Belajar Toleransi Lewat Film Animasi

Oleh: Lucky Sanov Dongoran

SEMANGAT perbaikan pendidi­kan berkualitas telah digelorakan oleh pemerintah. Sebagai efek dari refleksi pada Hari Pendidikan, berbagai permasalahan pendi­dikan kembali dikaji untuk segera diperbaiki. Satu hal yang menjadi fokus pemerintah dan juga media nasionalsaat ini yaitu berkem­bang­nya sikap intoleran di tengah-tengah lingkungan pendi­dikan.

Padahal pendidikan merupakan sarana dalam memperkaya ilmu pe­nge­tahuan, termasuk pengeta­huan kewarganegaraan, lantas mengapa masih ada celah bagi intoleransi untuk bisa masuk ke dalam dunia pendi­dikan? Mencari permasalahannya dan bagai­mana cara menyikapi ma­salah ini untuk kemudian diselesaikan merupa­kan kewajiban kita untuk dipikirkan.

Intoleransi di dunia pendidikan mencuat belakangan karena adanya temuan survei penolakan siswa terhadap ketua OSIS yang berasal dari agama yang berbeda. Berda­sar­kan penelitian yang dilakukan Ke­men­dikbud, ada potensi intole­ransi terjadi di sekolah karena ada 8,2 persen yang menolak Ketua OSIS dengan agama yang berbeda.

Selain itu, ada pula 23 persen yang merasa nyaman dipimpin oleh sese­orang yang satu agama. Kini, masalah tersebut timbul sebagai dampak dari penyebaran isu agama yang terjadi pada pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu. Pilkada DKI dikha­wa­tirkan timbulkan intole­ransi di lingkungan Sekolah.

Pemahaman kebhinekaan yang lebihmendalam di kalangan siswa perlu diterapkan. Sebab, siswa-siswa yang ada di sekolah masih berada pada usia muda di mana mereka se­dang mencoba mencari jati diri. Pada masa inilah mereka sangat rentan untuk ditulari oleh paham radikalis­me. Peran orang tuadan guru di sekolah sangat penting dalam mem­ben­tuk cara pandang siswa terhadap perbe­daan yang ada di Indonesia.

Pun adanya mata pelajaran kewar­ganegaraan yang dipelajari di sekolah terkadang masih dianggap terlalu fomal oleh siswa. Implementasi dari pelajaran tersebut juga terkadang sulit untuk diterapkan karena pembela­jaran yang dilakukan di sekolah tidak dibarengi dengan kegiatan praktik seperti melakukan metode “role playing” pada anak-anak. Akibat­nya esensi pluralisme yang seharusnya diperoleh dalam pelajaran tersebut tidak maksimal terpe­nuhi. Untuk itu, perlu ada cara lain dalam menum­buhkan rasa kebhinekaan pada diri siswa, cara yang menyenangkan namun dapat menyalurkan pemaha­man yang baik.

Pelajaran dari film animasi

Kemajuan teknologi di era modern sangat membantu seseorang dalam membangun kreatifitasnya. Salah satu hal yang menjadi produk teknologi modern adalah film ani­masi. Karya animasi ini meru­pakan sebuah film yang tidak me­merlukan proses syuting dalam pembuatannya. Yang dibutuhkan adalah kreatifitas dari sang animator dan keahlian dalam meng­gunakan peralatan teknologi yang ada.

Ada banyak film animasi yang ada saat ini, namun jika berbicara mengenai film animasi, maka hal ini akan identik dengan anak-anak. Nyatanya, film animasi memang banyak ditujukan untuk mereka. Bagi anak-anak, film animasi biasa disebut dengan film kartun.

Cerita yang dihadirkan dalam tontonan animasi dapat dilihat oleh semua usia sehingga cocok untuk dijadikan bahan hiburan bagi sebuah keluarga sebab alur cerita yang diha­dirkan bersifat ringan dan humoris sehingga nilai moral yang ingin disampaikan juga dapat dipa­ha­mi dengan baik oleh anak-anak.

Ada beberapa film animasi yang pernah penulis tonton, salah satunya adalah Zootopia. Salah satu kalimat yang cukup menyentuh dari film ini yaitu “siapapun bisa menjadi apa saja!”. Film ini mengajarkan ten­tang konsep pluralisme dan toleransi yang tercipta di tengah-tengah masyarakat yang beragam.

Film yang menceritakan tentang perjua­ngan seekor kelinci yang ingin menjadi polisi ini dapat mengajar­kan anak-anak bagaimana cara menghar­gai dan menghormati orang lain sebab dalam film Zootopia, kelinci tersebut berasal dari kaum minoritas namun memiliki tekad untuk dapat melayani semua masyarakat.

Ada banyak film lainnya yang me­ngajarkan tentang konsep meng­hargai orang lain serta tidak meman­dang rendah orang yang berbeda, seperti Finding Nemo, Home, Cars dan lainnya termasuk animasi-animasi buatan lokal, namun alangkah baiknya jika orang tua maupun guru di sekolah juga ikut memberi pemahaman yang baik anak-anak dalam memprak­tikkan budaya saling menghargai lewat interaksi sehari-hari sehingga anak-anak semakin termotivasi untuk menerapkan nilai moral yang mereka peroleh dalam film animasi untuk selanjutnya diterap­kan dalam kegiatan sehari-hari di masyarakat.

Kesimpulan

Film animasi yang beredar saat ini memang dimaksudkan sebagai hiburan semata. Namun, film jenis ini dapat pula mengins­pirasi anak-anak untuk memahami konsep kebhinekaan itu sendiri melaluipesan moral­nya. Pembe­rian teori pluralisme di sekolah lewat pelajaran kewarganegaraan yang tidak dibarengi dengan penerapan mungkin akan mem­buat para siswa bingung, namun dengan melihat film animasi, baik di rumahmaupun di sekolah, anak-anak yang masih dalam usia sekolah ini dapat lebih mudah menangkap maksud dari pelajaran yang disampaikan.

Film animasi yang menga­jarkan tentang pluralisme seperti zootopia demikianjuga dapat menjadi alat bagi guru dan orang tua dalam memperkaya pema­haman mereka tentang kebhine­kaan dan alat untuk mendidik anak-anak dalam menghargai perbe­daan. Hal ini juga dapat membawa dampak positif dalam dunia pendidikan. Sebab adalah percu­ma jika pemerintah terus menge­but perbaikan mutu pendidikan jika hal ini tidak didukung oleh mental siswa yang cenderung masih intoleran.

Penulis menyarankan agar guru dan orang tua membekali anak-anak untuk bersikap toleran di tengah-tengah masyarakat yang berbeda melalui cara-cara yang menynang­kan, salah satunya dengan melihat film-film animasi yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak.

Khusus bagi pihak sekolah, pembekalan sikap toleransi dapat disalurkan melalui ke­giatan ekstra­ kurikuler. Membuka sesi­menonton film bersama setelah pulang seko­lah juga dapat menjadi cara yang menye­nangkan bagi siswa untuk dilakukan, sebab mereka dapat mengambil nilai moal dalam film yang diputar.

Kegiatan tersebut juga dapat menjadi tempat bagi anak-anak dalam berinteraksi dengan teman-teman mereka yang lain yang mungkin selama ini belum pernah mereka kenal dengan dekat. ***

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan

()

Baca Juga

Rekomendasi