Biokonversi Sampah Organik

Oleh: Hasan Sitorus

MASALAH sampah di perkotaan bukan hal yang baru lagi. Kian hari volume sampah semakin membeng­kak dan pengelola persam­pahan pun kewalahan untuk menanganinya. Beberapa ca­ra sudah diterapkan, seperti penumpukan sampah di TPA (open dumping) dan menu­tup tanah rawa dan lembah (sanitary land fill), namun bila diamati, sistem itu tak lain hanyalah memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain, dan masalah sam­pah itu tidak teratasi.

Dengan kemajuan tekno­logi se­karang, pengelolaan sampah dapat dilakukan de­ngan berbagai cara (per­laku­an) seperti perlakuan fisik, kimia­wi dan sistem biologis. Bagi negara maju, teknologi incinerator, yakni pem­bakar­an sampah dalam reaktor su­dah banyak dilakukan. Na­mun bagi ne­gara berkem­bang, pemakaian tek­nologi itu dianggap masih terlalu ma­hal, dan di sisi lain me­nye­babkan hi­lang­nya sum­­ber mata pencaharian pe­mu­lung sampah. Secara filoso­fis sistem ini akan merang­sang orang untuk mempro­duksi sampah lebih banyak karena teknologi incinerator membutuhkan sampah dalam jumlah banyak secara konti­nu agar pengo­perasiannya efi­sien.

Oleh sebab itu, salah satu metode pe­ngolahan sampah yang patut diapli­kasikan di negara-negara berkembang adalah pengolahan sampah dengan sistem biologis atau sering disebut dengan bio­konversi sampah. Sistem ini memerupakan pilihan yang cukup baik terutama bila di­kaitkan dengan jenis dan vo­lume sampah yang mengan­dung bahan organik dengan kadar yang cukup tinggi yang dihasilkan masyarakat setiap hari khususnya di daerah perkotaan.

Biokonversi sampah or­ganik

Sistem biokonversi sam­pah organik merupakan sis­tem pengolahan sampah or­ga­nik yang mengandalkan akti­vitas mikrobial dan pro­ses en­zimatik, baik dalam kon­disi aerobik maupun anaero­bik. Sistem ini dapat meng­hasilkan ba­han bernilai eko­no­mis seperti gas metan, al­ko­hol, dan kompos dalam kon­­disi tanpa oksigen (anae­robic), dan meng­hasilkan gu­la atau sirup glukosa dalam kondisi ada oksigen (aerobic). Oleh sebab itu, sistem bio­­konversi mempunyai ke­untungan ganda yakni diha­silkan bahan-bahan bernilai ekonomis dan di sisi lain me­ngurangi beban pencemaran lingkungan

Dengan mengetahu bahwa produk biokonversi itu berni­lai ekonomis, ma­ka pem­buang­an sampah tak lain ada­lah membuang harta karun yang sa­ngat besar jumlahnya. Misalnya saja Kota Medan de­ngan jumlah penduduk 2,2 juta jiwa menghasilkan sam­pah sekitar 2.100 ton/hari, dan sebesar 74 % atau sekitar 1.554 ton/hari meru­pakan sampah organik. Berarti da­lam 1 bulan (30 hari) jumlah sampah orga­nik yang dibu­ang dari Kota Medan menca­pai 46.620 ton.

Dengan sis­tem biokonver­si, sam­pah or­ganik itu dapat diolah menja­di kompos seba­nyak 21.000 ton per bu­lan. Andaikan har­ga kompos Rp 150/kg, maka dalam satu bu­lan diperoleh pendapatan se­Rp 3,2 milyar/bulan atau Rp 37,76 miliar/tahun. Di­ban­ding dengan kota Ja­karta yang mengha­silkan sam­pah sekitar 7.000 ton/hari, ma­ka dapat dibayangkan jum­lah rupiah yang didapat dari sam­pah itu bila sistem biokonver­si itu dapat dilaksana­kan. Bahkan bila sampah itu di­kon­versi menjadi gas metan, sirup glukosa atau etanol, maka sistem itu akan mem­be­rikan nilai tambah cukup besar bagi masyarakat. Cara seperti ini sudah banyak di­la­kukan di India dan Tiong­kok, dan dalam skala kecil su­dah mulai berkembang di Ka­bupaten Tegal, Jawa Te­ngah.

Berdasarkan hasil peneliti­an Ecken­­felder (2006), bio­konversi sam­pah yang me­ngandung selulosa (kardus, kertas, potongan kayu, ampas tebu, dan lain-lain) dapat di­konversi menjadi sirop gluko­sa dengan efisiensi 90 % dan 40 % untuk produk etanol. Se­dangkan sampah yang banyak mengandung bahan organik dapat dikonversi men­jadi biogas metan de­ngan efisiensi mencapai 60 %. Dengan me­­lihat angka ini, maka sistem bio­kon­versi itu dapat digunakan sebagai alternatif pengolahan atau penanganan sampah di per­ko­taan.

Proses biokonversi

Dalam proses biokonversi sampah organik menjadi me­tan, aktivitas Me­thanobacte­rium sp berperan dalam men­degradasi bahan organik yang menghasilkan energi biogas dalam keadaan anaerobik. Sedangkan dalam pembuatan sirup glukosa dalam kondisi aerobik, aktivitas itu teruta­ma dijalankan oleh jamur Tricho­derma viride, sedang­kan untuk biokonversi sam­pah organik untuk mempro­duksi alkohol (etanol) dija­lankan oleh jamur Saccharomyces cerevisieae.

Pada dasarnya pembuatan sirup glukosa ataupun glu­ko­sa murni dari sampah seluloid hampir sama dengan proses pembuatan etanol, karena da­lam pembuatan etanol ha­rus melalui tahap pembuatan glukosa, yakni menghidro­lisis bahan selulosa dengan enzim selulase yang dipro­duk­si jamur Trichoderma viride. Glukosa yang ter­ben­tuk itu selanjutnya akan di­fermentasi oleh enzim invertase dan zimase yang diha­silkan jamur Saccharomyces cerevisiae dan menghasilkan etanol.

Untuk memperoleh hasil yang optimal, suhu yang diperlukan dalam biokonver­si sampah organik menjadi sirup glukosa adalah 50 oC dengan pH 4,8, pembuatan etanol diperlukan suhu anta­ra 25-35 oC dengan pH 4,0-5,0, pembuatan gas metan antara 30,6-37,5 oC dan 49-51 oC dengan pH 6,6-7,6, dan untuk pembuatan kom­pos yang baik harus mencapai suhu 70 oC dengan rasio jum­lah carbon dan nitrogen (C/N) antara 20-30.

Di samping itu, untuk mening­kat­kan efisiensi sis­tem biokonversi sam­pah or­ganik menjadi etanol, maka pro­ses hidrolisis selulosa dan fermen­tasi glukosa haruslah terlaksana secara ber­sama-sama. Kondisi itu akan men­jamin terbentuknya etanol secara kon­tinu, karena setiap glukosa yang terbentuk lang­sung difermentasi dan dikon­versi menjadi etanol.

Manfaat ganda

Bila sistem biokonversi ini dapat dikembangkan masya­rakat dalam skala kecil sam­pai menengah, tentu akan membawa manfaat ganda. Sam­pah-sampah organik dari rumah tang­ga dapat dijual, aktivitas pemulung sampah semakin berkembang sebagai kegiatan sektor informal, dihasilkan­nya bahan-bahan bernilai ekonomis dan yang paling penting pencemaran lingkungan akan menurun.

Bila pemerintah kota me­ngem­bangkan sistem pena­nganan sampah dengan tek­nologi biokonversi sampah organik, maka diperoleh pen­dapatan yang relatif besar se­bagai pemasukan daerah, dan sekaligus membuka lapa­ngan kerja baru. Namun bila pe­me­rintah kota belum ada ke­bijakan pemi­lihan teknologi biokonversi sampah organik, maka langkah yang paling bijaksana adalah mendorong pihak swasta atau kelompok masyarakat untuk mengem­bangkan usaha pengo­lahan sampah organik di perkotaan de­ngan insentif khusus mi­sal­nya pengu­rangan pajak usaha dan kemudahan pem­berian izin usaha pengolahan sampah.

Dalam pengembangan sis­tem biokonversi skala besar, maka dibu­tuhkan dukungan penelitian, sehingga dari segi efisiensi teknis maupun eko­nomis layak untuk dikem­bang­kan da­lam menangani atau mengolah sampah di perkotaan. Hal ini menjadi tantangan bagi para peneliti rekayasa lingkungan, se­hing­ga pada akhirnya sampah organik itu menjadi sumber­daya yang bermanfaat bagi masyarakat.

(Penulis dosen tetap di Uni­versitas Nommensen Me­dan dan pemerhati masalah lingkungan).

()

Baca Juga

Rekomendasi