“Mengenang Alm Letjen TNI T.B.Simatupang”

Oleh: Sabartain Simatupang.

Untuk memperingati HUT TNI ke-71 tahun ini, ada baiknya kita juga mengenang salah seorang tokoh pendirinya.Ulasan berikut menguraikan kontribusi pemikiran dan kepemimpinan Letjen TNI (Purn) Dr.T.B.Simatupang yang ikut berperan pada awal pembentukan TNI AP. Hal ini perlu di­perjelas agar sosok dan peranan beliau dapat meya­kinkan kita akan penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah sebagai salah seorang Pahlawan Nasional.

Sejarah awal pembentukan TNI AP

Pada saat setelah terbentuknya NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945, pengorganisasian ten­­tara pada awalnya masih bersifat darurat dengan penyebutan nama TKR (Tentara Ke­amanan Rakyat). Peresmian TKR dilaksana­kan berdasarkan kepada Maklumat Pemerin­tah pada tanggal 5 Oktober 1945. Berikutnya pada tanggal 20 Oktober 1945 itu organisasi TKR dibentuk secara sederhana, dimana pu­cuk pimpinan pada Ke­menterian dan Mar­kas Besar TKR masih menyatu dan dijabat satu orang pejabat.

Di bawah komando Markas Tertinggi TKR, secara de facto tanggungjawab peng­organisa­sian diserahkan kepada Letjen Urip Soemohar­djo (Kepala Staf Umum MT TKR) untuk me­­nyu­sun organisasi selanjutnya dan sekaligus menjalankan tugas pimpinan TKR, karena ada­nya kekosongan pejabat yang ditunjuk ketika itu.

Untuk mengisi kekosongan ini diadakan Konferensi TKR (Rapat Pimpinan) untuk per­tama kalinya pada tanggal 12 November 1945 di Yogyakarta untuk memilih Panglima Besar TKR dan Menteri Pertahanan. Hasilnya yang terpilih adalah Kolonel Soedirman (mantan Panglima Divisi V/Banyumas) sebagai Panglima Besar TKR dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan.

Ternyata mekanisme pemilihan seperti ini tidak langsung mendapat legitimasi dari pemerintah. Setelah Presiden Soe­karno me­ngangkat Sutan Syahrir sebagai Perdana Men­teri, Amir Sjarifuddin ditunjuk sebagai Menhan dalam kabinet parlementer. Kondisi ini jelas dimaksudkan oleh PM Sutan Syahrir untuk dapat mengontrol dan menguasai orga­nisasi tentara. Akibatnya, pengangkatan Ko­lo­nel Soedirman sebagai Panglima Besar TKR (dengan pangkat Letnan Jenderal) baru resmi dilaksanakan pada tanggal 18 Desem­ber 1945.

Selanjutnya dilaksanakan penyempurnaan organisasi tentara dengan merubah penyebu­tan namaTKR menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 26 Januari 1946. Validasi organisasi juga dilakukan pada tang­gal 17 Mei 1946, antara lain bentuk Ke­men­terian Keamanan diganti menjadi Ke­men­terian Pertahanan. Struktur organisasi­nya membawahi MBU TRI yang dipimpin oleh Panglima Besar TRI dan Direktorat Jenderal Kementerian Pertahanan Bagian Mili­ter. Jabatan Panglima Besar TRI tetap dijabat oleh Letjen Soedirman, yang diangkat pada tanggal 21 Mei 1946 dengan menaikkan pang­katnya menjadi Jenderal.

Dari fakta sejarah ini yang menarik dicatat adalah upaya terencana para pimpinan tentara untuk secara otonom menyem­purnakan orga­nisasinya ternyata mendapat intervensi dari ke­pentingan partai politik tertentu (terutama sayap kiri). Hal ini terbukti bahwa disamping membawahi Pangsar, Menhan juga memba­wahi Dirjen Kementerian Bagian Militer yang di dalam struktur organisasinya terdapat Biro Perjuangan yang dijadikan wadah dari unit-unit organisasi Laskar/Badan-badan Perjua­ngan yang didominasi oleh pengaruh ke­kuatan politik tersebut.

Meskipun demikian, upaya untuk me­nyem­purnakan suatu organisasi tentara yang bersifat kebangsaan (nasional) terus berlanjut. Untuk mencegah konflik dan intervensi partai-partai politik yang bersaing ketika itu dalam pemerintahan, maka pemerintah menggagas konsepsi penyatuan organisasi TRI dengan berbagai organisasi kelaskaran/badan-badan perjuang­an dalam satu wadah organisasi yang lebih solid pada tanggal 5 Mei 1947.

Realisasinya selanjutnya adalah Presiden Soekarno menge­luar­kan suatu keputusan pada tanggal 7 Juni 1947, yang mengesah­kan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam hal ini pucuk pimpinannya terdiri dari Panglima Besar TNI Angkatan Perang, yaitu Jenderal TNI Soedirman dan beranggotakan para staf pimpinan teras TNI AP (TNI AD, TNI AU dan TNI AL) serta tokoh pimpinan laskar/badan pejuang.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 27 Pebruari 1948 diumumkan Pene­tapan Presiden No.9 Tahun 1948 dan dimu­lailah pelaksanaan Reorganisasi dan Rasio­nalisasi dalam tubuh TNI AP, antara lain mem­bubarkan bentuk struktur kepemim­pinan TNI sebelumnya (berbentuk pucuk pimpinan/staf gabungan AP) dan menggan­tinya dengan membentuk Markas Besar Angkatan Perang Mobil yang terdiri dari Pang­lima Besar AP Mobil (yaitu tetap dijabat oleh Jenderal TNI Soedirman) dan Wakilnya (yaitu Jenderal Major AH.Nasution).

Disamping itu dibentuk pula organisasi Staf Umum Ang­katan Perang di dalam struktur Kementerian Pertahanan, yang terdiri dari KSAP (dijabat oleh Komodor Udara S.Suryadharma) dan Wakilnya (Jenderal Major T.B.Simatupang). Pada tanggal 5 Maret 1948 struktur ini dikukuhkan lewat UU No.3 Ta­hun 1948, di mana kekuasaan militer tertinggi dipusatkan pada Menteri Pertahanan yang dalam pelaksana­annya dijalankan oleh KSAP (yang dibantu oleh KSAD, KSAU dan KSAL) dan membawahi Panglima Besar AP Mobil sebagai komando pengendalian pasukan tempur dengan kewenangannya yang ter­batas.

Struktur organisasi ini pada ke­nyataannya bertahan kemu­dian sam­pai dengan masa awal dekade 50-an, sehingga pe­nyatuan satuan-satuan tempur (yang diperkuat de­ngan satuan-satuan teritorial yang dibentuk sebagai realisasi konsepsi Perang Rakyat Semesta dalam meng­hadapi Agresi Belanda) benar-benar solid di bawah satu komando. Hal ini bisa dilihat berikut­nya mela­lui Penetapan Menhan No.126/MP/1949 tanggal 10 Desember 1949 tentang Organisasi Kementerian Per­tahanan dan APRI yang secara mendasar tidak banyak perubahan.

Pada tanggal 5 Januari 1950 Men­han Republik Indonesia Serikat sempat mengeluarkan Penetapan No.12/MP/1950 me­nge­nai Organi­sasi Tentara Republik Indonesia Serikat (sebagai akibat provokasi Pemerintahan Belanda terhadap Pe­merintahan RI ketika itu).

Kondisi ini pada kenyataannya tidak ber­tahan lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950 setelah negara kita kembali kepada NKRI, organisasi tentara kembali kepada penyebutan semula, yaitu TNI/APRI.

Selain penyesuaian ini, ada satu hal yang perlu dicatat, yaitu peng­hapusan jabatan Panglima Besar APRIS setelah me­ninggalnya Jen­deral TNI Soedirman pada tanggal 19 Januari 1950. Sementara itu ja­batan KSAP tetap dipertahankan oleh pemerintahan parlementer (Ka­binet PM Mohammad Hatta) de­ngan membawahi KSAD, KSAU dan KSAL. Pejabat yang diangkat sebagai KSAP adalah Jenderal Ma­jor T.B.Simatupang. Dari fakta inilah terlihat bahwa sejak itu untuk sementara komando dan pengen­dalian organisasi tentara beralih dari jabatan Pangsar ke KSAP, sedang­kan kewenangan secara politis tetap pada Menhan.

Dengan melihat perkembangan di atas, maka bisa dikatakan bahwa pimpinan pemerintahan (Perdana Menteri) yang menjabat bergantian pada saat itu berusaha untuk me­nen­tukan pola atau struktur kepe­mimpinan TNI/AP dengan Kemhan yang merupakan manifestasi dari upaya pengendalian yang demo­kratis secara obyektif terhadap orga­nisasi militer. Sayang­nya dalam ke­nyataan bukan hanya sekedar pe­ngendalian peme­rin­tahan sipil, t­e­tapi organisasi tentara tersebut d­imanfaatkan untuk tunduk pada pengaruh partai-partai politik yang berkuasa dan ideologi yang diu­sungnya.

Konstribusi dan Peran Kepe­mimpinannya

Dilihat dari fakta-fakta sejarah yang ada, bisa dipahami bahwa po­sisi Jenderal Major T.B.Simatupang pada awal pem­bentukan TNI AP, baik sebagai Kepala Staf Organisasi MB TKR dan akhirnya menjabat sebagai KSAP, terlibat langsung dan sangat berperan dalam penyu­sunan struktur organisasinya. Selain ikut menentukan pedoman dan kode ethik TNI AP ketika itu (yaitu Sum­pah Prajurit dan Sapta Marga), Jenderal Major T.B.Simatupang juga berkontribusi menyum­bang­kan pemikirannya agar TNI AP memiliki jati dirinya sebagai Ten­tara Nasional, Tentera Pejuang dan Tentara Rakyat.

Pemikiran ini jelas didasarkan pada latar belakang sejarah pem­bentukan dan perjuang­an TKR dalam mempertahankan Ke­merde­kaan RI 1945, dimana ber­sama-sa­ma Jenderal Soedirman dan Jen­deral Major A.H.Nasution turun langsung dengan para pejuang/pra­jurit untuk menjalankan pilihan stra­tegis bergerilya.

Menyadari kondisi perkemba­ngan sosial politik ketika itu (euforia praktek Demokrasi Parlementer yang kebablasan) yang sangat ber­pengaruh kepada wacana penyusu­nan organisasi TNI AP dan hubu­ngannya dengan Kementerian Per­tahanan, pemikiran Jenderal Major TB.Simatupang jelas menunjukkan sikap yang tegas untuk tidak mau didikte oleh pimpinan partai-partai politik.

Beliau mengetahui benar bahwa ada pilihan-pilihan model atau bentuk struktur organisasi ke­pemimpinan TNI AP ketika itu, an­tara pilihan model Demokrasi Parlementer, model organisasi Ten­tara di negara-negara Komunis dan terakhir pilihan yang sejalan dengan sejarah perjuangan TNI AP dan konstitusi UUD 1945.

Dalam dis­kur­sus ini, pemikiran Jenderal Major T.B.Simatupang ber­sama-sama dengan Jenderal Soedirman dan Jen­deral Major A.H. Nasution dengan tegas memilih pilihan terakhir ini.

Sudah dijelaskan sebelumnya bah­wa struktur organisasi ke­pe­mimpinan tentara dan kementerian pertahanan yang terbentuk pada akhir dekade 40an tetap diperta­hankan sampai awal dekade 50an, di mana penyebutan organisasinya adalah TNI Angkatan Perang dan Kemhan.

Sayangnya yang terjadi ke­mudian adalah penghapusan ja­batan Panglima Besar TNI AP yang dijabat terakhir oleh Jenderal Soe­dir­man. Sementara itu jabatan KS­AP yang masih ada dipertahankan oleh Kabinet Parlementer saat itu dijabat oleh Jenderal Major T.B. Simatu­pang.

Peralihan peran ke­pemimpinan TNI AP ini jelas men­ja­di tantangan bagi beliau untuk me­nyikapi kebijakan Presiden Soe­karno tersebut.

Pemikiran beliau yang jelas me­nentang pilihan model Demokrasi Parlementer dan model Negara Ko­munis, membawa sikap mau tidak mau menerima dan menjalankan kepemim­pinan TNI AP seperti ini. Meskipun kewenangan dan ko­mando terbatas untuk dapat me­ngen­dalikan pasukan di jajaran TNI AP saat itu, Jenderal Major T.B. Simatupang sebagai KSAP tetap me­neruskan tugas dan tanggung jawab kepemimpinan yang diting­galkan Jenderal Soedirman. Tan­tangan beliau kemudian bersama dengan Jenderal Major A.H.Nas­ution sebagai KSAD adalah mem­pertahankan pilihan pemikiran strategis untuk mewujudkan Orga­nisasi TNI AP dan Ke­menterian Pertahanan yang sesuai sejarah perjuangan dan konstitusi UUD 1945.

Bangsa yang besar adalah bang­sa yang secara arif mau menghargai jasa para pahlawannya, khususnya the founding fathers of TNI (Jen­deral Soedirman, Letjen Oerip Soemohardjo, Komodor S.Surya­dhar­ma, Jenderal A.H.Nasution dan Letjen T.B.Simatupang). Dirgaha­yu TNI! ***

Penulis adalah Pemerhati Pertahanan dari Universitas Pertahanan dan Alumni Pascasarjana KSKN UI.

()

Baca Juga

Rekomendasi