Melihat Kembali Makna Negarawan

Oleh: Hidayat Banjar.

Hingar-bingar jagad politik Indonesia memunculkan tanya tentang makna negarawan. Kompas Sabtu (8 April 2017) memberitakan “Lembaga Negara Minus Negarawan”. Disebutkan, krisis negarawan antara lain terlihat dalam polemik di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Elit di DPD sa­ling memperebutkan kursi pimpinan DPD.

Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, menu­turkan lembaga seperti Mahka­mah Konstitusi, DPR dan DPD cenderung me­men­tingkan ego lembaga masing-masing. Padahal, internal lembaga itu juga berma­salah.

“Kondisi ini muncul karena tidak ada lagi kenegarawanan pada pimpinan setiap lem­baga. Mereka sibuk dengan nafsu kekuasaan dan kebendaan,” katanya.

Apa jadinya? Sebutan politikus pun dipelesetkan menjadi poli tikus. Poli berarti pelbagai atau banyak seperti dalam poliklinik dan poligami. Jika demikianlah adanya maka po­litikus bolehlah dihumorkan dengan pe­ngertian pelbagai tikus atau tikus yang pelbagai.

Padahal kata politikus (jamak: politisi) adalah seseorang yang terlibat dalam politik, dan kadang juga termasuk para ahli politik. Politikus juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan.

Dari segi maknanya, istilah “politikus” dan “politisi” se­benar­nya hampir sama. “Poli­tikus” adalah bentuk tunggal dan “poli­tisi” ada­lah bentuk jamaknya. Setara dengan bebe­rapa pasang kata lain: “alumnus” (tunggal) dan “alumni” (jamak): “datum” (tunggal) dan “data” (jamak); juga “musikus” (tunggal) dan “musisi” (jamak).

Negarawan

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan arti ‘negarawan’: ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalan­kan negara (pemerintahan); pemimpin politik yg secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan: beliau merupakan pahlawan besar dan negara­wan agung; ke·ne·ga·ra·wan·an hal yang berhubungan dengan orang-orang yang mengurus suatu negara: sikap negarawan amat diperlukan dalam menghadapi persoalan kemasyarakatan.

Sedangkan politikus/po·li·ti·kus/ n 1. ahli politik; ahli ke­negaraan; 2. orang yang berkecimpung dalam bidang politik.

Di Indonesia, makna politik mengarah menjadi sekadar pertandingan, karenanya Kompas menyebut lembaga negara minus negarawan. Kekuasaan telah menjadi sekadar “santapan” yang diperebutkan. Maka, tidak ada yang lebih penting dalam politik selain hanya menjadi pemenangnya. Perpolitikan seperti ini sama sekali bukan pekerjaan yang mulia dan luhur. Politik yang demikian sama sekali jauh dari nilai-nilai spiritual dan hanya menempatkan para pelakunya menjadi political animal (hewan politik).

Bagi hewan politik, tak ada yang lebih penting selain ke­­­­pen­ting­an. Bagi hewan politik, tidak ada yang namanya ideologi, visi, misi. dan nilai-nilai (vision, mission, value: atau vmv). Kalaupun partai-partai politik mempunyai ideologi dan vmv, jangan terlalu menanggapinya dengan serius. Vmv adalah sekadar alat kelengkapan organisasi.

Jauh beda dengan orang-orang yang me­mikirkan orang lain, mereka sesungguhnya bukanlah politikus. Mereka adalah negara­wan. Thomas Jefferson punya definisi yang sangat baik mengenai politikus dan negara­wan ini. Politikus memikirkan pemilihan yang akan datang, sementara negarawan me­mikirkan generasi yang akan datang.

Seorang negarawan adalah orang yang me­lakukan hal yang benar bukan sekadar me­lakukan sesuatu dengan benar. Perha­tian seorang negarawan adalah pada arah perja­lanan negeri ini. Ia tidak tertarik dengan kepentingan sesaat yang berjangka pendek, tetapi malah akan menjerumuskan bangsa dan negara dalam kesulitan dan keterpe­rosokan di masa depan.

Bukan sebatas politisi

Ya, rakyat mendambakan pemimpin yang negarawan, bukan sebatas politisi. Pemimpin dan kepemimpinannya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat ma­­nu­sia dan berperan sentral dalam menjalankan roda or­ganisasi.

Dalam falsafah Ki Hajar Dewantara, terdapat Ing Ngarso Sung Tulodho, pemimpin perlu menjadi contoh/teladan yang baik bagi pengikutnya. Orang yang tidak bisa taat pada aturan tidak dapat memimpin. Idiom ini menjadi dasar perlunya orang merasakan menjadi pegawai di level bawah untuk dapat menjadi jenderal besar yang bijaksana.

Saat ini, seseorang gampang untuk men­jadi pemimpin, walaupun ditempuh dengan berbagai macam cara, seperti membeli suara/money politic, dan lainnya. Namun belum tentu mereka berhasil di dalam men­jalankan kepemimpinannya. Lihat kondisi saat ini, hampir sebagian besar kepala daerah menjadi tersangka atau tersangkut masalah hukum, karena besarnya modal politik untuk men­capai tujuan menjadi seorang pemimpin.

Dewasan ini, menurut Kompas, justru yang muncul adalah kepemimpinan transak­sional. Hubungan elit politik dengan konsti­tuen dirusak oleh transaksi material, bukan per­tukaran gagasan. Ketegasan menjadi ba­rang mahal karena terlalu ba­nyak pertim­ba­ngan dan kalkulasi politik yang dijadikan konsi­deran (Liddle dkk, 2012). Model kepe­mimpinan transaksional ini tumbuh subur dalam sistem politik kartel di mana APBN/APBD menjadi ajang bancakan dan lisensi yang diperjualbeli­kan untuk mengikat loya­litas politik. Kasus dana KTP Elektronik dapat jadi contoh yang paling anyar.

Menurut Liddle, pemimpin transaksional adalah tipe yang paling banyak dijumpai di Indonesia. Sejak Abdurrahman Wahid hingga Soesilo Bambang Yudhoyono (kecuali Habi­bie), semuanya adalah jenis pemimpin tran­saksional yang mempertu­kar­kan kekua­saannya dengan posisi-posisi yang dapat meng­untungkan diri dan kelompoknya.

Transformatif

Negarawan selalu menerapkan model kepemimpinan trans­formatif yang punya visi masa depan dan menolak transaksi politik jangka pendek. Pemimpin yang menerapkan model ini akan menularkan efek transformasi pada level individu dan organisasi.

Liddle menjelaskan, tipe transformasional adalah pemimpin yang mampu membentuk ulang situasi politik Indonesia dari satu keadaan kepada keadaan lain. Sementara tipe ”transaksional” adalah model kepemimpinan yang mempergu­na­kan kekuasaannya untuk menukarnya (barter) dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan diri dan kelom­poknya.

Tokoh seperti Soekarno, menurut Liddle, adalah jenis pe­mimpin transformasional yang mengubah Indonesia dari satu fase (penjaja­han) kepada fase lain (kemerdekaan). Namun de­mikian, Liddle membatasi bahwa karakter transformasional Soekarno hanya terjadi sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1949. Setelah tahun itu, Soekarno menjadi pemim­pin yang tidak lagi punya visi transformatif.

Dalam tingkat tertentu, Soeharto juga merupakan tipe pe­mim­pin transformatif yang berusaha mengubah kondisi Indonesia lewat proyek pembangunan dan modernisasi yang dipim­pin­nya. Demikian pula Habibie, dengan masa kepemimpinan yang cukup singkat, dia berusaha memperlihatkan dirinya se­bagai pemimpin transformatif. Dengan kekuasaan yang tiba-tiba didapatkannya (setelah mun­dur­nya Soeharto), dia tidak tampak berusaha mempertukarkannya dengan imbalan yang dapat memperpanjang usia kekuasaannya.

Di mata Liddle, Habibie seperti sebuah lilin yang kebijakan-kebijakannya membe­rikan jalan buat demokrasi dan kebebasan di Indonesia. Ironisnya kebijakan-kebijakan Habibie membakar dirinya. Setelah masa jabatannya selesai, Habibie tidak dipilih lagi, tapi Indonesia menjadi negara yang demo­kratis. Itulah makna sejati negarawan. ***

Penulis pengamat masalah sosial, budaya dan hukum.

()

Baca Juga

Rekomendasi