belum ada lagi perbaikan se­perti pemangkas­an pohon palem yang sudah ter­lalu tinggi menutup panda­ngan mata.

Begitu pula nasib patung lainnya yang dahulu sangat di­banggakan yak­ni Patung Ah­mad Yani yang kaya de­ngan his­torisnya. Nasib patung ini ma­sih lumayan karena mung­kin la­pangan sering  digunakan untuk even pameran.

Sebaiknya kalaupun tidak buat pa­tung baru, keberadaan yang sudah ada agar dirawat se­layaknya. Karya seni patung dan tugu yang masih ada di se­tiap sudut kota hingga ping­giran, umumnya kurang tera­wat. Termasuk ta­mannya.

Makanya ketika diajukan per­tanyaan keberadaan kiprah pema­tung di Medan serta mi­nimnya per­hatian masyarakat, beliau agak ter­se­nyum. Percu­ma juga berteriak un­tuk lebih menghargai hasil karya seni kalau kesadaran publik juga minim.

Sehebat apapun pematung­nya kalau karya temuannya tak mendapat apresiasi tak ada nilainya. Karya seni itu berni­lai karena masyarakatnya per­duli dan menghargai sama se­perti yang lainnya. Dia sema­kin penasaran lagi ketika di­min­tai pendapat apakah kota Me­dan saat ini memerlukan pematung?

“Biasanya seorang pema­tung hanya berkarya ketika ada pesanan saja. Harus dituntut kon­sisten ber­karya patung, laku atau tidak, suka atau tidak tak persoalan – terpenting setia even se­lalu aktif”, kilahnya. Dia malah balik ber­tanya apa­kah kreteria seorang pema­tung? Siapakah pema­tung yang benar-benar cocok me­­me­gang predi­kat itu? Sebetul­nya dia berat menyebut di Me­dan ini ada pe­matung, yang ada hanyalah pe­kerja seni.

Dia sendiri enggan disebut pe­ma­tung kalau dirinya bisa mematung me­mang diakuiya. Faktanya di Me­dan yang ter­lihat hanyalah perupa yang bi­sa mematung. Lazimnya pe­ma­­tung itu konsisten berkarya dan ada pameran yang pernah dilaku­kan­nya.

Menurut Handono, di Me­dan sulit me­nemukan pema­tung handal yang mur­ni berka­rya. Ada perupa yang me­­ma­tung, bisa melukis dan seba­gai­­nya. Apa lagi pematung di Medan tak dan pernah jarang berpameran tung­gal, atau  me­nerima pesanan baru berkarya.

Menjawab soal pematung di Me­dan, pria kelahiran 20 April 1952 di Ku­dus Jawa Te­ngah ini mengakui sulit ber­kembang. Selain rendahnya orang yang ikhlas, jujur, berde­dikasi dan mau menularkan ilmu patung (teknik dan gaya) tetapi sulit mengu­bah kultur mematung.

Beda dengan me­lukis, pe­mi­natnya banyak seperti yang di laku­kan Sanggar Rowo pim­pinan M. Yatim Mustofa di Tanjung Morawa.

Kawasan Medan adalah masya­ra­kat yang multi etnis. Jadi tak semua da­pat meneri­ma keberadaan patung ko­non lagi dijadikan ikon. Masyara­kat Medan tidak bisa disama­kan de­ngan Bali misalnya. Ham­pir semua su­ku di sana bi­sa berdampingan de­ngan pa­tung. Di Sumatera Utara ba­rang­kali hanya etnis Batak yang akrab dengan patung, karena leluhur dan tradisinya zaman dahulu. Tak meng­he­ran­kan kawasan Tapanuli dan Karo banyak kuburan berhias­kan tugu dan prasasti.

()

Baca Juga

Rekomendasi