Negara Apa Ini?

Oleh: Riduan Situmorang

SESUNGGUHNYA, kita sedang hidup di negara apa? Apakah di negara Pancasila dengan dasar keadilan sosial? Kalau adil, udara keadilan semacam apa yang kita hirup ketika, misal­nya, harta empat orang terkaya di negeri ini melebihi harta 100 juta penduduk termiskin lainnya? Dalam angka yang lebih detail yang digelisahkan Radhar Panca Dahana, keadilan apa yang kita terima ketika 10 persen orang terkaya menguasai 77 persen kekayaan nasional? Pada posisi seperti itu pula, harta apa lagi yang akan diperebutkan kerumunan 90 persen dari sisa-sisa kekayaan yang tinggal 23 persen itu?

Terbayangkah angka 90 persen itu sudah semacam keru­munan orang yang berebut oksigen di ukuran kotak yang tak sampai seperempat (23 persen)? Mereka lalu penuh sesak, menggelepar, hingga mati perlahan, dan tak ada yang peduli? Negara apa ini? Apakah ini negara persatuan? Kalau negara persatuan, persatuan dalam bentuk apa yang kita rasakan? Bersatu dalam penderitaan? Bersatu dalam kebahagiaan? Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah; ringan sama dijin­jing, berat sama dipikul? Kalau men­derita, siapa yang menderita? Kalau bahagia, siapa pula yang bahagia? Negara apa ini?

Apakah kita negara ketuhanan? Kalau demikian halnya, Tuhan apa yang sedang kita sembah? Apakah Tuhan yang tak mau berbagi? Apakah Tuhan yang tak mengenal belas kasih? Apakah “tuhan-tuhan” lain, se­perti kekayaan, keserakahan, kebrutalan yang tak mengenal dasar-dasar moral? Negara macam apa ini? Apakah ini negara demokrasi dengan sabda “kebijaksanaan demokrasi” melalui pemungutan suara sebagai instrumen­nya? Baiklah, mari bersepakat bahwa negara kita adalah negara demokrasi, negara yang menggunakan suara sebagai kekuatan. Tetapi, apa pengertian suara itu bagi kita?

Menyebalkan

Apakah suara itu hanya teriakan-teriakan semata? Lebih penting mana: berteriak atau mendengar teriakan itu? Kalau mendengar, siapa yang sedang kita dengar? Teriakan ke­­getiran atau teriakan kepongahan? Teria­kan orang-orang terisak yang minta pertolo­ngan pada elite, lalu dengan senang hati me­nuju bilik suara, hingga menjatuhkan tetes air mata­nya ke kotak suara itu? Atau, teriakan keang­kuhan para birokrat dan konglo­merat agar rakyat mau digiring ke bilik suara, lalu meni­tipkan suaranya itu sebagai legitimasi kekua­saan yang kelak kawin-mawin dengan para pebisnis serakah? Sekali lagi, negara apa ini?

Saya begitu geramnya melihat negara ini. Belum kering kesedihan kita perihal ketim­pangan pembagian harta, konon terbongkar lagi luka-luka perih lainnya terkait perilaku serakah orang-orang yang kita titipi suara. Kita ingin mereka mencatat nama-nama kita. Kita ingin nama kita diteriakkan dengan se­mangat perjuangan. Tetapi, tugas “mencatat nama” itu men­jadi sasaran empuk: mega korupsi e-KTP. Besaran yang betul-betul membuat kita terluka. Di tengah kemiskinan semakin merambat pada mereka yang dari dulu miskin, para birokrat, konglomerat, dan orang-orang terpilih malah berlaku laknat. Orang macam apa ini?

Saya jadi teringat pada Uba Pasaribu, pemer­hati (baca: pembantu secara nyata) sekaligus pemulung. Beliau boleh digolong­kan sebagai orang miskin secara materi. Sehari-harinya, melalui media sosial, beliau membeberkan berbagai fakta kemiskinan yang tak kita duga-duga: ternyata masih ada rumah reot di pinggiran kota; ternyata masih banyak anak yang berhenti sekolah lalu menjadi pemulung; ternyata masih banyak keluarga yang tidur di emperan; ternyata masih banyak keluarga yang tak mendapatkan kartu keluarga dan KTP, dan masih banyak lagi. Ini karena siapa? Ini takdir atau penjajahan?

Oh, menyebalkan sekali negara ini. Di tengah gencarnya pengurusan KTP dan KK yang mestinya gratis, tetapi malah berbayar dengan harga dipatok atau “seikhlasnya”. Kita berpi­kir, sudahlah, ini hanya penyakit pejabat kecil sekelas kelurahan. Ternyata tidak! Penyakit ini sangat parah dan me­matikan dan itu justru ada di pusat. Jika pejabat kelurahan memeras ratusan ribu, peja­bat pusat sudah memeras hingga triliunan rupiah. Lagi-lagi, saya teringat pada salah satu sosok pemulung-pejuang itu: Uba Pasa­ribu. Sosok miskin dan tak digaji, tetapi pedu­li sesama. Lalu, bagaimana dengan para pejabat pusat, yang digaji, tetapi malah berfoya-foya di atas penderitaan rakyat­nya sendiri?

Saudaraku, entah bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Saya bukan bermaksud untuk pesimis. Tetapi, saya yakin bahwa kelak kehidupan berbangsa akan semakin timpang. Rasio gini akan terus begitu-begitu saja, bahkan semakin da­lam. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Itu karena yang kaya punya akses semakin leluasa mengeruk harta kekayaan Ibu Pertiwi, sementara yang miskin yang aksesnya dibatasi akan menimba sisa-sisa dari para kong­lomerat (yang memang tak mau lagi menyisakan). Hasilnya kita tahu: kemiskinan mengular dan kekayaan melebar.

Pada posisi ini, seharusnya kita mengadu pada negara? Te­tapi, maaf beribu maaf, negara tak bisa diharapkan lagi. Negara sudah pingsan. Lihatlah tuan-puan, bukankah negara sudah menjadi sebentuk ruang lingkup kekuasaan yang sudah dibagi-bagi? Di dalamnya ada tanah, air, udara, tetapi hanya bebas dieksploitasi oleh konglomerat dan birokrat? Di dalamnya ada anak bangsa yang kaya yang selalu punya daya. Di da­lam­nya ada anak bangsa yang miskin yang selalu diperdaya. Masihkah kita bisa berharap pada negara yang sedemikian gesitnya menying­kirkan orang miskin, sedemikian gesitnya menyambut orang kaya?

Pantaskah?

Terus terang, saudaraku, kalau begini posisinya, negara ini hanya ilusi. Ketahuilah, orang miskin sukar menjadi kaya kalau tidak diberdayakan. Orang miskin akan selamanya melarat kalau selalu diperdaya. Mungkin, Anda membaca tulisan saya ini sebagai yang muluk-muluk, terlalu emosional, dan tak ada pijakan data. Tetapi, seberapa penting data kalau hanya untuk urusan statistika? Seberapa penting data kalau hanya ilusi? Tak cukupkah bukti bahwa dari tahun ke tahun, rasio gini kita tetap sangat menyeramkan?

Tak cukupkah pula bukti bahwa pada periode 2012-2016 kita tak berhasil me­nyurutkan angka kemiskinan meski dengan sokongan dana yang melimpah? Untuk memberantas kemiskin­an, misalnya, pada periode 2012-2016, kita telah menaik­kan anggaran penanggulangan kemis­kinan dari Rp 109 triliun menjadi Rp 214 triliun. Aki­batnya seakan terlihat penurunan persentase kemiskinan di mana pada 2012 menyentuh angka 11,66 persen dan pada 2016 tinggal 10,86 persen. Tetapi, apakah Anda tahu, dengan sokongan dana berlipat-lipat itu, orang miskin pada 2012 yang mula­nya ada 28,59 juta ternyata tak jauh beda dengan orang miskin 2016: 28,01 juta? Bukankah ini ilusi?

Saudaraku, sedih menyebut bahwa negara ini tak bisa diharapkan lagi. Tolehlah pada ranah pendidikan, misalnya. Padahal, pendi­dikan merupakan ranah paling aman bagi orang miskin untuk menjemput kemak­muran. Tetapi, sadarkah kita bahwa pendidi­kan sudah menjadi kurikulum penjaga kasta bagi orang kaya, agar mereka tetap kaya dan orang mis­kin semakin miskin? Tak usah bohongi akalmu sendiri. Lihatlah kenyataan bahwa sekolah orang kaya selalu mendapat bantuan melimpah, sementara sekolah orang miskin tinggal tetesan? Anda tahu hasil akhir­nya apa? Orang miskin akan tetap tinggal di jurang kemiskinan. Pada posisi ini, kita ber­mimpi negara datang menolong. Tetapi, pantas­kah mimpi itu? Ah, entah negara apa ini! ***

Penulis adalah seorang Pendidik di Medan, Pengajar di PROSUS INTEN, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan di Toba Writers Forum (TWF)

()

Baca Juga

Rekomendasi