Oleh: MH Heikal
DIREKTUR Global Change Institute di University of Queesnland Australia, Ove Hoegh-Guldberg pernah mengatakan, dalam catatan sejarah kini, laut dihadapkan pada resiko yang lebih besar dibanding masa-masa sebelumnya. Kita telah mengeruk terlalu banyak ikan, membuang terlalu banyak limbah, dan meningkatkan suhu serta keasaman laut sampai titik di mana sistem alami tidak lagi bisa berfungsi.
Apa yang disampaikan Ove merupakan sebuah ironisme. Laut adalah sumber kehidupan, demikian bunyi kalimat bijak. Namun, saat ini laut telah tercemar oleh berbagai sampah dan limbah yang merusak ekosistem di dalamnya. Pengelolaan sampah terutama sampah plastik yang sulit terurai membuat potensi bahaya bagi lingkungan, mulai dari di daratan, masuk ke sungai dan bermuara ke hilir yaitu laut. Berlimpahnya sampah plastik yang masuk ke dalam laut, mengakibatkan wilayah pesisir dan laut dicemari oleh sampah plastik, sehingga nyaris tidak ada bagian di wilayah pesisir yang bebas dari sampah plastik.
Dalam sebuah rilis penelitian diterbitkan tahun 2015, para peneliti dari Universitas Georgia yang dipimpin Jenna Jambeck melakukan pemeringkatan bagi negara-negara pembuang sampah plastik terbanyak ke laut. Dari estimasi total 275 juta metrik ton sampah plastik yang diproduksi dari 192 negara di seluruh dunia pada tahun 2010, diperkirakan terdapat antara 4,8 sampai 12,7 juta metrik ton masuk ke dalam lautan lepas. Indonesia berada di peringkat runner-up negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia, yaitu 3,2 juta ton. Posisi pertama Tiongkok 8,8 juta ton, Filipina di peringkat ketiga sebesar 1,9 juta ton.
Kini, di Indonesia pemerintah telah bertekad untuk mengurangi sampah plastik laut hingga 70 persen pada akhir 2025. Untuk mencapai target pengurangan sampah itu, pemerintah meluncurkan rencana aksi nasional untuk menanggulangi sampah plastik laut. Untuk menyukseskan hal ini, pemerintah akan memberikan pembiayaan dalam melaksanakan strategi tersebut hingga 1 miliar dollar AS (sekitar Rp 13 triliun) per tahun.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam "Workshop Pengelolaan Sampah di Pantai dan Laut" di Jakarta, baru-baru ini mengatakan, masalah sampah di Indonesia telah menjadi isu nasional. Namun dengan nada optimis Siti Nurbaya menargetkan pada tahun 2025 di laut Indonesia sudah bersih dari sampah.
Diperhitungkan setidaknya ada 10 jenis sampah dominan yang ditemukan di perairan, mulai dari puntung rokok, bungkus makanan, botol plastik, kantong plastik, tutup botol, alat rumah tangga yang umumnya sudah rusak seperti cangkir, piring, sendok, garpu, pisau, sedotan minuman, pengaduk, botol kaca, kaleng minuman, dan karton kertas. Sampah-sampah yang sudah masuk ke dalam perairan ini akan berinteraksi dengan berbagai bahan organik, dan akhirnya tenggelam bersama.
Selanjutnya secara perlahan tapi pasti akan terurai, sehingga membentuk microplastic yang pada akhirnya mendominasi marine debris, material yang diproses waktu menjadi fiber-fiber plastik yang halus. Sampah-sampah plastik inilah, baik ukuran besar maupun microplastic yang mencemari wilayah laut serta pesisirnya memiliki dampak negatif dan sangat mengancam kelangsungan kehidupan ekosistem laut.
Sampah plastik yang terbawa ke wilayah pesisir oleh ombak dan gelombang seringkali tersangkut di perakaran tumbuhan mangrove. Ini dapat menutup akar nafas mangrove, sehingga pertumbuhan mangrove terganggu bahkan mati. Padahal mangrove merupakan tempat beberapa biota air melakukan pemijahan dan pembesaran benih, sehingga fungsi ekosistem tersebut pada akhirnya terganggu. Apalagi pada benih mangrove, marine debris dapat menyebabkan kematian.
Selain itu, sampah plastik juga dapat mengganggu ekosistem terumbu karang, dan yang berukuran besar menutup terumbu karang hingga tidak dapat bernafas dan akhirnya mati.
Sampah microplastic yang di dasar perairan berupa marine debris, juga dapat termakan oleh biota air. Ini menyebabkan microplastic akan masuk ke dalam alat percernaan hewan-hewan laut. Selanjutnya akan mengganggu sistem pencernaan, di samping akan menyumbang bahan berbahaya. Dalam limbah plastik, yang sudah terurai sekalipun, terdapat berbagai jenis bahan berbahaya. Bahan berbahaya ataupun beracun tersebut dimasukan pada plastik dengan tujuan macam-macam, sehingga jenis racun juga berbeda antara satu dengan jenis plastik lainnya.
Di lain pihak pada saat limbah plastik masuk ke dalam perairan, maka bahan berbahaya dan beracun tersebut juga ikut masuk ke dalam air. Ini akan mengkontaminasi air dan biota air yang hidup di dalamnya, sehingga ekosistem perairan juga akan terkontaminasi secara langsung. Adanya bahan berbahaya dan beracun dari dari sampah plastik tersebut akan mengakibatkan ikan-ikan dan biota laut lainnya mengalami gangguan bahkan pada konsentrasi yang tinggi sekali dapat mengakibatkan terjadinya kematian.
Selain bahan berbahaya yang terkandung di dalamnya, sampah plastik juga dapat mengakibatkan biota laut terjerat atau tertutup oleh plastik dan sulit melepaskan diri. Juga pada biota laut, ikan-ikan yang termakan marine debris mengakibatkan biota laut mengalami kerusakan saluran pencernaan dan malnutrisi. Meskipun tetap hidup, namun ikan-ikan tersebut sudah tercemar dengan kandungan zat-zat berbahaya bagi tubuh manusia bila mengonsumsi ikan tersebut.
Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa sampah plastik berpotensi untuk menurunkan bahkan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati ekosistem laut. Oleh karena itu, bila sampah plastik tidak ditangani dengan baik, dapat mengakibatkan kepunahan pada biota laut, atau setidaknya akan mengkontaminasi hewan-hewan yang hidup di dalam laut tersebut.
(Penulis adalah mahasiswa ekonomi Pembangunan, FEB-USU)