Oleh: H.Harun Keuchik Leumiek
RUMOH Aceh atau rumah tradisional Aceh, sekarang sudah sangat langka. Kalaupun masih ada di daerah-daerah tertentu, bangunannya tidak lagi seorisinil Rumoh Aceh tempo dulu. Seperti Rumah Aceh yang masih tersisa di Kampung Leubok Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Bangunannya rata-rata sudah dimodivikasi jadi rumah dua lantai. Bagian bawah difungsikan jadi gedung.
Di Kabupaten Pidie, terutama di Kecamatan Mutiara dan Padang Tiji, juga masih terdapat beberapa Rumoh Aceh dengan bentuk bangunan dan motif ukiran yang masih asli. Meski atap rumbianya telah diganti dengan seng, namun material lainnya tetap tidak ada perubahan.
Pada dasarnya, bangunan Rumoh Aceh semua terbuat dari kayu pilihan, tidak satu bahan pun menggunakan besi, termasuk pakunya. Sebagai pengganti paku besi untuk mengikat satu material dengan material lainnya, digunakan bajoe (pasak) kayu yang diruncingkan. Sedangkan untuk pengikat, digunakan tali ijuk atau rotan. Itu sebabnya, bangunan Rumoh Aceh bisa bertahan hingga ratusan tahun dan tahan gempa.
Salah satu Rumoh Aceh yang bangunannya sangat asli, kini masih terdapat di Kampung Busu, Kecamatan Mutiara Timur atau sekitar 10 Km dari Kota Sigli. Untuk menuju ke sana, yang berjarak lebih kurang 5 kilometer dari Kota Beureunun, kita harus melalui jalan kampung. Di Kampung Busu (kampung asal Tgk Muhammad Daud Beureueh) ini, memang masih banyak terdapat Rumoh Aceh yang terawat baik. Bangunannya ada yang berukuran besar dan juga ukuran kecil.
Rumoh Aceh di Kampung Busu yang penulis kunjungi belum lama ini ukurannya tidak terlalu besar, hanya terdiri atas tiga ruang (lhee boh ruweueng). Kondisinya kelihatan agak lain dari rumoh-rumoh Aceh yang terdapat di kampung itu. Karena arsitekturnya memiliki ukiran cukup bagus dengan nilai seni sangat tinggi. Motif ukiran pada Rumoh Aceh itu murni khas Aceh, yaitu motif bunga yang dipadukan dengan daun kayu dan kontruksinya begitu rapi.
Ukiran Khas Aceh
Hampir semua ukiran yang terdapat pada Rumoh Aceh di Kampung Busu itu, dihiasi ukiran khas Aceh, yaitu ukiran tembus yang dipahat pada papan kemudian ditempelkan pada kontruksi rumah. Maksudnya, ukiran tersebut bukan diukir seperti pada ukiran rumoh-rumoh Aceh lainnya.
Menariknya lagi, ukiran yang terdapat pada Rumoh Aceh yang satu ini, memiliki perpaduan warna sangat indah. Yakni hijau, merah, kuning, putih, dan coklat. Kelihatannya sangat padu menjadi satu, hingga memancar nilai keindahan motif yang luar biasa. Rumoh Aceh dengan 16 tiang dalam bentuk bulat itu—sebagaimana Rumoh Aceh lainnya—memiliki tiga seuramoe (serambi), yaitu seuramoe keue (serambi depan) untuk ruangan tamu, seuramoe teungoh (serambi tengah) untuk tempat tidur yang juga sering disebut juree, kemudian seuramoe likot (serambi belakang) menjadi tempat berkumpul keluarga.
Sedangkan ruangan dapur Rumoh Aceh itu dibuat bersambung ke belakang. Dapurnya dapat dijangkau melalu rambat yang dibuat seperti jembatan pada bagian timur, sehingga begitu naik dari tangga terus menuju ruang keluarga dan dapur. Jadi, tidak melintasi ruang depan dan ruang tengah.
Saat menyinggahi Rumoh Aceh di Kampung Busu itu, penulis diterima oleh seorang wanita separuh baya yang sedang menggendong seorang anak di bawah kolong rumah bersama seorang pria bernama Efendi. “Rumoh Aceh yang telah berusia lebih 100 tahun ini, mulanya milik Abu Chik (kakek) dari istri saya. Kemudian diwariskan kepada ayah istri saya dan setelah si ayah meninggal diwariskan kepada istri saya,” jelas Efendi. Jadi, Rumoh Aceh itu sekarang sudah dijadikan tempat tinggal oleh tiga generasi di Kampung Busu.
Rumoh Aceh yang masih sangat orisinil itu hampir seluruh struktur bangunannya dihiasi motif-motif ukiran sangat indah. Mulai dari dinding depan, samping, kindang, rambat, dan tolak angin. Seluruhnya memiliki ukiran yang sangat bagus.
Saat diajak naik ke dalam rumah, penulis melihat kondisi bangunan juga masih sangat bagus, bersih, dan teratur. Letak perabotan dan gorden yang warna-warni kelihatan sangat serasi dengan warna motif-motif yang melekat pada dinding rumah.