Dress Code yang Membumi

Oleh: Adelina Savitri Lubis.

ATURAN berbusana atau biasa akrab disebut dengan istilah dress code, telah menjadi pakem yang penting dalam sebuah perhelatan. Apalagi frame-frame yang meng­abadikan dress code kian marak masuk di majalah-majalah waralaba berkonsep gaya hidup. Umumnya dress code berkaitan dengan momentum sebuah perhelatan.

Momentum Hari Kartini bebe­rapa waktu lalu misalnya. Setidak­nya cukup banyak per­helatan bermuatan momentum ini diseleng­garakan oleh pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan. Bahkan acara-acara momentum ini menjadi pilihan tema dalam perhelatan bermuatan personal seperti ulang tahun atau arisan. Dress code pun identik dalam perhelatan momentum tadi.

Hal itu tak dipungkiri Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Kota Medan, Eliza Rahmawati, S.Sos. Katanya sampai detik ini dress code sangat meme­gang peranan dalam suatu acara. Alasannya sederhana saja, karena pada dasarnya semua orang ingin terlihat menarik. Khusus kaum perempuan pasti ingin terlihat cantik dan menjadi pusat perhatian semua orang.

“Maka tak perlu heran, bila ada sebuah acara yang menyertakan dress code, pastilah para undangan akan melakukan persiapan,” katanya kepada Analisa, Jumat (28/4).

Suatu kewajaran jika tak semua undangan memiliki busana yang sesuai dengan dress code yang ditentukan. Bagi yang kreatif tentu mudah untuk mendaur ulang busana klasiknya, yang masih layak pakai dan memadupadankannya secara kekinian.

Menurut Liza, dress code penting, karena dapat membedakan antara tamu undangan dengan si pemilik acara. Dress code mengan­dung makna kerapian dan kesera­sian para panitia acara. Dengan begitu ditegaskannya, pilihan dress code dalam suatu acara bisa menentukan kualitas dari acara yang diselenggarakan. 

Persis perhelatan Hari Kartini yang diselenggarakan IWAPI Kota Medan, beberapa waktu lalu, kebaya putih menjadi tema dress code acara. Perhelatan momentum tersebut pun dihadiri para undangan yang hampir semuanya adalah perempuan.

Ketulusan

Kebaya putih yang membalut tubuh mereka pun membuat penampilan tampak anggun. Diungkapkan Liza, warna putih yang dipilih sebagai dress code dalam perayaan Hari Kartini itu melambangkan kesederhanaan dan ketulusan Ibu Kartini dalam pengabdiannya bagi kaum perem­puan. “Kebaya putih menurut saya merupakan simbol kesucian dan keikhlasan dalam menjalani kehidupan.”

Warna ini juga menyiratkan simbol tentang hal yang dianggap sakral dan suci. Wanita-wanita di zaman Kartini juga rata-rata mengenakan kebaya putih. Itulah sebabnya mereka memilih putih sebagai dress code pada perayaan Hari Kartini.

“Artinya dengan memakai kebaya putih, tersirat pesan kese­derhanaan, ketulusan, kesucian seorang wanita. Ini merupakan simbol pengabdian Kartini kepada kaumnya, juga mengingatkan setiap perempuan pada apa yang telah dia perjuangkan,” ujarnya.

Singkatnya Liza mengimbau, bahwa seluruh perempuan Indonesia, khususnya di Kota Medan harus selalu berhati bersih dan lurus dalam perjuangannya.  Hal itu pun diaminkan perancang busana, Tari Nasution.

Diungkapkannya, kebaya merupakan simbol pakaian wanita yang anggun, sopan, santun, juga berkharisma. Sejak berpuluh tahun lalu, kebaya menjadi salah satu pakian khas wanita Indonesia. Faktanya bukan hanya kaum perempuan yang berasal dari Pulau Jawa saja yang mengenakannya. Kini boleh dibilang, hampir semua perempuan di seluruh daerah membudayakan kebaya sebagai busana perempuan sejati. Meskipun asal muasalnya dari Jawa.

“Sebagai seorang perempuan Indonesia, saya juga merasa bangga mengenakan busana kebaya, apalagi pada perayaan Hari Kartini,” akunya.

Dengan berkebaya itu, ungkap Tari, mengingatkan semua untuk selalu meneladani pejuang wanita yang sangat melegenda itu. Secara konteks kekinian, perempuan di zaman modern bahkan telah mengkreasikan kebaya putih sebagai ikon busana yang multi zaman. Paling penting dari semua itu, pilihan dress code yang memuat kearifan lokal tentu saja menjadi poin tersendiri bagi kaum per­empuan. Termasuk menjadikannya sebagai gaya hidup di zaman modern ini.

Pesan yang paling sederhana adalah, bahwa di zaman emansipasi perempuan dan kesetaraan gender saat ini, kaum perempuan di Kota Medan tetap mengedepankan unsur kearifan lokal dalam gaya hi­dupnya. Tidak menjadi kacang yang lupa kulitnya, dan berani menun­jukkan eksistensinya, di mana bumi yang dia pijak. Hm.

()

Baca Juga

Rekomendasi