Nauru

Negara Mungil Kaya Raya yang Terpuruk

PULAU kecil itu terletak sejajar di ujung timur Pulau Papua, antara Ha­wai (AS) dan Australia. Per­sis­nya di tengah Samudera Pa­sifik. Ter­masuk bagian gugus Ke­pulauan Mic­ronesia, salah satu dari tiga ke­lompok pulau di jajaran Kepu­lauan Pasifik.

Namanya Nauru. Sebuah negara yang terdiri dari satu pulau seluas 21 kilometer persegi. De­ngan fasi­li­tas satu akses jalan raya beras­pal yang mengelilingi pulau, satu jalur kereta api, 2 rumah sakit pemerin­tah, 11 klinik, satu kantor pos, 1 pa­sar, 1 ho­tel, 1 pelabuhan, 1 ban­dara, 2 res­­toran, 5 sekolah play­grup, 1 se­kolah dasar, 1 sekolah lan­ju­tan, 1 se­kolah misi Katolik Ro­ma, dan 1 sekolah tinggi keguruan.

Negara pulau yang juga berjuluk “Happy Island” ini berbentuk republik dengan presiden sebagai kepala negara. Sistem ketatane­garaanya sederhana dengan satu pusat pemerintahan.

Nauru adalah negara terkecil ketiga setelah Vatikan dan Maroco. Me­miliki 10 daerah komunitas (se­macam kompleks konsentrasi pen­duduk), dan tak memiliki ibu­kota ne­gara kecuali kompleks yang dise­but Goverment Centre (bangu­nan pusat pemerintahan/eksekutif) dan House of State (semacam ge­dung parlemen/legislatif) di bagian Selatan pulau.

Pulaunya persis dilintasi ka­tu­listiwa yang lebih condong ke be­lahan bumi selatan. Hal ini mem­buat negara Republik Nauru ber­iklim tropis.

Walau termasuk pulau karang yang berbatu, lapisan tanah Pulau Nauru tergolong subur. Karena hampir 70% plato pulau itu ditutupi lapisan fosfat. Sementara area ta­nah tersubur terdapat di sekitar la­gu­na yaitu semacam danau kecil, yang terletak di plato wilayah ba­rat daya. Tak jauh dari daerah ko­munitas Yangor.

Sebagai negara kecil, populasi di Nauru tak lebih dari 13.000 orang yang lebih dari separuhnya ber­domisili di selatan pulau dekat de­ngan pusat pemerintahan. Pen­duduk asli negara ini adalah orang-orang Nauru yaitu suku bangsa campuran Polinesia, Micronesia, dan Melanesia. Mereka berbicara dalam bahasa Nauru dan Inggris.

Di samping penduduk asli, ada juga kaum pendatang. Umumnya dari Australia, RRC, Kiribati, dan Tuvalu. Kaum pendatang ini ada­lah pekerja kontrak untuk pertam­bangan fosfat yang menjadi hasil utama dan terbesar Republik Nauru.

Fosfat adalah senyawa kimia penting yang terbentuk dari en­da­pan kotoran burung selama ribuan tahun. Nauru adalah satu dari se­dikit negara pengekspor fosfat terbesar di dunia. Menjadi sumber satu-satunya kekayaan negeri yang merdeka sejak 1968.

Perkapalan

Di samping menambang dan mengekspor fosfat, Nauru juga punya perusahaan perkapalan dan penerbangan. Keduanya peru­sa­haan pemerintah dalam bidang transportasi ini melayani jalur pe­layaran dan penerbangan di wi­layah Pasifik.

Selain itu, negara yang pernah sangat makmur ini juga punya in­dustri lokal perikanan dan pem­buatan kano (kapal kecil untuk olah­­raga). Begitu pun, untuk me­menuhi kebutuhan primer dan se­kundernya, Nauru senantiasa me­ng­impor dari negara tetangga teru­tama Australia. Impor utama itu termasuk otomotif (kendaraan), makanan, perabot, mesin, obat-oba­tan, sepatu, bahkan air bersih.

Nauru pernah dikenal sebagai satu dari negara terkaya di dunia ka­rena menjadi sentra tambang fosfat utama dunia. Dalam pasar eks­por dan ekonomi industri, Nau­ru dijuluki “Negara Fosfat”.

Sejak mengelola sendiri industri dan pertambangan fosfatnya, Nau­ru menjadi negara paling surplus. Selama 40 tahun negara itu be­ru­bah menjadi negara mewah de­ngan pemerintah yang paling royal terhadap rakyat, dan punya standar hidup kaum jet set.

Dengan segala kemewahan yang didapat dari fosfat, peme­rintahnya menjadi kurang kontrol terhadap manajemen keuangan­nya. Di Nauru bahkan tidak ada yang namanya pers dan penyiaran elektronik.

Rata-rata setiap penduduk mem­punyai fasilitas perumahan dan barang lux. Walau jalan raya di seluruh pulau itu bisa dikelili­ngi selama 20 menit saja, namun setiap rumah setidaknya punya dua mobil dan satu di antaranya pasti mobil mewah kelas dunia.

Sangkin royalnya pemerintah, rakyat tak dikenakan pajak, biaya pendidikan dan kesehatan digra­tiskan, dan kehidupan harian (pa­ngan) disubsidi negara. Bahkan ham­pir 80% angkatan kerja diberi pe­kerjaan di instansi pemerintah. Sebagai pegawai negeri mereka tidak terikat jam kerja. Bahkan se­orang pengangguran sekalipun bisa menikmati kemewahan, karena disubsidi penuh oleh negara.

Bahkan pemuda Nauru yang ingin meneruskan sekolah di per­guruan tinggi akan diberikan bea­sis­wa, akomodasi, dan transportasi me­madai untuk menimba ilmu di luar negeri. Begitu juga dengan pa­sien yang butuh perawatan khusus.

Semua kemewahan dan kese­nangan itu, membuat rakyat men­jadi malas bekerja dan mengha­bis­kan waktu untuk menik­mati semua ke­senangan hidup. Un­tuk menge­lola semua pekerjaan yang mem­bu­tuhkan pemikiran (ma­najerial) dan pekerja lapangan (field skill), pemerintah Nauru me­makai tenaga ekpatriat (pekerja asing) yang ma­yoritas dari Australia, RRC, Ki­ribati dan Tuvalu.

Melebihi

Selama tambang fosfat masih menghasilkan tercatat pendapat rata-rata penduduk Nauru jauh melebihi ambang lebih dari cukup pada standar pendapatan penduduk dunia.

Namun dalam lima tahun ter­akhir, negara mulai menyadari bah­wa cadangan fosfat mulai habis. Hal itu disadari pada waktu yang su­­dah sangat terlambat. Di mana telah terjadi penurunan eks­por dras­tis dari angka 200 juta ton se­tiap tahunnya mendekati angka puluhan ton dalam tahun-tahun terakhir.

Sebelumnya, Pemerintah Nauru memang sudah melakukan inves­tasi di Australia mencapai angka mi­liaran dolar AS. Namun karena orang-orang Nauru tak mahir me­ngelola keuangan, mo­dal investasi itu hanya tersisa sejutaan do-llar saja. Satu-satunya investasi pada bangu­nan yang masih tetap berdiri di Australia adalah House of Nauru, yaitu bangunan 52 tingkat milik negara Nauru, dan dua gedung lain di kepulauan Pasifik. Anekdot ter­hadap gedung ini: Seandainya Pu­lau Nauru tergadai, maka selu­ruh penduduk akan pindah ke House of Nauru!

Nauru kini berbeda dengan Nau­ru di masa empat puluhan tahun yang lalu. Negara pulau itu kini su­d­ah di ambang kebangkrutan. Bah­­kan perusahaan perkapalan dan penerbangannya sudah nyaris tu­tup. Yang tersisa hanya sedikit ka­pal kecil dan satu pesawat ter­bang kenegaraan. Padahal sebe­lum­­nya Nauru punya sejumlah armada ka­pal mewah dan beberapa pesa­wat terbang komersil. Namun semua aset itu sudah dijual.

Sementara produksi tambang fos­fat sudah mencapai angka mi­ni­mal dan hanya meninggalkan lu­bang menganga di plato pulau Nauru!

Menyadari jurang kebangkrutan yang menghadang, pemerintah Nau­ru mengambil langkah yang di­ang­gapnya cukup cerdik. Pa­da­hal, “ju­rus-jurus” itu justru tak me­no­long Nauru lepas dari kehan­cu­rannya.

Trik-trik yang digunakan justru tidak melepaskan negara itu dari kebangkrutan selain pengalihan masalah yang menjadi problem di kemudian hari.

Tercatat Nauru pernah berne­go­sisasi dengan Asutralia bahwa ne­gara Nauru siap menampung imi­gran ilegal dari Australia. Baya­ran­nya hanya berupa stok ba­han ba­kar, biaya pengobatan, dan se­jumlah dana akomodasi bagi peng­ungsi. Australia menerima tawaran ini, dan Nauru pun menanggung akibat menjadi kamp pengungsi.

Nauru pernah pula memberikan izin kemudahan terhadap pendirian perbankan di negaranya. Banyak bank dalam dan luar negeri yang membuka jasa layanan di negara itu dengan imbalan semacam persen­tase “komisi” kepada negara Nauru.

Namun akibatnya, Nauru pun menjadi negara yang terkenal akan bis­nis cuci uang (money laundry). Ek­sesnya Nauru masuk dalam daf­tar blacklist dalam dunia perbankan dan transasksi finansial. Kebijakan perbankan Nauru pun direstorasi dan banyak bank yang ditutup. Ma­salah baru bagi negara “Happy Island” itu.

Negara Republik Nauru juga su­dah menjual semua aset perusahaan daerahnya, termasuk dalam bidang perkapalan dan penerbang­an. Aki­batnya, transportasi menjadi ken­dala, dan uang hasil penjualan aset-aset itu habis menutup modal dan utang. Bahkan Gaji pegawai pun sulit untuk dibayar.

Gambaran itu sungguh menjadi ironi. Betapa Nauru yang dulu dike­nal kaya raya kini sudah terpu­ruk dan sekarat. (kgb/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi