Mengendalikan Diri Sendiri

Oleh: Jekson Pardomuan

“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.” (2 Timotius 3 : 1 – 4).

Seringkali dalam menjalani hidup kita tidak bisa mengendalikan diri kita sendiri. Setiap kali ada masalah kita langsung bereaksi dan marah, terkadang ke­marahan kita salah arah dan salah tempat. Ini yang jadi masalah. Kita belum bisa mengendalikan diri kita sendiri saat menghadapi sebuah persoalan. Ada kalanya masalah yang datang menimpa kita adalah karena ulah kita sendiri.

Siapa di antara kita yang tidak pernah marah? Se­mua orang pernah marah, hanya saja ada batas dan tem­patnya. Kalau memang sudah tidak tertahankan lagi dan kita merasa perlu harus marah, kita perlu memper­timbangkan tempat dimana kita marah. Jangan me­nyampaikan kemarahan pada seseorang disembarang tempat. Setiap manusia memang berbeda-beda tipi­kalnya, ada yang pemarah, ada yang panjang sabar da nada juga yang diam saja.

Firman Tuhan seperti tertulis di atas mengingatkan kita bahwa saat ini sudah sangat banyak manusia yang lebih mencintai dirinya sendiri, tidak perduli dengan kehi­dupan orang lain, merasa diri paling benar, suka men­jelekkan orang dan suka berbicara yang negatif serta tidak menghargai orang lain dalam banyak hal. Ber­buat baik terkadang dianggap tidak benar oleh orang lain. Saat berbaik hati kita menegur teman, saudara atau orang lain, kita dianggap tidak sepaham dengan dia dan menjadi lawannya dalam banyak hal.

Permasalahan yang ada didalam kenyataan adalah tidak semua orang mau ditegur, karena ia selalu merasa dirinya benar. Dan, orang yang mau ditegur itu harus ber­sikap rendah hati, sebab apabila tidak bersikap ren­dah hati maka akan terjadi persoalan baru. Firman Tu­han menasehatkan kita : “Lebih baik teguran yang nya­ta-nyata dari pada kasih yang tersembunyi” (Amsal 27:5).

Di dalam Alkitab ada tertulis banyak ayat tentang bangsa Israel yang selalu ditegur Tuhan melalui Musa. Bangsa Israel terus mengabaikan pimpinan Tuhan se­hingga akhirnya Tuhan merasa perlu untuk mengirim mereka masuk ke padang gurun selama empat puluh ta­hun lamanya. Dalam perjalanan Tuhan tetap menun­jukkan kasih dalam kesabaran yang begitu luar biasa, tetapi lihatlah bagaimana tegar tengkuk atau keras ke­pala bangsa Israel ini, sehingga Tuhan tidak lagi dapat menun­tun mereka untuk masuk ke dalam tanah perjan­jian untuk memperoleh berkat-berkat bagai susu dan madu yang melimpah yang sebenarnya sudah Tuhan sediakan bagi mereka.

Pada akhirnya, Tuhan harus membiarkan mereka semua mengembara sampai mati kecuali dua orang, Yosua dan Kaleb yang terus secara konstan menun­juk­kan kesetiaan dan iman yang percaya penuh kepada Tuhan. Hanya dua inilah yang berhasil masuk ke sana dari satu generasi bangsa Israel yang dilepaskan Tuhan dari perbudakan di tanah Mesir.

Kadang-kadang dalam perilaku hidup kita sehari-hari, kita seringkali mengeraskan hati ketika ada orang yang menegur atau mengingatkan kita. Firman Tu­han berkata bahwa Ia adalah Allah yang menyem­buhkan, Allah yang mencukupi, Allah yang berperang bagi kita dan sebagainya. Walaupun sesungguhnya kita sangat tahu betul apa yang sudah Tuhan perbuat bagi hidup kita, akan tetapi seringkali kita mengeraskan hati kita kepada kuasa Tuhan sehingga kita hanya bersandar dan percaya kepada kekuatan kita sendiri.

Tak ada salahnya kalau kita tidak mengeraskan hati kepada Tuhan, sebab Tuhan mendengar, Tuhan melihat dan Tuhan berkata bahwa apa yang keluar dari mulut-Nya tidak akan kembali dengan sia-sia. Oleh karena itu, janji-janji-Nya, bila kita percaya dan membuka hati kepadanya, maka kita akan melihat kuasa tangan-Nya bekerja dalam kehidupan kita.

“Tetapi kepada orang fasik Allah berfirman: "Apa­kah urusanmu menyelidiki ketetapan-Ku, dan menye­but-nyebut perjanjian-Ku dengan mulutmu, pa­dahal engkaulah yang membenci teguran, dan me­ngesam­pingkan firman-Ku?” (Mazmur 50 : 16 – 17)

Sewaktu kita sekolah, kita seringkali mendapat te­guran dari bapak guru atau ibu guru. Sebagian dari te­guran itu membuat hati kita tersentuh dan akhirnya mau berubah, tak sedikit pula ketika kita ditegur justru membenci tegurannya. Peristiwa seperti ini sering kita temukan dalam kehidupan kita maupun ditengah-tengah masyarakat, terutama dalam lingkungan gereja dan rumah tangga.

Kita ingin menegur dengan tujuan yang tulus untuk kebaikan orang yang kita tegur, sementara hasil dari teguran itu tidak seperti yang kita harapkan yaitu peru­bahan menuju kebaikan. Yang terjadi setelah teguran kita sampaikan malah sebaliknya menjadi tidak efektif, menimbulkan sakit hati dari pihak yang di tegur dan berbuah tidak manis. Kita justru tidak bisa mengen­da­likan diri kita saat posisi kita berada dipilihan yang sangat sulit.

Dalam kehidupan kita sebagai orangtua yang memi­liki tanggungjawab dalam mendidik anak-anak adalah berani menegur. Orang yang menegur, haruslah orang yang rohani dan memiliki hubungan yang baik. Mak­sud orang yang rohani adalah orang yang sudah meng­hidupkan apa yang disarankan kepada orang lain dan tentu memiliki kehidupan yang seharusnya dapat menjadi contoh yang baik bagi orang lain.

Selanjutnya sipenegur haruslah memiliki hubungan baik dengan orang yang ditegur. Maksudnya, sebelum kita menyampaikan teguran, kita mesti menyadari ten­tang hubungan kita denganya. Kalau hubungan kita baik, teguran itu akan bisa jatuh ke tempat yang kon­dusif. Tetapi kalau hubungan kita dengan dia memang sedang kurang baik, selanjutnya kita coba-coba me­nyam­paikan teguran, otomatis kita seolah-olah hanya­lah menambahkan minyak kepada api yang sudah berkobar.

Inilah yang kadang-kadang sering kita lakukan. Sewaktu kita misalnya masih dalam suasana bertengkar dengan istri atau suami kita. Saat sedang panas-panas­nya bertengkar karena masalah-masalah yang sedang, atau masih hangat terjadi, kemudian kita mau coba-coba menambahkan dengan teguran. Teguran itu menja­di tidak tepat, mungkin akan menambah runyam sua­sa­na. Terutama saat kita tidak bisa mengendalikan diri kita.

Ketika kita akan menegur seseorang, yakinkan dulu di dalam diri sendiri apakah teguran itu mendidik atau malah menggurui dan membuat orang yang ditegur jadi sakit hati. Cara penyampaiannya haruslah dalam roh lemah lembut. Karena tanpa kelembutan orang akan merasa bagaikan ditusuk-tusuk oleh pisau yang tajam.

Kalau kita mau jujur, seringkali dalam menegur itu bukan dengan cara yang lemah lembut. Sebagian dari kita saat menegur di gereja, atau di rumah ada saja yang terdorong oleh rasa jengkel, terdorong oleh ama­rah atau ingin membangkitkan amarah seseorang yang ingin ditegur.

Dalam hal menegur seseorang, kita juga harus bisa me­nguasai diri dan jangan merasa paling benar atau paling pintar. Hindari juga sikap sombong ketika mene­gur seseorang, karena buah dari kesombongan, dan meninggikan diri itu akan kelihatan jelas oleh mereka yang kita tegur. Bisa jadi, teguran kita hanya seperti angin lalu, masuk telinga kiri dan keluar dari telinga kanan.

Mendekatkan diri kepada Tuhan, memohon kekuat­an dan selalu menuruti firman-Nya akan membuat kita lebih kuat dan lebih bisa mengendalikan diri dalam menjalani hidup yang Tuhan berikan kepada kita. Amin.

()

Baca Juga

Rekomendasi