Oleh: Pertiwi Soraya
JEPANG dikenal sebagai negara yang sangat memperhatikan kebersihan dan keasrian lingkungan, seperti sistem pengelolaan sampahnya. Saya ingat ketika kecil menonton serial Detective Conan. Ada suatu episode di mana si pelaku memanfaatkan truk pengangkutan sampah untuk melakukan trik kejahatannya. Truk pengangkut sampah ini selalu lewat di jam yang sama setiap hari.
Saat itu saya merasa, itu adalah suatu hal yang terlalu dibuat-buat. Tak mungkin truk pengangkut sampah selalu lewat di jam bahkan menit dan detik yang sama setiap hari. Sedang di Indonesia, kereta api saja ada yang jadwalnya tidak bisa dipastikan jamnya. Namun hal seperti itu memang biasa terjadi di Jepang.
Masyarakat Jepang dalam 20 tahun belakangan terbiasa memilah sampah. Sebelumnya, di tahun 1960 dan 1970-an, orang jepang ternyata masih sangat rendah kepeduliannya pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah.
Pada saat itu Jepang baru tumbuh menjadi negara industri. Kasus pencemaran lingkungan, dan keracunan menjadi dampak dari tumbuhnya industri. Limbah dan sampah rumah tangga saat itu menjadi masalah besar bagi kehidupan warga Tokyo. Contoh terbesar akibat ketidakpedulian pada sampah adalah kasus pencemaran Minamata. Di tahun 2001, tercatat lebih dari 1700 korban meninggal karena tragedi tersebut.
Sekitar 1970-an barulah mulai bangkit gerakan peduli lingkungan oleh masyarakat di berbagai kota di Jepang. Masyarakat menggalang kesadaran warga cara membuang sampah, dan memilah sampah untuk mempermudah pengelolaannya. Mereka menggalakkan 3R yaitu Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), dan Recycle (daur ulang).
Saaat itu belum ada undang-undang yang mengatur pengolahan sampah. Urusan lingkungan belum dianggap prioritas oleh pemerintah saat itu. Baru tahun 1997 undang-undang Kemasan Daur Ulang disetujui parlemen. Lalu pada juni 2000, UU mengenai masyarakat Jepang yang berorientasi pada daur ulang atau yang dikenal dengan Basic Law for Promotion of the Formation of Recycling Oriented Society disetujui oleh pemerintah Jepang.
Di jepang, sampah ditangani dengan cara yang berbeda. Sampah dibagi dalam empat kategori, yaitu sampah bakar (combustible), sampah tidak bakar (non-combustible), sampah daur ulang (recycle), dan sampah ukuran besar.
Sampah yang telah dipilah juga tidak sembarangan di letakkan. Kita harus membeli plastik khusus sampah. Jadi sampah yang telah dipilah dimasukkan ke plastik tersebut sesuai dengan jenisnya. Selanjutnya sampah diletakkan di luar rumah. Akan ada petugas yag datang mengambilnya.
Ada jadwal hari-hari tertentu yang mengatur sampah dapat dibuang. Petugas hanya akan mengambil sampah sesuai dengan jadwal dan jenis sampahnya. Jika plastik sampah yang kita letakkan tidak sesuai dengan jadwal, petugas tidak akan mengambilnya. Atau jika kita mencampur jenis sampahnya (misalnya kaleng minuman pada sampah makanan), sampah tidak akan di angkat.
Ada satu hal lagi, sampah minyak goreng atau minyak jelantah tidak boleh dibuang ke tanah atau ke saluran air, karena dikhawatirkan mencemari air tanah dan sungai. Oleh karena itu, di Jepang dijual bubuk yang berfungsi untuk membekukan sisa minyak goreng tersebut. Bubuk itu ditaburi di atas minyak goreng hingga berubah menjadi gel. Setelah itu barulah dapat dibuang ke tempat sampah. Pantas saja sungai-sungai di perkotaan jepang sangat bersih dan jernih airnya.
Jepang juga memiliki program edukasi pengolahan sampah yang sangat baik untuk warga asing yang tinggal di Jepang. Selain membagikan brosur cara membuang sampah dalam bahasa inggris, pihak kelurahan biasanya kerap mengundang mereka untuk mengunjungi lokasi pengolahan sampah di wilayah tersebut. Hal ini untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk turut mendukung proses pengolahan sampah bersama.
Di kota Tokyo, setiap kecamatan besar memiliki pusat pengolahan sampah. Truk-truk sampah masuk ke pusat pengolahan melalui pintu utama. Di sana, truk-truk ini ditimbang untuk mengetahui jumlah sampah yang dibawa.
Kemudian sampah bakar dimasukkan ke tempat pembakaran yang berupa tempat penampungan besar. Sampah bakar ini berupa sampah basah rumah tangga yang berupa sisa makanan dan kotoran dapur. Di sana sampah kemudian di bakar.
Ada hal yang menarik. Ternyata ampas dari sampah yang dibakar tersebut bisa dimanfaatkan sebagai “cone-block” untuk lapisan jalanan. Selain itu pembakaran sampah di Jepang juga dapat menjadi salah satu sumberdaya penghasil listrik dengan menggunakan metode yang dikenal dengan RSS (Resource Recycling system).
Sementara untuk cairan dari sampah basah, setelah disuling dengan mesin penyulingan air di pusat pengolahan tersebut, lalu dialirkan kembali ke sungai setelah benar-benar bersih.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar Jepang menganut dua langkah dasar. Pertama, pemilahan material dan pengumpulan. Kedua, pemrosesan dan daur ulang sampah. Kedua hal ini dapat berhasil dilaksanakan karena adanya kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintahnya.
Setiap rumah tangga di Jepang telah sadar betul akan pentingnya melakukan langkah pertama yaitu pemilahan sampah untuk mempermudah langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintahnya.
Perlu juga diingat bahwa kesadaran masyarakat di Jepang ini juga baru muncul 20 tahun yang lalu. Yang dari awalnya mereka tidak peduli sama sekali dengan sampah, namun kini mereka dapat menggunakan sampah bahkan untuk sumber daya.
Lalu bagai mana dengan kita, bisakah kita meniru mereka?
(Penulis adalah blogger Medan dan bergiat di Forum Lingkar Pena Medan)