Bunga Melur Dianggap Pelacur

Oleh: Mihar Harahap.

ROMAN “Medan Di Waktu Malam” karya SM. Taufik. Lahir di Kisaran, 31 Desember 1925. Menulis sejak 1945 berupa puisi, prosa dan drama. Bekerja seba­gai guru, wartawan dan pegawai negeri, hingga 1977. Pernah me­me­nangkan lomba cipta roman (19­49) dan puisi (1950,1951) tingkat Medan dan Sumut. Aktif di Barisan Pemuda Indonesia, ve­teran, radio, majalah. Juga di ko­munitas budaya, sastra dan pers, bersama Narmin Suti, An­djasmara, Edi Saputera. Telah me­nerbitkan 12 judul buku ro­man.

Hal menarik dari roman ini ada tiga. Pertama, berlatar Kota Medan tahun 1950. Disebutkan na­ma tempat, jalan dan suasana kota ketika itu. Kedua, terbit pada masa roman picisan di Medan. Pe­ngarangnya di luar angkatan pu­jangga baru. Bersifat diskri­minasi politis yang dilakukan Ba­lai Pustaka Jakarta. Ketiga, ber­cerita tentang sampah masya­rakat di Medan. Persoalannya, bagaimana idepenulis  melawan stig­ma sampah masyarakat itu. Karenanya, roman ini layak di­apresiasi.

Kota Medan 1950

“Malam Minggu, malam pan­djang. Riuh ramai, golongan mar­haen dan tingkatan atas. Me­njemak kota dengan berdjalan ka­ki atau dengan kenderaan. Ada jang menghilang ke dalam ge­dung, bioskop atau restoran. Se­gala matjam kenderaan hilir-mudik. Ruangan radio, swing mu­sik, lontjeng tritja, terompet dan klaxson motor. Semua me­mekak telinga/…/.Gemerlapan intan berlian membalas sinar lis­terik djalan dan sorot lampu ri­buan toko berbagai ragam da­gangan” (Malam Minggu).

Petikan ini menggambarkan ra­mainya kota Medan saat ter­tentu waktu malam Minggu. Tua-muda, pria-wanita, anak-anak ke luar rumah. Mulai rakyat biasa sam­pai kaum elit, sekedar jalan-jalan, makan, menonton atau sesuatu urusan. Berjalan kaki, bersepeda, naik becak atau mo­bil. Sendiri, berkeluarga, berka­wan-kawan. Mereka menyulut terompet, lonceng sepeda, lon­ceng becak dan klakson mobil. Beradu keras dengan suara radio dan musik. Diterangi cahaya listrik jalanan dan pertokoan.

Nama tempat dan jalan yang dikatakan dalam roman ini. Pusat pasar sebagai pusat keramaian. Lalu, Kota Maksum, Sei Mati, Ca­thay Bioskop, Rex Theatre, Ke­sawan dan Petisah Darat. Kemudian, Jalan Serdang, Kacang, Deli, Japaris, Laksana dan Puri. Tak terkecuali Jalan Hakka, Hongkong, Kanton dan Raja. Tak lupa, di daerah, seperti Bunut Kisaran, Bandar Sono Tebing Tinggi dan Binjai. Semua tempat dan jalan pada tahun 1950 itu, sekarang masih ada walau ba­nyak yang berubah.

Lima tahun setelah prokla­masi dan dua tahun usai perang ke­merdekaan. Keduanya, berha­sil diraih dengan gemilang. Lan­tas, kebebasan serta keamanan men­jadi milik masyarakat Kota Medan. Sudah lama kota diceng­keram dan sudah lama masyara­kat dibungkam. Sistem etise po­litik dan saudara tua, hanyalah omong kosong. Kebebasan se­perti katak di bawah tempurung. Kini, saatnya, kota dan masyara­kat menikmati kemerdekaan dan kebebasan itu secara murni dan bertanggunjawab.

Begitupun, dominasi Belanda pengusaha tembakau deli, sangat memengaruhi wajah kota Me­dan. Baik dari bangunan kota bergaya eropa sampai memben­tuk tradisi kehidupan sosial. Dari segi ini aktifitas masyarakat cen­derung bersifat praktis ekono­mis. Misal, terjadi transaksi jual-beli segala rupa sesuai kebutuh­an. Bahkan hiburan seperti pasar malam, bioskop, permainan ber­sifat komersil. Justru itulah kota Medan digelar kota kembang da­gang. Dahulu disebut Paris van Sumatera.

Roman Picisan Medan

Munculnya cerita ini tatkala ma­syarakat Medan dilanda de­mam roman. Laris manis di pa­saran (dalam-luar) kota Medan. Sehingga roman ini pada tahun 1949 terbit dua kali. Masing-masing dicetak Tjermin Hidup dan Pusaka Timur. Setahun kemudian (1950) diterbitkan la­gi, meskipun melalui majalah Ke­djora, khusus edisi roman. Kebetulan dicetak National Brook Store di mana pengarang bekerja. Bukan lantaran itu, me­lainkan karena romannya me­mang menarik dan dinamis.

Penerbit lain seperti Doenia Pe­ngalaman, Pewarta Deli, Loe­kisan Poedjangga, Tjenderawa­sih, Pedoman Masyarakat. Se­mentara pengarangnya seperti Hamka, A. Hasjmi, Matumona, Joesoef Souyb, Narmin Suti, Us­man Siregar, Tamar Djaja, Suk­ma Merayu, A. Damhuri, Qasim Ahmad, RP. Sitanggang, Partahi Simanjuntak, Surapati, Hasbal­lah Parinduri, Helmi Yunan. Hal ini berarti, sejak dahulu, penga­rang, penerbit, pembaca, telah menghidupkan budaya literasi di Kota Medan.

Mengingat cerita diterbikan per­cetakan Medan, maka semua roman disebut picisan. Murah harganya rendah mutuya. Roman picisan adalah bentuk diskrimi­nasi politis yang dilancarkan Ba­lai Pustaka di Jakarta. Padahal se­sudah pihak asing angkat kaki, ternyata ada yang diterbitkan Ba­lai Pustaka. Ha ini merupakan buk­ti, tidak semua roman itu ren­dah mutunya. Contoh, roman-roman karya Hamka, Matumo­ma, Joesoef Souyb dan lainnya yang sebetulnya memang ber­mu­tu.

Konon kabarnya kelemahan pe­ngarang Medan soal pemakai­an bahasa, tanda baca dan lain­nya. Hal ini terjadi karena pe­ngarang Medan memiliki bahasa tersendiri. Selain itu, kebanya­kan pengarang tidak terpelajar, kecuali hanya mengandalkan bakat alam. Pemakaian bahasa dan tanda baca, terkadang kurang tertib.Namun tema, isi atau ide ro­man mengandung nilai kehidu­pan, kemanusiaan dan kemerde­kaan. Nilai-nilai itu sangat dibu­tuhkan pembaca, bangsa dan ne­gara.

Sebaliknya, pengarang Jakar­ta dibelenggu oleh syarat-yarat penerbitan. Kalau syarat ini idak terpenuhi, maka penerbitan di­tunda. Akibatnya,pengarang tidak mendapat royalti. Mengi­ngat hal itu, pengarang pun ter­paksa memenuhi syarat.

Contoh roman “Salah Asuh­an” karya Abdoel Moeis. Setelah bercerai, Corrie adalah wanita ka­rir dan mati karena penakit TBC. Padahal dia menjadi pela­cur dan penyakit raja singa. Arti­nya, Corrie adalah suri teladan bagi emansipasi wanita Indone­sia.

Bukankah roman terbitan Ba­lai Pustaka Jakata didanai peme­rintah? Setidaknya ada subsidi da­ri pemerintah (penjajah dan re­publik). Dengan demikian, mana lebih murah. Harga roman Medan (terbitan swasta) atau har­ga roman Jakarta (terbitan ne­gara). Mana lebih baik bagi masa depan. Roman Medan yang dibe­li pembaca (walau harga murah) dengan roman Jakarta yang diba­gi-bagikan gratis atau harga mu­rah kepada pembaca. Karena itu perlu penelitian lebih mendalam.

Medan di Waktu Malam

Roman ”Medan Di waktu Malam” karya SM. Taufik ini ter­diri dari beberapa subjudul. Medan Paris Sumatera, Kawin Paksa, Bahagia Bajangan, Badai Hasutan, Malam Minggu dan lainya. Ada 64 halaman ukuran se­dang. Gambar kulit depan, wa­nita cantik berbaju bunga-bunga sedang bertopang dagu. Latar lu­kisan bangunan gedung per­kotaan. Ada sinar laser di atasya dan mobil-mobil di bawahnya. Te­rasa bahwa subjudul awal ia­lah prolog, sedang subjudul akhir epilog dalam bentuk surat.

Marni, janda dari Bunut. Ke­ti­ka hendak dinikahkan ibunya di Kisaran, dia lari ke Medan. Di sana, semula, dia menjadi babu, pembantu rumah tagga. Tak la­ma, pindah menjadi pelayan bo­pet (boofet). Dengan gaji dan uang tip, dia bisa bertahan hidup, menyewa rumah dan menabung. Bahkan memiliki pacar, Dhar­ma­wi, yang segera melamar­nya. Marni setuju. Sebab, selain dia pemuda baik, tahu menghar­gai pekerjaan. Marni ingin mele­pas diri dari konflik batin yang menjeratnya sebagai pelayan.

Keluarga Dharmawi yang berada dan terhormat, menolak­nya. Marni bukanlah wanita ba­ik-baik. Dia pelacur, sampah masyarakat. Tetapi Dharmawi melawan meski harus terusir dari rumah. Tak cuma itu, orang-orang sewaan melancarkan fit­nah. Termasuk Nurbainah, me­ng­aku pacar Dharamawi yang di­zolimi. Marni sempat galau ter­makan hasutan. Lalu, memutus­kan menghilang dari Medan. Ti­dak kembali ke Bunut Kisaran, me­lainkan ke Binjai sebagai kota ba­ru.

Dharmawi menyusul dan ber­temu Marni. Fitnah yang dilaku­kan keluarga, semakin menguat­kan mereka untuk segera meni­kah. Di Binjai mereka membina rumah tangga, hingga Marni ha­mil. Betapa bahagianya. Dhar­ma­wi dipindahtugaskan ke Me­dan. Mau tak mau, mereka harus pindah dan tinggal di Petisah Da­rat. Keluarga Dharmawi me­ngetahui dan melancarkan finah kembali. Orang sewaan menga­ta­kan, Dharmawi telah menikahi Nurbainah. Lengkap foto bersan­ding dan surat-surat.

Marni minta cerai, tetapi Dhar­mawi tak mengabulkan. Dia sadar bahwa istrinya termakan ha­sutan. Benar saja, tak lama bu­nga melur itu menginsyafi ke­keliruan. Sedang Nurbainah yang memendam rasa, harus me­ngalah dan rela. Apalagi tak mampu melawan sakit, lalu me­ninggal dunia. Akhirnya, Marni dan Dharmawi melanjutkan ke­hidupan. Menanti kelahiran anak pertama dengan harap cemas. Keluarga Dharmawi mendoakan agar Marni melahirkan dengan se­lamat.

Pelayan bopet bukan pelacur. Dia pelayan pelanggan makan secara prasmanan (menu tersedia di atas meja panjang). Karena itu, pelayan bopet adalah peker­jaan halal, baik di hotel, restoran atau warung pinggir jalan. Ka­laupun terjadi praktek pelacuran atau transaksi jual-beli prostitusi, sangat tergantung kepada oknum pelanggan dan pelayan. Marni bukanlah pelayan seperti itu. Dia bunga melur dari desa yang tahu mana halal mana haram dalam menjalani kehidupan ini.

Dharmawi memahami, kecu­a­li keluarga. Tanpa selidik sudah menuduh kalau Marni adalah pe­lacur atau sama dengan pelacur. Dharmawi bersikap, andai Marni pelacur, dia siap menikahi.

”Dia’kan manusia yang ber­hak untuk hidup. Saja mem­bimbing dia ke djalan kebenar­an. Betul tidak berarti, hanya me­njinduk air lautan. Tetapi jang setjiduk itu dapat disumbangkan kepada masjarakat,” kata Dhar­mawi. Gebrakan angkatan muda terhadap masalah sosial usai pe­perangan.

Konon kabarnya, di Swedia, prostitusi dianggap bentuk keke­rasan lelaki terhadap wanita. Se­bab itu, lelaki harus dikrimina­lisasi, sedang wanita wajib diberi bantuan. Dharmawi memberikan bantuan langsung nyata kepada Marni dengan cara menikahinya. Sehingga bimbingan bisa men­jadi lebih baik dan penuh tang­gungjawab. Perlu digarisbawahi bahwa Marni bukanlah pelacur. Dia adalah bunga melur, ingin me­lebur konflik batin dan sosial yang dirasakannya selama ini.

Penulis: adalah dosen dan pengawas yayasan uisu, kritikus sastra dan budaya.

()

Baca Juga

Rekomendasi